Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Human Resources - Researcher / Paradigma Institute

Penikmat kopi robusta dan kopi arabika dengan seduhan tanpa gula, untuk merasakan slow living di surga zamrud khatulistiwa.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Putusan MK dan Arah Baru Politik Elektoral Indonesia

2 Januari 2025   22:30 Diperbarui: 3 Januari 2025   09:01 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Ambang batas pemimpin. (Sumber: KOMPAS/HERYUNANTO)

Hari ini, sejarah baru terukir dalam lanskap politik Indonesia. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menghapuskan syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen. 

Keputusan ini, yang telah lama dinanti dan diperjuangkan oleh berbagai pihak, membawa implikasi besar terhadap arah politik elektoral Indonesia ke depan. Sebuah hadiah berharga di awal tahun 2025.

Sejak diberlakukannya ambang batas 20 persen, pencalonan presiden seringkali menjadi arena permainan oligarki partai. Kekuatan politik terkonsentrasi pada segelintir partai besar yang menentukan peta koalisi, sehingga kandidat alternatif sulit muncul. 

Akibatnya, pilihan rakyat dalam Pemilu kerap terbatas pada dua hingga tiga pasangan calon, bahkan ada kekhawatiran stagnasi politik akibat penguasaan oleh elite yang sama.

Setidaknya dengan dihapus ambang batas ini peluang lebih terbuka bagi partai-partai kecil mengajukan kandidat presiden. 

Keberagaman pilihan ini diharapkan mampu memecah dominasi politik yang selama ini terlalu terkonsentrasi, memberikan ruang bagi gagasan baru, dan memperkaya dinamika demokrasi.

Arah Politik Elektoral: Fragmentasi atau Kompetisi Sehat?

Sebagian Aksi Permohonan Penghapusan Ambang Batas Presiden di Mahkamah Konstitusi setelah 36 kali diajukan (Sumber:  SwaraJambi.net)
Sebagian Aksi Permohonan Penghapusan Ambang Batas Presiden di Mahkamah Konstitusi setelah 36 kali diajukan (Sumber:  SwaraJambi.net)
Penghapusan ambang batas berpotensi melahirkan dua kemungkinan besar. Pertama, fragmentasi politik. Tanpa batas minimal dukungan, kita bisa melihat banyak calon presiden berlaga. 

Hal ini dapat menyebabkan fragmentasi suara yang signifikan. Pemilu 2029 mungkin akan menyaksikan lebih dari lima pasangan calon, menciptakan situasi kompetisi yang kompleks. 

Kondisi ini memunculkan risiko polarisasi dan ketidakstabilan politik, terutama jika kandidat yang lolos ke putaran kedua tidak memiliki legitimasi kuat dari rakyat.

Kedua, kompetisi sehat. Peluang semua perwakilan partai bisa mengusung calon ini bisa menjadi awal kompetisi yang lebih sehat. 

Kandidat dari berbagai latar belakang, termasuk tokoh-tokoh non-partisan dan pemimpin daerah, akan memiliki peluang lebih besar untuk maju. Para kandidat akan berlomba menawarkan program yang relevan dan inovatif, bukan hanya mengandalkan jaringan partai.

Dengan banyaknya kandidat, masyarakat perlu lebih bijak dalam memilih. Pendidikan politik menjadi krusial untuk mencegah masyarakat terjebak dalam janji populisme tanpa substansi. 

Fragmentasi suara di DPR, berpotensi menghasilkan pemerintahan yang lemah karena tidak didukung mayoritas kuat. Oleh karena itu, pemerintah harus bersiap menghadapi dinamika parlemen yang lebih cair dan penuh negosiasi sebagaimana sistem parlementer yang pernah diterapkan.

Partai kecil kini memiliki peluang yang sama untuk mengusung kandidat. Hal ini dapat menciptakan keseimbangan kekuasaan di parlemen dan mengurangi dominasi partai besar. 

Keputusan hukum atas pealanan politik bangsa ke depan ini, sesungguhnya membuka ruang bagi tokoh-tokoh muda dan pemimpin alternatif untuk berkompetisi, memecah siklus oligarki politik yang sudah mapan.

Membaca Arah Pemilu 2029

Keputusan ini akan segera mengubah strategi partai politik. Koalisi besar mungkin mulai kehilangan relevansinya, dan partai-partai akan berlomba menemukan figur populis yang memiliki daya tarik elektoral tinggi. 

Kita juga akan melihat dinamika baru di mana calon independen dengan dukungan publik yang solid menjadi kekuatan penting.

Dari perspektif yang lebih luas, Indonesia memasuki era politik elektoral yang lebih cair, tetapi juga lebih kompetitif. Kesuksesan sistem baru ini akan sangat bergantung pada kemampuan institusi pemilu, seperti KPU dan Bawaslu, untuk menjaga proses yang adil dan transparan.

Putusan MK ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Hapusnya ambang batas 20 persen adalah peluang besar untuk menciptakan demokrasi yang lebih inklusif dan representatif. 

Namun, peluang ini juga datang dengan tantangan besar yang harus dikelola dengan bijaksana.

Dengan dinamika politik baru yang akan lahir, harapannya Indonesia dapat melangkah ke arah demokrasi yang lebih matang, di mana suara rakyat benar-benar menjadi penentu utama arah bangsa. 

Di tengah semua potensi dan tantangan, inilah momen yang tepat bagi rakyat untuk lebih aktif terlibat, tidak hanya sebagai pemilih, tetapi juga sebagai pengawal demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun