Cultural diplomacy dianggap sebagai alat diplomasi yang paling fleksibel yang dapat disesuaikan dengan kondisi domestik dan kepentingan suatu negara. Hal inilah yang menjadikan cultural diplomacy dianggap menjadi bagian dari soft power diplomacy, diplomasi publik ataupun sentralitas dan propaganda negara (Patricia, 2013). Karena hal tersebutlah Indonesia menjadikan cultural diplomacy sebagai alat untuk memantapkan posisi dan mengharumkan citra, sebagai negara yang berbudi luhur dan berkepribadian tinggi.
Salah satu usaha yang dilakukan Uni Eropa dalam cultural diplomacy adalah dengan mengadakan ajang kebudayaan atau festival kebudayaan internasional. Festival Budaya dalam Hubungan Internasional merupakan arena wacana yang memungkinkan orang-orang untuk mengekspresikan pandangan mereka terhadap suatu isu-isu budaya, sosial, dan politik yang lebih luas. Seringkali festival budaya digunakan untuk melestarikan budaya tradisional dan lokal dalam menghadapi modernisasi dan globalisasi (Crespi-Valbona & Richards, 2007).
Seperti yang disebutkan oleh (Getz, 1997), keuntungan yang paling penting dan relevan dari sebuah event besar adalah bahwa hal tersebut memungkinkan bagi tuan rumah untuk mempromosikan dan mempublikasikan keseluruhan budaya dan kota mereka dalam jangka waktu yang singkat. Oleh karena itu sebagai perwujudan dari cultural diplomacy, Uni Eropa mengadakan festival film Europe on Screen di Indonesia pada tahun 2019 dan 2020.
Usaha Uni Eropa melakukan cultural diplomacy sangat dipengaruhi oleh prinsip-prinsip mereka yang menempatkan norma-norma fundamental. Contohnya norma perdamaian, kebebasan, demokrasi, supremasi hukum dan hak asasi manusia sebagai fokus utama dalam interaksi hubungan internasional. Dengan menormalisasikan norma-norma ini Uni Eropa berharap dapat membangun kekuatan dan legitimasi yang lebih besar.dalam praktik politik internasional.
Selain terdapat beberapa faktor lain yang menjadi penyebab diadakannya cultural diplomacy festival film Europe on Screen ini, seperti dominasi Hollywood dalam pasar film secara global, perbedaan cara alur distribusi industri film eropa, hingga bangkitnya industri film Indonesia semenjak keterpurukan yang dialami pada era orde baru. Hal inilah yang menjadikan Indonesia dianggap sebagai tempat yang sangat potensial bagi Uni Eropa untuk memasarkan film ciptaan mereka.
Potensi Indonesia semakin besar dengan jumlah penduduk yang mencapai 273 juta jiwa. Pada tahun 2015 terdapat sekitar 16 juta tiket film yang terjual di Indonesia. Jumlah tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat dua tahun berikutnya dengan penjualan tiket mencapai 43 juta tiket film pada tahun 2017. Ini tentu saja tidak terlepas dari literasi teknologi yang baik dan keadaan Indonesia yang sedang mengalami bonus demografi.
Keadaan ini juga tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan pemerintah Indonesia yang memberikan izin kepada investor asing untuk berinvestasi dalam produksi dan distribusi film serta hak atas kepemilikan bioskop pada tahun 2015. Kemudian masifnya pertumbuhan layer bioskop hingga mencapai 1.638 layar pada 2017 menjadikan Indonesia sebagai pasar film terbesar ke 15 di dunia. Hal tersebut dibarengi dengan melambungnya keuntungan film box office hingga $345 juta.
Selanjutnya untuk mewujudkan keberhasilan festival film Europe on Screen dalam cultural diplomacy, setidaknya ada 3 prinsip utama yang harus dipenuhi yaitu prinsip penyebaran atau transmission, prinsip penerimaan atau acceptance dan koeksistensi atau coexistence. Prinsip penyebaran menjelaskan bagaimana proses diplomasi budaya dilakukan oleh aktor dan bagaimana proses diplomasi sampai terhadap publik asing.
Proses penyebaran tersebut mengandung pesan-pesan yang disampaikan melalui budaya yang ditampilkan, dengan harapan dapat meningkatkan rasa keingintahuan publik terhadap budaya tersebut. Prinsip penyebaran Europe on Screen dilakukan dengan pengadaan festival itu sendiri yang dilaksanakan selama 13 hari di 8 kota besar di Indonesia. Kemudian di dalamnya diadakan 3 agenda utama yaitu pemutaran film, film talks, dan short-film pitch project.
Pemutaran film pada Europe on Screen 2019 menayangkan hingga 101 produk film dari berbagai negara Eropa. Produk film tersebut terdiri dari 53 film fiksi, 16 dokumenter serta puluhan film pendek. Sementara itu Europe on Screen 2020 hanya menayangkan total 41 produk film dari 25 negara Eropa. Dengan 30 di antaranya adalah film Fiksi dan selebihnya Dokumenter.
Europe on Screen 2019 dan 2020 juga menghadirkan film talks yang berisis sesi diskusi dan seminar dalam tema-tema seputar pembuatan film dengan berbagai pelaku industri film Eropa. Tidak hanya itu, Europe on Screen 2019 dan 2020 juga mengadakan short-film pitch project. Sebuah program yang dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada para pembuat film muda Indonesia untuk mengajukan ide, mendapatkan bantuan dana dan edukasi tentang pembuatan film.
Indikator yang kedua dalam mewujudkan keberhasilan festival film Europe on Screen dalam cultural diplomacy prinsip penerimaan. Prinsip ini merupakan bentuk evaluasi dari kegiatan diplomasi budaya dengan tujuan untuk mengetahui tercapainya tujuan diplomasi atau tidak. Prinsip penerimaan pada Europe on Screen 2019 dan 2020 bisa dilihat melalui beberapa pemberitaan di dunia maya dan pandangan positif di platform media sosial.
Prinsip penerimaan juga dapat dilihat melalui respon yang diberikan oleh peserta yang hadir. Europe on Screen adalah salah satu festival film terbesar di dunia, dengan rata-rata lebih dari 30.000 pengunjung setiap tahunnya. Prinsip penerimaan juga dapat terlihat testimoni dan respon publik terhadap penyelenggaraan festival film Europe on Screen 2019 dan 2020 di media sosial melalui tagar #eos2019 dan #20EoS20 di platform Twitter.
Indikator yang terakhir dalam mewujudkan keberhasilan festival film Europe on Screen dalam cultural diplomacy adalah prinsip koeksistensi. Prinsip ini mengacu pada bagaimana cultural diplomacy dapat mengangkat dan menjunjung nilai-nilai perdamaian. Festival film Europe on Screen 2019 dan 2020 menghadirkan program film dengan tema "realities" dengan berbagai film-film dokumenter yang memotret kehidupan dan intrik sosial di seluruh daratan eropa.
Kehadiran program "realities" sejalan dengan nilai-nilai dari prinsip koeksistensi dalam praktik cultural diplomacy. Produk-produk film yang ditampilkan menunjukkan potret persoalan sosial dan nilai-nilai yang diharapkan mampu meningkatkan pemahaman kolektif. Selain itu Europe on Screen 2019 dan 2020 sendiri bersifat edukatif dan tidak memaksa, terlihat dari banyaknya program edukatif seperti film talk dan short film pitch project.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H