( Isi dari tulisan ini sesuai dengan isi kuliah Prof.dr. Zainal Muttaqin PhD. SpBS saat mengisi kuliah online rutin KAHMI Cabang Semarang, Jumat 15 Mei 2020)
Pekerjaan saya sehari-hari di rumah sakit, walaupun tidak terkait langsung dengan wabah ini. Tetapi kami bersinggungan. Di hampir semua rumah sakit itu ada tim dokter yang menangani infeksi yang masuk dalam tugas Covid19. Tetapi ada tim lain yang di luar itu yang tidak langsung menangani. Sejak bulan Maret semua rumah sakit sudah membatasi aktifitas yang tidak terkait dengan Covid19.Â
Ada kasus-kasus tertentu yang harus segera ditangani atau kami sebut kasus emergency. Kasus emergency itu banyak, misalnya : Stroke (Pendarahan Otak), Kecelakaan Lalu Lintas, dan ada juga pasien dengan kelainan ada yang butuh pertolongan segera. Kebetulan saya ada di situ.
Berawal dari saat kita menghadapi situasi wabah. Kita telah paham  bahwa dalam kasus infeksi Covid19,  menurut data yang ada, sekitar 80% yang terinfeksi tidak  menunjukkan gejala apapun.Â
Menurut klasifikasi pemerintah Indonesia disebut OTG (Orang Tanpa Gejala). Kemudian, 20% ada keluhan dengan infeksi yang terjadi. Dan yang 20% ini terbagi dengan keluhan ringan seperti gejala flu biasa yang bisa di rawat di rumah dan ada sebagian pasien dengan gejala berat sehingga membutuhkan pertolongan dan perawatan di rumah sakit.
Pengalaman Kami
Pada kenyataannya, Â keberadaan pasien OTG itu menyulitkan kita, khususnya tenaga medis. Kami tidak akan pernah tahu siapa yang sakit yang membawa virus dan siapa yang tidak jika tidak di tes.Â
Kejadian yang saya alami, pada tanggal 24 Maret salah satu anggota tim saya ( seorang PPDS) yang kebetulan ikut melaksanakan operasi kasus emergency non Covid 3hari sebelumnya, tiba-tiba mengalami demam setelahnya. Karena itu, kami telusuri semua orang yang kontak dengan beliau dan di  tes tanggal 26 Maret dengan Swab test menggunakan PCR. Hasilnya keluar pada tanggal 1 April dan betul, ada yang positif Covid19.
Karena hasil tes PCR ada 1 yang positif maka kami putuskan semua dalam tim besar kami yang sempat kontak dengan pasien yang di operasi tanggal 21 Maret atau dengan keluarga pasien, dan juga yang  kontak dengan PPDS yang ketahuan positif tadi di minta untuk tes PCR.Â
Total ada 30 an orang. Pemeriksaan ini dipenuhi tanggal 6 dan 8 April. Hasilnya tanggal 13 dan 15 April ada 20 orang yang positif Covid19. Termasuk diri saya. Kami semua tidak pernah ada gejala apapun. Tapi karena hasil tes positif, tentu kami bisa menulari orang lain.
Hal ini namanya Contact Tracing, yang tujuannya untuk mencegah penyebaran wabah. Namun ada jeda waktu satu minggu dari waktu kami di tes. Dan selama satu minggu antara tanggal 6 sampai 13 April itu kami masih berkeliaran ketemu keluarga, ketemu pasien, dan sebagainya.Â
Sejak di beri tahu, kami putuskan kami akan di karantina agar tidak menulari orang lain. Di samping tetap menjaga kesehatan, nanti setelah sekitar dua minggu harapannya virus akan menghilang sendiri dengan daya tahan tubuh kami. Tujuan utama isolasi adalah memutus rantai penyebaran. Karena kami sempat kontak dengan orang lain, maka semua di daftar, kemudian di tes juga.Â
Tapi yang dipenuhi hanya test Rapid karena sulit jika semuanya di tes PCR. Hal ini juga di lakukan dalam rangka memutus transimisi Covid19. Pasien-pasien dan Perawat yang sebelumnya ketemu saya juga di tracing oleh pihak rumah sakit atas permintaan saya. Yang merasa ada gejala diminta untuk periksa ke rumah sakit, yang tak ada gejala diminta untuk mengisolasi diri.
Problematika 1: Kapasitas tes yang rendah
Kemampuan tes yang dimiliki pemerintah Indonesia saat ini paling buruk. Saat ini dengan upaya maksimal melibatkan berbagai pihak, itupun baru akhir-akhir ini.Â
Pada awalnya pemerintah hanya memiliki dan mempercayai laboratorium  yang dimiliki oleh Kementerian Kesehatan saja. Kemudian setelah melibatkan instansi lain, seperti universitas dan sebagainya, maka saat ini kapasitas test yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia baru mencapai sekitar 300 lebih per satu juta penduduk.  Angka itu masih jauh dibawah Pakistan, Bangladesh dan negara-negara lain yang secara ekonomi dan sistemnya harusnya ada di bawah Indonesia.Â
Indonesia baru setara dengan Myanmar, Burundi, negara yang namanya saja mungkin kita tak kenal. Disisi lain Vietnam, Thailand dan Malaysia, negara tetangga kita sudah melakukan test hampir 10 kali kemampuan kita. Mereka sampai 2000 test lebih per satu juta penduduk. Negara yang sudah berhasil cepat mengatasi ini, Jerman, Australia melakukan test pada 20.000 orang per satu juta penduduk. Jadi 100 kali kemampuan kita. Padahal, penanggulangan wabah ini, salah satu kunci utamanya adalah dengan tes.Â
Dengan tes, bisa di ketahui siapa yang positif dan  siapa yang berpotensi menyebarkan, dan memutus rantai penyebarannya. Dengan kemampuan yang terbatas ini maka sebenarnya yang penting untuk diambil adalah tindakan mencegah pergerakan orang. Itu yang di Indonesia sangat setengah-setengah.
Problematika Sistem Layanan Kesehatan yang  Buruk
Gambarannya begini, ada 132 Rumah Sakit rujukan Covid19 di seluruh Indonesia dengan sekitar 46000 tempat tidur itu kalau semua boleh dipakai untuk Covid19. Padahal tidak mungkin. Ada orang lain yang sakit bukan Covid juga butuh penanganan. Misalnya separohnya saja untuk Covid berarti ada 23000 kapasitas tempat tidur di Rumah Sakit rujukan.
 Tidak pernah bisa menampung yang sakit. Pasti disparitas akan terjadi. Tugas kita adalah membuat 20% yang sakit jangan sampai melebihi kapasitas rumah sakit tadi. Caranya membatasi jumlah yang sakit. Dan supaya jangan bertambah yang sakit kita harus membatasi pergerakan orang, atau apapun sebutannya.
Problematika Rapid Test KW-2
Kelemahan yang lain pemerintah membebaskan siapapun, rumah sakit manapun , fasilitas kesehatan swasta manapun yang ingin buat sistem testing sendiri. PCR test itu alatnya relatif mahal.Â
Yang berkembang  di pasaran adalah yang namanya Rapid Test. Rapid Test adalah alat screening, artinya kalau yang hasil Rapid Test-nya reaktif itu butuh di pastikan atau di konfirmasi dengan tes swab PCR . Karena PCR nya terbatas, tidak semua orang dites PCR, maka lewat Rapid Test dulu. Ini yang banyak dilakukan. Problemnya kita semua bisa jualan atau membeli secara bebas di market place seperti di Buka Lapak atau Toko Pedia.Â
Ada 50 lebih merk Rapid test yang beredar di Indonesia. Padahal dari FDA (Food and Drug Administration) sudah melakukan evaluasi pada semua produk Rapid Test ini dari 50-an merk hanya 3 yang mendapatkan rekomendasi yang  hasilnya reliabel. Pemerintah China juga membuat pengumuman bahwa dari 50-an merk itu yang di rekomendasi hanya 8 merk saja. Malah dii Uganda yang terjadi adalah hasil reaktif Rapid Test Covid19 pada cairan pohon pisang dan kambing.Â
Pemerintah Korea dari awal mengambil kebijakan Rapid Test, siapapun termasuk rumah sakit swasta boleh mengetes tapi wajib di bawah kendali Pemerintah, alat dan merk ditentukan. Dan untuk tracing semua dikendalikan Pemerintah.
