Masa jabat anggota Komisi Polisi Nasional (Kompolnas) tahun 2020-2024 telah di penghujung waktu, pemerintah bergegas mempersiapkan pemilihan anggota Kompolnas masa jabat 2024-2028.
Pada hari Jumat (21/6/2024), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto mengumumkan 9 anggota panitia seleksi (pansel) untuk memilih anggota Kompolnas yang didasari oleh Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2024 (Keppres No. 37/2024) yang diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo. Enam hari kemudian, yakni hari Kamis (27/6/2024), pansel membuka pendaftaran calon anggota Kompolnas hingga 19 Juli 2024 melalui website Kompolnas.
Dalam kerangka yuridis, kelembagaan Kompolnas pertama kali disebut oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU No. 2/2002) pada Bab VI Pasal 37 sampai Pasal 40. Akan tetapi, Kompolnas sendiri didirikan selang 9 tahun pasca lahirnya UU No. 2/2002, yakni pada tahun 2011 dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional (Perpres No. 17/2011).
Pada bagian pertimbangan lahirnya peraturan ini, tercermin sebuah spirit untuk menghadirkan Kompolnas yang profesional, akuntabel, dan mandiri dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Adapun yang paling mendasar mengenai fungsi Kompolnas ialah sebagai pengawas fungsional terhadap kinerja Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Polri (lihat Pasal 3 ayat 1 Perpres No. 17/2011).
Pansel Calon Anggota Kompolnas
Kompolnas tampaknya akan sulit merealisasikan fungsi dasar kelembagaannya untuk mengawasi kinerja Polri. Hal ini disebabkan oleh kemandirian lembaga tersebut yang sejatinya telah direbut bahkan sejak pemilihan pansel untuk seleksi anggota Kompolnas.
Dalam Pasal 29 ayat (2) Perpres No. 17/2011, pansel yang nantinya akan menyeleksi calon anggota Kompolnas merupakan murni pilihan Presiden atas usul Menko Polhukam.
Artinya, tidak ada kriteria umum dan kriteria khusus dalam pemilihan 9 anggota pansel yang tentunya berdampak pada proses seleksi anggota Kompolnas.
Dapat pula dikatakan bahwa semua hal mengenai pansel adalah kehendak prerogatif pemerintah. Selain itu, Perpres No. 17/2011 juga tidak mengatur mengenai kewajiban pemerintah untuk secara akuntabel dan transparan dalam pemilihan anggota pansel, sehingga sangat mungkin terjadi conflict of interest pemilihan anggota Kompolnas kedepannya.
Kondisi itu diperburuk dengan kenyataan bahwa sejatinya pansel hanya akan digunakan untuk menyeleksi calon anggota Kompolnas dari unsur non-pemerintah (lihat Pasal 29 ayat 1 Perpres No. 17/2011). Adapun unsur non-pemerintah yang dimaksud adalah unsur pakar kepolisian dan unsur tokoh masyarakat yang berjumlah masing-masing 3 orang dari total anggota Kompolnas yang berjumlah 9 orang (lihat Pasal 39 Perpres No. 17/2011).
Maka secara a contrario, calon anggota dari unsur pemerintah tidak akan diseleksi terlebih dahulu oleh 9 anggota pansel. Tiga calon dari unsur pemerintah ini layaknya mendapatkan “kartu VVIP” untuk secara otomatis dapat menjadi anggota Kompolnas tanpa melalui mekanisme seleksi oleh pansel.
Tata Cara Penggantian Anggota Kompolnas
Celakanya, peran pemerintah yang dominan terhadap pemilihan anggota Kompolnas tampaknya tidak hanya berhenti pada pansel calon anggota Kompolnas. Pemerintah juga mempunyai peran penting dalam penggantian anggota Kompolnas apabila terdapat anggota yang telah diberhentikan.
Menurut Pasal 35 ayat (1) Perpres No. 17/2011, Presiden memiliki kehendak untuk memilih anggota Kompolnas pengganti berdasarkan usulan Menko Polhukam.
Lebih celakanya lagi, calon pengganti anggota Kompolnas tersebut tidak harus berasal dari calon hasil pansel yang sebelumnya pernah diajukan kepada Presiden (lihat Pasal 35 ayat 2 Perpres No. 17/2011).
Hal ini karena Pasal 35 ayat (2) menggunakan diksi “dapat” yang dalam konstruksi norma hukum dimaknai bukan sebagai kewajiban, melainkan diskresi semata. Oleh karena itu, penggantian anggota Kompolnas murni berpijak pada kehendak pemerintah.
Buruknya pengaturan dalam Perpres No. 17/2011 tersebut bahkan melebihi busuknya pengaturan tata cara pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meskipun memang sejak Pasal 3 Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (UU No. 30/2002) dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 (UU No. 19/2019) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah menempatkan kelembagaan KPK dalam rumpun kekuasaan eksekutif (sama halnya seperti Kompolnas), pemilihan pimpinan KPK merupakan kerja bersama yang dilakukan antara eksekutif dengan legislatif (lihat Pasal 30 ayat 1 UU No. 30/2002 jo. UU No. 19/2019). Kewenangan pemilihan pimpinan KPK bahkan tetap berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), walaupun setelah itu seolah “dikembalikan” menjadi lembaga yang bergerak di bawah Presiden.
Ketentuan ini berlaku pula dalam konteks tata cara penggantian pimpinan KPK. Maka dengan melihat perbandingan pengaturan kelembagaan antara Kompolnas dengan KPK, semakin menunjukkan bahwa Kompolnas tidak benar-benar didesain sebagai lembaga negara yang mandiri dalam menjalankan tugas, wewenang, serta fungsinya dalam mengawasi kinerja Polri.
Independensi Kompolnas Dipertanyakan
Melihat uraian ini, Kompolnas tampaknya tidak dapat menjalankan amanat Perpres No. 17/2011 itu sendiri yang mendesain Kompolnas sebagai lembaga negara yang mandiri dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Kompolnas sejatinya telah kehilangan independensi kelembagaannya, selain karena fakta bahwa struktur kelembagaannya berada di bawah Presiden (lihat Pasal 37 ayat 1 UU No. 2/2002 dan Pasal 2 ayat 2 Perpres No. 17/2011), juga disebabkan adanya campur tangan pemerintah yang terlampau besar dalam tata cara pengangkatan anggota Kompolnas.
Permasalahan kemandirian Kompolnas bermula dari pemilihan anggota pansel yang sarat akan kepentingan pemerintah, disparitas mengenai tata cara proses pengangkatan anggota Kompolnas antara calon dari unsur pemerintah dengan calon unsur non-pemerintah, hingga tata cara penggantian anggota Kompolnas yang menjadi domain pemerintah. Tiga hal ini sebenarnya telah cukup untuk menunjukkan adanya dependensi kelembagaan Kompolnas.
Jimly Asshiddiqie dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia mengungkapkan 3 parameter independensi suatu kelembagaan negara, yaitu (1) independensi institusional atau struktural yang berkenaan dengan hubungan eksternal antara lembaga negara, (2) independensi fungsional yang berkaitan dengan kebebasan menetapkan tujuan (goal independence) dan kebebasan menetapkan kebijakan (instrument independence), dan (3) independensi administratif yang berkaitan dengan kemerdekaan dalam keuangan (financial independence) dan kemerdekaan personalia (personnel independence) untuk secara bebas menentukan pengangkatan serta pemberhentian personalia kelembagaan sendiri.
Dari ketiga aspek tersebut, tampaknya Kompolnas cukup jauh untuk dapat dikatakan sebagai lembaga negara yang mandiri atau independen. Peran pemerintah yang begitu dominan dalam kelembagaan Kompolnas secara tidak langsung membatalkan amanat Perpres No. 17/2011 yang telah mendesain Kompolnas sebagai lembaga negara yang independen.
Dengan demikian, jangan berharap Kompolnas dapat menjadi lembaga negara yang independen untuk menjalankan fungsinya sebagai pengawas kinerja Polri, karena sekali lagi, independensi Kompolnas bahkan telah direbut sejak pemilihan anggota panselnya.
Muhammad Kevin Setio Haryanto Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H