Mohon tunggu...
Mulyaones
Mulyaones Mohon Tunggu... Insinyur - Insinyur | Deputi

Pencinta kopi dan gym

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Catatan untuk Calon Kepala BPMA

19 Januari 2025   00:08 Diperbarui: 19 Januari 2025   00:08 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Oleh Ir. Muhammad Mulyawan, S.T, M.Sc

Fleksibilitas dalam keterbatasan

Di dalam MoU Helsinki maupun UUPA tidak terdapat batasan Wilayah Kewenangan Aceh dalam pengelolaan hulu migas. Definisi Wilayah Kewenangan Aceh kemudian diatur dalam PP 23 tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Hulu Migas di Aceh. Pada Pasal 1 ayat (25) dijelaskan bahwa "Badan Pengelola Migas Aceh yang selanjutnya disingkat BPMA adalah suatu badan Pemerintah yang dibentuk untuk melakukan pengelolaan dan pengendalian bersama kegiatan usaha hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh (0 s.d. 12 mil laut)". 

Pasal ini membatasi Wilayah Kewenangan Aceh dan membatasi ruang lingkup BPMA yang merupakan Badan Pelaksana yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh. Dalam pelaksanaannya pasal ini menimbulkan permasalahan teknis dan operasional karena pelamparan geologi pada suatu basin tidak mengenal garis imajiner 12 mil. 

Contohnya pada Blok Andaman III yang terhampar dari bibir pantai dan melampaui 12 mil laut. Terdapat kebingungan saat itu, apakah Blok Andaman III di bawah pengelolaan BPMA atau di bawah pengelolaan SKK Migas. Akhirnya atas kesepakatan bersama antara Kepala BPMA dengan Kepala SKK Migas diputuskan bahwa, pengelolaanya di bawah BPMA walaupun pelamparan geologisnya berada di atas 12 mil laut.

Pembatasan Wilayah Kewenangan Aceh menyebabkan terbaginya blok-blok di Aceh. Contohnya Blok NSO di laut, terpisah manajemen operasinya di bawah SKK Migas, sedangkan Blok B yang di darat manajemen operasinya di bawah BPMA. Kedua Blok itu idealnya dalam satu kesatuan manajemen operasi  agar lebih efektif dan efisien. Manajemen Operasi Blok NSO menggunakan PSC Gross Split, sedangkan Blok B menggunakan PSC Cost Recovery. Perbedaan ini menyebabkan Blok tersebut mencari jalan keluarnya masing-masing untuk mempertahankan laju produksi pada fase akhir, konsekuensinya biaya operasi menjadi naik dan keekonomian tidak optimum. 

Selain itu pembatasan tersebut membingungkan dari sisi investor maupun masyarakat. Beberapa calon investor luar negeri yang tertarik dengan Aceh mendatangi BPMA, mereka berharap adanya kekhususan dan kemudahan berinvenstasi jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. 

Setelah BPMA jelaskan ternyata prospeknya berada di luar 12 mil yang bukan merupakan wewenang BPMA tetapi masih di bawah pengelolaan SKK Migas, kemudian merekapun urung melanjutkan. Sedangkan masyarakat umum memahami bahwa saat ini sudah ada BPMA yang merupakan badan khusus di Aceh yang mengurusi masalah hulu migas. Setiap ada kejadian yang berhubungan dengan migas mereka mencari BPMA walaupun secara jurisdiksi wilayah tersebut masih di bawah pengelolaan SKK Migas. Dengan segala keterbatasan wilayah tersebut, menuntut Kepala BPMA untuk lebih fleksibel dalam menjalankan kebijakkannya namun tetap harus hati-hati dalam kerangka regulasi yang ada.

Dua Pemerintah dalam satu Manajemen Operasi.

Hal ini menjadi tantangan unik bagi BPMA, harus menyeimbangkan 2 kepentingan Pemerintah. Dalam pasal 10 dan 11 PP No.23/2015 dijelaskan bahwa BPMA adalah badan pemerintah di bawah Menteri dan bertanggungjawab kepada Menteri dan Gubernur. Menteri merupakan wakil Pemerintah Pusat, sedangkan Gubernur merupakan wakil Pemerintah Aceh. 2 mandat pemerintah inilah yang harus diemban oleh Kepala BPMA dalam satu kerangka Manajemen Operasi.

