Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Human Resources - Researcher / Paradigma Institute

Penikmat kopi robusta dan kopi arabika dengan seduhan tanpa gula, untuk merasakan slow living di surga zamrud khatulistiwa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bogor Kota Sejuta Angkot, Potret Kemacetan dan Peluang Transformasi Transportasi

18 Januari 2025   10:42 Diperbarui: 18 Januari 2025   10:42 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertigaan Pasar Parung Bogor sebagai Salah Satu Titik Kumpul Angkot Lintas Trayek (Sumber: rumahparung.com)

Kota Bogor, yang dikenal dengan sebutan "Kota Sejuta Angkot," menjadi potret nyata kesemrawutan penataan transportasi perkotaan di Indonesia. Dengan sekitar 3.000-an angkutan kota (angkot) yang beroperasi setiap hari, Bogor menghadirkan ironi. Kemacetan parah menjadi pemandangan rutin meski mobilitas massal seharusnya mendukung konektivitas masyarakat. Kota ini juga berperan sebagai penyangga utama Jakarta, didukung lebih dari 400 perjalanan KRL setiap hari yang membawa ribuan penumpang dari dan ke ibu kota. Namun, alih-alih menjadi penghubung strategis, Bogor justru bergulat dengan tantangan infrastruktur dan pengelolaan transportasi yang menghambat potensinya.

Sebagai kota penyangga, Bogor seharusnya mampu mendistribusikan mobilitas dari pusat kota ke daerah-daerah sekitarnya secara efisien. Namun, ketidakseimbangan dalam penataan transportasi menciptakan tantangan serius. Angkot yang seharusnya menjadi solusi justru menjadi salah satu penyebab utama kemacetan. Sistem trayek yang tumpang tindih, jumlah armada yang berlebihan, dan kurangnya integrasi dengan moda transportasi lain membuat perjalanan dalam kota sering kali memakan waktu lebih lama dari seharusnya.

Stasiun Bogor, salah satu simpul transportasi tersibuk di Jabodetabek, menjadi saksi mobilitas tinggi. Ribuan penumpang KRL memadati area sekitarnya, namun aksesibilitas yang buruk dan kurangnya transportasi pengumpan yang terorganisir menyebabkan kawasan ini menjadi titik macet utama. Aliran kendaraan pribadi yang melintas semakin memperparah situasi, menunjukkan kurangnya strategi tata ruang dan transportasi yang komprehensif.

Kemacetan dan Dampak Ekonomi

Mesti diakui bahwa sejak 2019 atau bersamaan pandemi Covid sampai 2023, telah terjadi pengurangan armada Angkot di Kota Bogor. Pada 2019 terdapat sebanyak 3.367 armada, pada 2020 menurun menjadi 3.346 armada, pada 2021 menjadi 3.242 armada, pada 2022 menurun menjadi 3.172 armada, 2023 menjadi 3.120 armada, dan masa pertengahan 2024 menyisakan 3.003 armada. Jumlah armada yang tidak berbanding dengan aksesbilitas jalan raya jelas memicu kemacetan yang tidak terselesaikan.

Kemacetan di Bogor tidak hanya berdampak pada kenyamanan warga, tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan. Studi menunjukkan bahwa kemacetan mengakibatkan pemborosan bahan bakar, waktu kerja produktif yang hilang, serta peningkatan biaya logistik. Menurut estimasi, Bogor berpotensi kehilangan miliaran rupiah setiap harinya akibat kemacetan. Pada posisi lain, angkot sebenarnya memiliki potensi besar untuk menggerakkan ekonomi lokal. Ribuan pengemudi bergantung pada moda ini sebagai mata pencaharian utama.

Namun, tanpa manajemen yang tepat, sektor ini justru menjadi sumber ketidakteraturan. Tarif yang tidak konsisten, layanan yang kurang andal, serta persaingan tidak sehat di antara pengemudi memperburuk situasi. Transformasi sistem transportasi massal yang lebih terintegrasi dapat mengubah kondisi ini, menciptakan keseimbangan antara efisiensi mobilitas dan keberlanjutan ekonomi bagi para pelaku di sektor ini.

Kemacetan di Kawasan Tugu Kujang atau Jalan Otista arah Istana Bogor (Sumber: detik.com)
Kemacetan di Kawasan Tugu Kujang atau Jalan Otista arah Istana Bogor (Sumber: detik.com)

Pengaturan jalur bebas Angkot pada kawasan jalur utama atau jalur Sistem Satu Arah (SSA) yang meliputi Jalan Otista, Jalan Ir Juanda, Jalan Jalak Harupat, dan Jalan Pajajaran, terkesan hanya memindahkan lokasi kemacetan. Titik simpul kemacetan secara rutin dapat terasakan pada kawasan pintu masuk Kota Bogor maupun Kabupaten Bogor. Pasar Parung misalnya, titik temu trayek jurusan Depok (D03), Tajurhalang Inkopad (211), PGB Merdeka Bogor (06), Ciputat (D29), Lebakbulus (106), dan Tangerang (D27). Ironisnya, kawasan yang terkenal sebagai sentra ikan hias dan sayur segar itu, tidak menyediakan lahan terminal sebagai lokasi mobilitas Angkot.

Untuk mengatasi permasalahan transportasi di Bogor, diperlukan pendekatan holistik yang mencakup beberapa langkah strategis. Restrukturisasi sistem Angkot dengan penataan trayek yang lebih efisien dan terintegrasi. Pemerintah perlu melakukan penataan dengan mengintegrasikan konektivitas moda lain seperti bus dan KRL. Konversi angkot menjadi feeder transportasi utama perlu dilakukan guna mengurangi tumpang tindih rute dan meminimalkan kemacetan di pusat kota.

Implementasi bus rapid transit (BRT) yang menghubungkan kawasan-kawasan strategis di Bogor dapat menjadi solusi jangka panjang. BRT yang beroperasi dengan jalur khusus akan mempercepat mobilitas dan mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi. Oleh karenanya, perlu dilakukan peningkatan infrastruktur sekaligus modernisasi layanan seperti pembangunan terminal terpadu dan penerapan teknologi digital untuk sistem pembayaran dan pelacakan angkutan, dapat meningkatkan kenyamanan dan efisiensi transportasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun