Seperempat abad berproduksi dan segera berakhir 2030, tambang emas, di Sumbawa Barat, NTB, kemiskinan, stunting dan pengangguran masih tinggi.
Per Oktober 2024 Kapitalisasi pasar perusahaan dengan kode listing AMMN di bursa efek mencapai Rp 652 Triliun. Patuh melaksanakan semua kewajiban pajak, non pajak dan bagi hasil sejak PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) 25 tahun lalu hingga beralih kepemilikan menjadi PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) 2016.
Pada saat yang sama tingkat kemiskinan di Kabupaten yang berpenduduk 152 ribu jiwa menyentuh angka 21,77 ribu jiwa atau 12,95%, pengangguran 4000-an orang (BPS 2023). Menurut Aplikasi Elektronik Pencatatan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat prevalensi stunting di KSB 7,36%. (official web Dinas Kesehatan KSB).
Indeks Pembangunan Manusia/IPM NTB per Desember 2023 67.80, khusus KSB 71,81 nomor 3 di antara kabupaten lain di provinsi ini ironis di tengah begitu banyak penghargaan yang diterima perusahaan tersebut.
KSB berdiri November 2003. Sebelumnya menjadi bagian dari kabupeten Sumbawa. Tahun 2005, dua tahun setelah terbentuk, atau 5 tahun setelah masuk masa produksi PT NNT, jumlah penduduk miskin 26,60 ribu jiwa. Selama 20 tahun masih bertengger di atas 20 ribuan jiwa.
Apa yang terjadi di KSB mempertegas pendapat ekonom Inggris Ricard Auty sebagai "the curse of natural resources" atau lebih popular sebagai teori "kutukan tambang". Anomali Sumber Daya Alam (SDA) yang kaya raya tetapi tidak berdampak besar pada masyarakat sekitar, KSB adalah satu contoh nyata.
Memang ada penurunan dari tahun-tahun sebelumnya. Tetapi sejak perusahaan raksasa itu berproduksi, kemiskinan, pengangguran dan stunting masih "akrab" dengan masyarakat di tengah belanja modal dan operasional perusahaan yang besar, dan di tengah kinerja yang terus menimba laba. Â
Belanja modal (Capex) PT AMNT, tahun 2023/2024 hampir Rp 50 triliun, di luar biaya operasional sehari-hari. Dalam 5 tahun ke depan sudah menyiapkan capex USD 200 juta/tahun hingga berakhirnya operasinya di Batu Hijau 2030. Â Pada saat yang sama masyarakat butuh pekerjaan/pengangguran mencapai 3,34 % atau (4000 an) orang. Petani dan Usaha Mikro Kecil & Menangah (UMKM) mustinya ikut berkembang dan butuh pasar, justru di tengah perusahaan yang punya karyawan dan rekanan diperkirakan capai 6000 orang ditambah beroperasinya pabrik pengolahan simelter 2025. Â
Di atas kertas sejumlah regulasi dan visi-misi edealisme perusahaan sebagai institusi  yang humanis. Misalnya Program Pemberdayaan Masyarakat (PPM). Dana yang disiapkan berdasarkan dokumen pelaksanaan PPM yang kami peroleh tahun 2021 realisasinya hanya 25% dari jumlah anggaran yang disiapkan USD 7,536,311 (Rp 116 M) kurs Rp 15.500).
Telah coba dikonfirmasi melalui surat elektronik perusahaan untuk update  pelaksanaannya hingga 2024,  tetapi belum mendapatkan jawaban. Berdasarkan dokumen yang sama perusahaan memperkirakan realisasi hingga 2022 sebesar 57 %. Agustus 2021 hingga 2024 belum jelas realisasinya.
Regulasi dari kementerian BKPM untuk mengembangkan UMKM berupa Peraturan Menteri Investasi/Kepala badan koordinasi penanaman modal Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kemitraan Di Bidang Penanaman Modal Antara Usaha Besar Dengan Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah Di Daerah.
Anggaran PPM berdasar regulasi jumlah nominal pun secara teknis diatur dalam keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1824/K.30/MEM 2018, Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengembangan dan pemberdayaan Masyarakat, tetapi ada persoalan pada pelaksanaan.
Perusahaan seperti bingung belanja. Tahun 2022 anggarannya mencapai USD 8.458,323 (Rp 131 milyar), (lihat table). Pasca peralihan kepemilikan dari NNT menjadi AMNT tahun 2016, sejumlah program CSR dan beasiswa manajemen baru, dari laporan keberpanjutan hanya mengklaim yang telah dilakukan PT Newmont.
Kemanakah belanja barang dan jasa perusahaan ini selama seperempat abad? Dari mana beli sandang pangan dan papan bagi 6000 karyawan dan mitra ? Â mengapa UMKM tidak berkembang padahal captive market begitu besar? Mengapa perusahaan tidak dapat menjadi pendamping bagi mereka yang kecil agar juga ikut berkembang?