Di Indonesia semua dibebaskan. Tapi kita tidak tahu alat itu KW1, KW2 atau bahkan KW3. Tidak ada petunjuk apapun. Itu salah satu kelemahan yang ada di Indonesia. Dan ini jadi lahan bisnis baru , ongkosnya banyak, bervariasi mulai dari yang 500 ribu sampai yang 2 juta dibikin paket Tes. Fakta ini menunjukkan tidak ada koordinasi yang baik dari sisi pemerintah karena memang terlambat dari awalnya menangani kasus Covid19 ini.
Data yang ada Tidak Jelas Manfaatnya
Data tentang  tes semua negara di bagi secara terbuka. Tetapi di Indoneisa,  jumlah data yang sakit hanya boleh diumumkan oleh Gugus Tugas Covid. Yang ditest di RS Kariadi Semarang hasilnya positif tidak boleh diumumkan. Kadang  hanya di beri tahu ke Pasien. Data yang sakit dari Propinsi dikirim ke Pusat. Kemudian Pusat yang memasukkan data. Tapi mungkin bukan hari ini. Mungkin minggu depan baru masuk.
Jadi informasi jumlah yang bertambah berapa orang tiap hari untuk apa?
Kita bandingkan dengan laporan cuaca di TV asing kalau ada awan dan sebagainya dapat digunakan untuk memprediksi. Harusnya data Covid19 ini menjadi peta besar, klasternya dimana saja , yang baru mana, yang mengalami perbaikan mana , terus sudah di-tracing sejauh mana, dilakukan apa saja.
Bukan sekedar laporan jumlah, tiap hari nambah dan sebagainya. Terkait dengan jumlah yang meninggal, baru-baru ini WHO sudah membuat surat kepada semua negara terutama untuk negara yang kapasitas tes nya rendah agar jumlah kematian yang diumumkan karena Covid19 itu tidak dibatasi yang telah di tes PCR positif. Indonesia hanya mengumumkan jumlah kematian karena Covid19 yang tes-nya positif, padahal tes-nya terbatas sekali. Mestinya data yang benar itu seperti data yang dibuat misalnya oleh Dinas Pertamanan DKI.Â
Menurut datanya mulai Februari 2019 sampai Februari 2020, setiap bulan jumlah orang mati yang dikubur di kuburan yang dikelola Dinas Pertamanan , reratanya sekitar 2800 mayat. Tetapi bulan Maret yang dikubur ada 4400 mayat. Jadi ada selisih angka 1600 lonjakan angka orang mati dalam sebulan di banding sebelumnya. Tapi ini tidak pernah bisa dimasukkan sebagai kematian karena Covid19 walaupun untuk penguburannya dilakukan prosedur untuk Covid19. Karena mereka adalah ODP, PDP yang meninggal di rumah sakit tapi masih belum sempat di tes karena antri atau alasan lain. Mereka tidak di umumkan sebagai korban karena Covid19.Â
Masyarakat Tidak Takut
Tujuan WHO meminta itu (kematian) dilaporkan karena kapasitas tes yang sangat terbatas. Namun pemerintah beralasan jangan menakuti masyarakat. Karena tak boleh menakuti maka akibatnya masyarakat tidak takut. Tidak ada sense of crisis. Tiap hari pada berusaha mudik, berkumpul kumpul di jalan yang padat karena dan lainnya, seperti tidak ada apa-apa.Â
Di anggapnya semua ini berjalan seperti biasa padahal wabah berkembang terus, sehingga kita tidak tahu sampai dimana penyebarannya. Yang dikhawatirkan WHO pada saat semua negara lain Covid19 nya sudah reda, Indonesia yang menjadi satu titik yang berbahaya. Disana sudah selesai disini belum selesai. Sehingga Indonesia bisa menjadi sumber Covid19 untuk nanti Gelombang berikutnya di dunia.
Kebijakan yang Keliru
Satu hal lagi. Pemerintah mengejar laporan harian untuk mengetahui jumlah pasien yang sembuh. Apa ini artinya ? Pengalaman saya untuk mencapai hasil negatif saya ditest berkali-kali. Sebelum diberitahu positif dua kali test. Dua minggu kemudian setelah di isolasi dites ulang sampai 3 kali. Karena sekali negatif, kedua ragu-ragu terus di ulang ketiga. Total saya 5 kali tes. Yang ketiga adalah test untuk mengkonfirmasi bahwa saya sudah negatif.
Saya baca tulisan di Bali ada orang yang butuh sampai 11 kali di tes baru diketahui hasilnya bisa negatif. Di dalam rombongan teman saya sendiri ada yang dites swab 6 kali baru bisa dinyatakan negatif. Ini untuk apa? Untuk bisa diumumkan sebagai jumlah yang sembuh.
Pemerintah Inggris dan Pemerintah Belanda, coba perhatikan. Mereka tidak pernah mengumumkan jumlah yang sembuh karena mereka sudah memberitahu rakyatnya bahwa mereka tidak melakukan tes ulang karena alat tes terbatas. Padahal kemampuan mereka lebih dari kita. Mereka lebih mengutamakan test untuk kelompok ODP dan PDP yang lebih membutuhkan.
Kalau Pemerintah kita kapasitasnya terbatas untuk apa mengumumkan tiap hari yang sembuh sekian? Hanya untuk menenteramkan hati? Tidak diumumkan juga tidak apa-apa asal saya di isolasi dua minggu tidak ketemu orang dan tetap sehat. Terus saya balik ke rumah dan di tambah isolasi dua minggu di rumah dan itu artinyasudah aman. Tanpa harus di tes negatif lagi. Menurut saya sebaiknya begitu.
Jadi banyak yang salah disini. Tapi Pemerintah kita, kita tahu mereka tidak mendengarkan IDI, FKM UI. Malah yang tiap hari konsultasi adalah Gubernur DKI. Lihat saja kenapa Gubernur DKI selalu berbeda langkah, berbeda pendapat dengan Gugus Tugas Covid karena Pemerintah DKI tiap hari mendengarkan pendapat ilmuwan, pendapat ahli ilmu Epidemologi. Tetapi disisi lain Gugus Tugas anti-sains. Faktanya seperti itu.
Apa Yang Dapat Kita Lakukan
1. Contact Tracing
Kita ini sebagai rakyat biasa di bawah tidak dapat berbuat apa-apa. Ya sudah kita berbuat untuk lingkungan kita masing-masing. Melakukan Contact Tracing sekadarnya, bersama-sama membatasi diri. Kita dapat membantu dengan melakukan itu. Karena tanpa gejala, maka siapapun yang berasal atau datang dari daerah zona merah misalnya, harus dianggap positif Covid19 sebelum bisa dibuktikan tidak. Memutus rantainya cuma isolasi minimal 14 hari. Karena kita tes-nya terbatas, jangan berharap dari tes. Apa mau berharap dari tes pakai Rapid Test yang ada 50 merk beredar di Indonesia mulai dari KW1, KW2, KW9, KW 10 ada semua disini?Â
2. Pendidikan Sosial
Bagaimana mendidik masyarakat untuk tidak men-stigmatisasi mereka yang positif Covid19? Waktu saya dan teman-teman diisolasi di Hotel Kesambi milik Pemerintah di Semarang itu, pikiran saya yang pertama  bahwa nanti tak akan ada orang mau menginap disitu, mungkin paling tidak sampai 1-2 tahun. Karena hotel dipakai menampung orang infeksi. Saat itu banyak penduduk sekitar hotel yang menolak. Dan contoh lain, ada beberapa SMA di Jakarta yang rencananya dipakai isolasi pasien Covid19, penduduk di sekitarnya juga menolak. Karena orang takut ketularan. Penjelasan ke masyarakat tidak tuntas. Bagaimana penularannya, siapa yang bisa ketularan.
Saat pertama kami datang, karena kami adalah rombongan pertama untuk fasilitas ini, semua karyawan hotel ketakutan. Jadi kami buat edukasi pada karyawan hotel. Kami di kamar di biarkan mengelola kamar kami sendiri. Kebersihan kamar kami kerjakan sendiri. Kami di beri sapu, sikat dan lainnya.Â
Kami mengganti seprei sendiri, semua kami lakukan sendiri tidak melibatkan karyawan hotel. Semua barang-barang kotor kami tidak ditangani karyawan hotel tapi dikumpulkan karyawan rumah Sakit, dicuci dan disterilkan oleh rumah sakit kemudian kembali kepada kami. Itu semua karena karyawan hotel takut.
 Lalu penduduk sekitar ramai mendatangi, RT, RW nya semua datang menanyakan tentang keberadaan kami. Hari pertama disana kami mau olah raga pagi, kami pun dilarang. Karena belum ada kesepakatan dengan Penduduk sekitar. Saya pribadi saat itu takutnya karena kami yang ketahuan positif jangan-jangan nanti kami dilempari batu sama mereka. Karena jenazah saja ditolak.
Sempat juga kami didatangi Penduduk, mereka protes gara-gara ada satu teman di hotel itu yang menjemur pakaian dalam di jendela. Dari kampung kelihatan, mereka takut virusnya terbang menghampiri mereka. Jadi banyak sekali penjelasan.Â
Kita butuh sosialisasi. Bahwa kami ini tenaga kesehatan, kami bisa menjaga diri agar tidak menulari orang lain. Kami kumpul di-isolasi di situ itu untuk memutus rantai. Kami tidak mengisolasi di rumah masing-masing karena kami takut jika nanti tiap hari akan ada petugas yang datang dengan pakaian "astronot" untuk memeriksa kami. Itu malah akan membuat geger satu kampung. Ada juga teman sejawat yang dipersoalkan tetangganya karena takut kalau ketularan. Dengan banyak fenomena ini, jangan menyalahkan pasien yang menutup informasi bahwa diri atau keluarganya positif Covid19.
Hindari Pendekatan Ancaman
Pendekatan pihak rumah sakit juga saya rasa kadang tidak benar. Kita lihat di Rumah Sakit Swasta, kalau mau berobat ke rumah sakit, baru sampai pintu sudah ada tulisan "Ancaman Pidana UU KUHP kalau tidak jujur dalam memberi informasi tentang Corona, tentang riwayat perjalanan, tentang riwayat test."Â
Pendekatannya pendekatan ancaman. Yang seharusnya adalah bagaimana usaha kita supaya justru kalau bisa ada orang yang terbuka mengatakan dirinya positif atau punya riwayat kontak dengan orang yang positif dan  Jadikan dia pahlawan supaya setiap lingkungan terbuka dan pada akhirya bisa mencegah penyebaran wabah. Sekiranya hal-hal ini yang dapat dilakukan di lingkungan masing- masing.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H