Namun akhirnya setelah penjelasan dan negoisasi yang mendalam, Menteri dan Gubernur sepakat dengan kerangka Manajemen Operasi dalam bentuk PSC Cost Recovery. Dan ini menjadi tonggak sejarah pertama di Indonesia, dimana BUMD mendapatkan kepercayaan untuk mengelola Blok Migas di Aceh. Proses alih kelola dari Pertamina kepada PT. Pembangunan Aceh (PEMA) berjalan dengan baik dan tercatat sebagai proses alih kelola tercepat dari BUMN kepada BUMD.
Tantangan lainnya adalah memberi pemahaman kepada lembaga dan kementrian terkait lainnya mengenai BPMA. Mereka belum memahami seutuhnya terkait UUPA dan PP 23/2015 sehingga terdapat beberapa peraturan menteri atau peraturan lainnya yang perlu disesuaikan. Hasil inventarisir BPMA terdapat hampir 40 peraturan perundangan yang belum dapat mengakomodir kekhususan BPMA. Ini harus segera diselesaikan satu per satu sehingga kekhususan BPMA dapat terlaksana secara harmonis.
Selain itu, proses bisnis terkait hulu migas antara BPMA dengan Pemerintah Aceh belum terpetakan dengan rapi sehingga menyebabkan beberapa persetujuan Gubernur memakan waktu yang sangat lama.Â
BPMA seharusnya melakukan usaha yang lebih dalam menjembatani persamaan persepsi sehingga Pemerintah Aceh dapat memberikan persetujuan dalam waktu yang relatif lebih cepat. Selain itu dibutuhkan komunikasi dan koordinasi yang langsung antara Kepala BPMA dengan Gubernur sehingga setiap keputusan bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh dapat harmonis untuk mempercepat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Untuk itu selayaknya Kepala BPMA terpilih dapat mengajukan kepada Gubernur peta proses bisnis untuk setiap persetujuan Gubernur dalam sebuah Pergub, sehingga pola tersebut menjadi sebuah standar prosedur di kemudian hari.
Lex Specialist Anggaran BPMA
Adapun tantangan lain muncul dari mekanisme anggaran BPMA dimana terdapat 2 pasal dalam PP 23/2015 yang tidak dapat dilaksanakan karena dianggap tidak sesuai dengan UU Nomor 17 tahun 2003 dan PP Nomor 90 tahun 2010. Padahal UUPA dan PP23/2015 adalah produk hukum yang khusus (lex specialist), pasal tersebut adalah pasal 32 dan 33.
Sehingga saat ini BPMA mengikuti mekanisme anggaran yang berlaku umum di Kementrian ESDM. Tentunya mekanisme ini tidak bisa memenuhi kebutuhan dan program kerja BPMA secara efektif karena perbedaan kebutuhan dan nomenklatur di Kementrian ESDM.Â
Sebagai pembanding saat ini SKK Migas sistem pengganggarannya tidak melalui mekanisme Kementriaan ESDM tetapi langsung ke Kementerian Keuangan. Mungkin ada baiknya di revisi UUPA ditegaskan kembali kekhususan BPMA sehingga pola penganggarannya bisa ditetapkan oleh Menteri Keuangan seperti yang tertuang dalam pasal 32 dan 33 PP 23 tahun 2015.
Kesimpulan
UUPA dan PP 23/2015 harus ditinjau kembali dengan melakukan beberapa penguatan yang memberikan amanah penuh kepada Kepala BPMA sebagai wakil negara (Pemerintah dan Pemerintah Aceh) dalam pengelolaan bersama hulu migas di Aceh. Pembatasan Wilayah Kewenangan Aceh hingga 12 mil harus dihilangkan, sehingga pengelolaan hulu migas di Aceh menjadi satu kesatuan yang komprehensif. BPMA saat ini sudah berjalan dengan sangat baik di tengah keterbatasan anggaran, keterbatasan wilayah kerja dan keterbatasan regulasi. Namun BPMA akan berjalan jauh lebih baik jika kendala dan tantangan diatas dapat diselesaikan satu persatu sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H