Hukum perdata Islam adalah hukum perdata yang sesuai dengan hukum Islam dan/atau berlaku bagi orang-orang Islam/badan hukum Islam atau orang/badan hukum yang menundukkan diri kepada hukum Islam. Dari berbagai aturan hukum perdata materiil Islam yang sudah diatur dalam undang-undang, masih terdapat aturan hukum yang tidak berbentuk undang-undang,sehingga hanya memiliki kekuatan hukum fakultatif, bukan imperatif, seperti KHI dan KHES.
Namun demikian, keberadaan KHI dan KHES telah menjadi pedoman bagi hakim-hakim di lingkungan badan peradilan agama dalam memeriksa dan memutus perkara-perkara perdata Islam. Terkait dengan KHI, sejak tahun 2003, Departemen Agama RI telah mengajukan Rancangan Undang-undang Hukum Materiil Peradilan Agama (RUU HMPA) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
RUU HMPA ini bertujuan untuk menyempurnakan materi Kompilasi Hukum Islam dan untuk meningkatkan statusnya dari Inpres menjadi Undang-undang sehingga memiliki kekuatan hukum mengikat (imperatif). Sementara terkait dengan KHES yang masih berbentuk Perma, saat ini Mahkamah Agung melalui Direktorat Pranata dan Tata laksana Perdata Agama Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MA RI (Ditjen Badilag MA RI) sedang melakukan penyusunan Draft Hukum Acara Ekonomi Syariah (HAES), yang pada Juli 2012 telah memasuki tahap finalisasi.
Pendekatan Ushul Fikih Terhadap Hukum Islam
Pendekatan ushul fikih terhadap hukum Islam menawarkan metode. Secara umum, metode-metode penemuan hukum Islam sebagaimana yang dirumuskan oleh para teoretisi hukum Islam dapat diklasifikasikan menjadi tiga metode, yaitu (1) metode interpretasi linguistik (at-turug al-bayaniyyah), (2) metode perluasan makna (ekstensifikasi, ma'nawiyah), dan (3) metode penyelarasan (sinkronisasi, at-taufiq).
Metode interpretasi linguistik merupakan metode penemuan hukum dengan cara melakukan interpretasi terhadap teks-teks hukum Islam, yaitu nash-nash Al Qur'an dan Hadist. Dalam hal ini untuk suatu kasus yang dihadapi sudah ada teks hukumnya, hanya saja nash atau teks hukum tersebut masih kabur atau kurang jelas.Â
Oleh karena itu, di dalam metode ini terdapat dua konsep penting yaitu tafsir dan ta'wil. Tafsir pada dasarnya bertujuan untuk menjelaskan makna suatu nash yang ada dan mendeduksi hukum dari nash itu dalam batas- batas kata dan ungkapannya. Sedangkan ta'wil, adalah keluar dari makna harfiyyah kata- kata dan ungkapan, dan memalingkannya ke dalam sebuah makna tersembunyi yang sering kali didasarkan pada penalaran spekulatif dan ijtihad.
Ulama usul membagi ta'wil menjadi tiga macam, yaitu mengkhususkan lafal yang umum, membatasi lafal yang mutlak, dan memalingkan makna khusus yang hakiki dan jelas kepada makna lain yang mungkin karena suatu alasan yang lebih kuat. Selain dari segi tersebut, Zuhaili menambahkan pengklasifikasian nashh dari segi penggunaannya, pertama, Pernyataan hukum (nash) dari segi kejelasannya: zahir (nash yang tampak), nash (nash yang jelas, perintah-perintahnya lebih jelas dari zahir), mufassar (nash yang tegas), dan muhkam (nash yang sudah sangat jelas). Menurut Kassim Ahmad, nash yang berisi kaidah-kaidah umum atau mujmal itulah sebenarnya yang menjadi dasar pokok hukum syara', sementara ayat-ayat mufassar yang terinci itu hanyalah contoh penerapan sezaman yang dapat berubah.
Kedua, Nash dari segi ketidakjelasannya. Menurut ulama Hanafiyyah dibagi menjadi hafi musykil, mujmal, dan mutasyabih. Ketidakjelasan khafi berasal dari faktor eksternal (di luar pernyataan nash), sementara ketidakjelasan musykil berasal dari dalam pernyataan nash tersebut (internal). Dua yang pertama dapat diperjelas melalui upaya penelitian atau ijtihad, sedangkan dua yang terakhir hanya dapat dijelaskan dengan penjelasan Pemberi hukum. Ketiga, Nash dari segi cakupan maknanya, diantaranya Amm (umum), Khass (khusus), Mutlaq (terbatas), Muqayyad (prioritas), Musytarak (mempunyai lebih dari satu makna).
Keempat, Nash dari segi penggunaannya, terbagi menjadi haqiqi (harfiyyah), majazi (metaforis), kinayah (kiasan), dan sarih (jelas menyingkap maksud pembicara). Baik haqiqi maupun majaz masih terbagi lagi berdasarkan konteksnya kepada makna linguistik (lughawi), makna adat ('urn) baik yang umum maupun khusus, dan makna yuridis (syari). Apabila suatu lafal mengandung kemungkinan makna haqiqi dan majazi, maka diprioritaskan yang haqiqi, karena majazi berlawanan dengan 'asl (makna asli). Haqiqi dan majazi juga terbagi kepada sarih dan kinayah.
Sarih adalah lafal yang maknanya yang dimaksud tampak secara jelas karena banyak menggunakan haqiqi atau majazi. Sedangkan kinayah adalah lafal yang maknanya tertutup darinya di dalam lafal itu sendiri, sehingga tidak dapat dipahami kecuali dengan qarinah, baik makna yang dimaksud haqiqi atau majazi.