Apa yang terjadi di KSB menegaskan bahwa inilah contoh paling sempurna dari apa yang disebut dengan teori kebocoran regional (regional leakeges). Di balik cemerlangnya prestasi sebagai sebuah institusi bisnis, sederet penghargaan diterima  dari pemerintah dan swasta,  fakta lain sesungguhnya ia terisolir dari dunia nyata di sekitarnya.
Perputaran ekonomi yang besar justru hanya dinikmati oleh kelompok tertentu di tengah berbagai kesulitan dan keterbatasan masyarakat setempat.
85% PDRB Pergantung Tambang
Ketergantungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) KSB pada sektor tambang mencapai 85%. Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (PBD) sebanyak  80an persen berasal dari transfer pusat, di luar perolehan sejumlah Pajak dan bagi hasil serta bagi hasil bersih ratusan milyar yang diterima sebagai daerah penghasil.
Itu pun tidak mampu mengungkit pertumbuhan sumberdaya terbarukan di sektor pertanian, perikanan, perkebukan dan perternakan, bidang yang secara tradisional menjadi mata pencarian masyarakat setempat.
Sejumlah bendungan besar dengan anggaran triliunan dibangun pemerintah pusat, tetapi belum nampak peta jalan pertanian akan dibawa ke mana.
Pertanian peternakan dan pariwisata belum punya peta jalan (blue print) padahal 2030 Tambang batu Hijau habis dan perusahaan tersebut akan beranjak ke Kabupaten Sumbawa bagian selatan ke Blok Dodo, dan Rinti. KSB otomatis tidak lagi menjadi daerah penghasil.
Hingga Oktober 2024 berdasarkan konfirmasi kepada pejabat setempat kabupaten ini juga belum memasukkan mitigasi pasca tambang dalam RPJM. Sudah pasti belum ada langkah langkah mitigasi apalagi time line persiapan.
Menjelang ditinggalkan kontribusi pertanian, pehutanan dan perikanan terhadap PDRB KSB hanya 3,68%. Pariwisata 0,31% (2023). Tahun 2010 posisinya 0,16% setelah 14 tahun belum juga masuk dalam satu digit. Nyaris tidak ada lompatan berarti.
Ketergantungan PDRB pasca 2030 hingga 85% akan hilang tiba-tiba tanpa mitigasi yang cukup mengganti tulang punggung utama ekonomi. Selama seperempat abad perusahaan tambang emas bercokol, kabupaten ini gagal meningkatkan kontribusi SDA terbarukan.
Setelah tidak lagi menjadi daerah penghasil pasca habisnya sumber daya mineral di KSB, maka satu-satunya harapan dari pemasukan sejumlah efek dari smelter (jika ada). Seperti diketahui pabrik pengolahan yang baru dibangun PT AMNT dan akan beroperasi 2025 bahan bakunya dari Sumbawa bagian Selatan.
Bukan hanya KSB tetapi provinsi NTB pun sangat menggantungkan ekonomi pada tambang PT Amman Mineral Nusa Tenggara berupa Kontribusi nomor dua serta berkah Dana Bagi Hasil (DBH) mendapatkan 16% serta semua kabupaten dan kota kecipratan 10%. (UU Â No 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pasal 113)
Ekspor NTB pun masuh didominasi (95%) pada konsenrat tambang sebagai penambah devisa. Artinya PT AMNT "batuk" saja maka seluruh ekonomi NTB ikut meriang.
Inilah yang terjadi ketika pada pertengahan 2023 ijin ekspor konsentrat AMNT terlambat keluar dari pemerintah sehubungan dengan progres smelter. Apa yang terjadi? Pertumbuhan ekonomi langsung jatuh ke titik nadir. Â BPS mencatat dari posisi menengah jatuh pada urutan ke 3 dari belakang di antara provinsi lain di Indonesia.
Begitu ijin dibuka lagi langsung melambung ke posisi menengah. (Sebelum beroperasi smelter masih berlaku eksport pengolahan row material tambang di negara lain). Betapa rentan denyut nadi NTB terhadap naik turunnya bisnis PT AMNT.
Komoditas eksport belum mampu digenjot, padahal provinsi ini salah satu lumbung pangan Nasional. Bahan-bahan mentah yang dihasilkan pertanian, peternakan dan perikanan tidak memberikan nilai tambah baik pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun ekonomi setempat karena tidak ada proses pengolahan.
Sektor pengolahan atau hilirisasi/industrialisasi  terhadap PDRB selama puluhan tahun NTB dan KSB, kontribusinya hanya 0,22 % di KSB dan 3,86% di NTB. Tidak mudah menjadikan tulang punggung lain pengganti tambang. Pemerintah daerah seperti enggan beranjak dari zona nyaman, padahal segera akan berakhir.  Â
Ironi lain, di tengah tingginya PDRB dari roda bisnis pertambangan, Â dalam dunia nyata, justru jauh dari angka-angka statistik. Ketidak adilan dan kesenjangan. Kinerja dan output tambang menjulang tinggi tetapi pada saat yang sama masih banyak orang miskin, pengangguran dan bayi stunting. (M. Mada Gandhi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H