Pada suatu masa ke-dua pemerintah tersebut berbeda dalam memandang kerangka Manajemen Operasi BPMA. Butuh waktu lama untuk memberikan pemahaman kepada ke-dua Pemerintah tersebut. Kesepakatanpun tidak terjadi, mengakibatkan perpanjangan kontrak kerja sama secara sementara berkali-kali pada Blok B. Ini menjadi preseden yang kurang baik, karena menyebabkan ketidakpastian program kerja dan investasi. 

Namun akhirnya setelah penjelasan dan negoisasi yang mendalam, Menteri dan Gubernur sepakat dengan kerangka Manajemen Operasi dalam bentuk PSC Cost Recovery. Dan ini menjadi tonggak sejarah pertama di Indonesia, dimana BUMD mendapatkan kepercayaan untuk mengelola Blok Migas di Aceh. Proses alih kelola dari Pertamina kepada PT. Pembangunan Aceh (PEMA) berjalan dengan baik dan tercatat sebagai proses alih kelola tercepat dari BUMN kepada BUMD.

Tantangan lainnya adalah memberi pemahaman kepada lembaga dan kementrian terkait lainnya mengenai BPMA. Mereka belum memahami seutuhnya terkait UUPA dan PP 23/2015 sehingga terdapat beberapa peraturan menteri atau peraturan lainnya yang perlu disesuaikan. Hasil inventarisir BPMA terdapat hampir 40 peraturan perundangan yang belum dapat mengakomodir kekhususan BPMA. Ini harus segera diselesaikan satu per satu sehingga kekhususan BPMA dapat terlaksana secara harmonis.

Selain itu, proses bisnis terkait hulu migas antara BPMA dengan Pemerintah Aceh belum terpetakan dengan rapi sehingga menyebabkan beberapa persetujuan Gubernur memakan waktu yang sangat lama. 

BPMA seharusnya melakukan usaha yang lebih dalam menjembatani persamaan persepsi sehingga Pemerintah Aceh dapat memberikan persetujuan dalam waktu yang relatif lebih cepat. Selain itu dibutuhkan komunikasi dan koordinasi yang langsung antara Kepala BPMA dengan Gubernur sehingga setiap keputusan bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh dapat harmonis untuk mempercepat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Untuk itu selayaknya Kepala BPMA terpilih dapat mengajukan kepada Gubernur peta proses bisnis untuk setiap persetujuan Gubernur dalam sebuah Pergub, sehingga pola tersebut menjadi sebuah standar prosedur di kemudian hari.

Lex Specialist Anggaran BPMA

Adapun tantangan lain muncul dari mekanisme anggaran BPMA dimana terdapat 2 pasal dalam PP 23/2015 yang tidak dapat dilaksanakan karena dianggap tidak sesuai dengan UU Nomor 17 tahun 2003 dan PP Nomor 90 tahun 2010. Padahal UUPA dan PP23/2015 adalah produk hukum yang khusus (lex specialist), pasal tersebut adalah pasal 32 dan 33.

Sehingga saat ini BPMA mengikuti mekanisme anggaran yang berlaku umum di Kementrian ESDM. Tentunya mekanisme ini tidak bisa memenuhi kebutuhan dan program kerja BPMA secara efektif karena perbedaan kebutuhan dan nomenklatur di Kementrian ESDM. 

Sebagai pembanding saat ini SKK Migas sistem pengganggarannya tidak melalui mekanisme Kementriaan ESDM tetapi langsung ke Kementerian Keuangan. Mungkin ada baiknya di revisi UUPA ditegaskan kembali kekhususan BPMA sehingga pola penganggarannya bisa ditetapkan oleh Menteri Keuangan seperti yang tertuang dalam pasal 32 dan 33 PP 23 tahun 2015.

Kesimpulan

UUPA dan PP 23/2015 harus ditinjau kembali dengan melakukan beberapa penguatan yang memberikan amanah penuh kepada Kepala BPMA sebagai wakil negara (Pemerintah dan Pemerintah Aceh) dalam pengelolaan bersama hulu migas di Aceh. Pembatasan Wilayah Kewenangan Aceh hingga 12 mil harus dihilangkan, sehingga pengelolaan hulu migas di Aceh menjadi satu kesatuan yang komprehensif. BPMA saat ini sudah berjalan dengan sangat baik di tengah keterbatasan anggaran, keterbatasan wilayah kerja dan keterbatasan regulasi. Namun BPMA akan berjalan jauh lebih baik jika kendala dan tantangan diatas dapat diselesaikan satu persatu sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun