Kelemahan yang lain pemerintah membebaskan siapapun, rumah sakit manapun , fasilitas kesehatan swasta manapun yang ingin buat sistem testing sendiri. PCR test itu alatnya relatif mahal.Â
Yang berkembang  di pasaran adalah yang namanya Rapid Test. Rapid Test adalah alat screening, artinya kalau yang hasil Rapid Test-nya reaktif itu butuh di pastikan atau di konfirmasi dengan tes swab PCR . Karena PCR nya terbatas, tidak semua orang dites PCR, maka lewat Rapid Test dulu. Ini yang banyak dilakukan. Problemnya kita semua bisa jualan atau membeli secara bebas di market place seperti di Buka Lapak atau Toko Pedia.Â
Ada 50 lebih merk Rapid test yang beredar di Indonesia. Padahal dari FDA (Food and Drug Administration) sudah melakukan evaluasi pada semua produk Rapid Test ini dari 50-an merk hanya 3 yang mendapatkan rekomendasi yang  hasilnya reliabel. Pemerintah China juga membuat pengumuman bahwa dari 50-an merk itu yang di rekomendasi hanya 8 merk saja. Malah dii Uganda yang terjadi adalah hasil reaktif Rapid Test Covid19 pada cairan pohon pisang dan kambing.Â
Pemerintah Korea dari awal mengambil kebijakan Rapid Test, siapapun termasuk rumah sakit swasta boleh mengetes tapi wajib di bawah kendali Pemerintah, alat dan merk ditentukan. Dan untuk tracing semua dikendalikan Pemerintah.
Di Indonesia semua dibebaskan. Tapi kita tidak tahu alat itu KW1, KW2 atau bahkan KW3. Tidak ada petunjuk apapun. Itu salah satu kelemahan yang ada di Indonesia. Dan ini jadi lahan bisnis baru , ongkosnya banyak, bervariasi mulai dari yang 500 ribu sampai yang 2 juta dibikin paket Tes. Fakta ini menunjukkan tidak ada koordinasi yang baik dari sisi pemerintah karena memang terlambat dari awalnya menangani kasus Covid19 ini.
Data yang ada Tidak Jelas Manfaatnya
Data tentang  tes semua negara di bagi secara terbuka. Tetapi di Indoneisa,  jumlah data yang sakit hanya boleh diumumkan oleh Gugus Tugas Covid. Yang ditest di RS Kariadi Semarang hasilnya positif tidak boleh diumumkan. Kadang  hanya di beri tahu ke Pasien. Data yang sakit dari Propinsi dikirim ke Pusat. Kemudian Pusat yang memasukkan data. Tapi mungkin bukan hari ini. Mungkin minggu depan baru masuk.
Jadi informasi jumlah yang bertambah berapa orang tiap hari untuk apa?
Kita bandingkan dengan laporan cuaca di TV asing kalau ada awan dan sebagainya dapat digunakan untuk memprediksi. Harusnya data Covid19 ini menjadi peta besar, klasternya dimana saja , yang baru mana, yang mengalami perbaikan mana , terus sudah di-tracing sejauh mana, dilakukan apa saja.
Bukan sekedar laporan jumlah, tiap hari nambah dan sebagainya. Terkait dengan jumlah yang meninggal, baru-baru ini WHO sudah membuat surat kepada semua negara terutama untuk negara yang kapasitas tes nya rendah agar jumlah kematian yang diumumkan karena Covid19 itu tidak dibatasi yang telah di tes PCR positif. Indonesia hanya mengumumkan jumlah kematian karena Covid19 yang tes-nya positif, padahal tes-nya terbatas sekali. Mestinya data yang benar itu seperti data yang dibuat misalnya oleh Dinas Pertamanan DKI.Â
Menurut datanya mulai Februari 2019 sampai Februari 2020, setiap bulan jumlah orang mati yang dikubur di kuburan yang dikelola Dinas Pertamanan , reratanya sekitar 2800 mayat. Tetapi bulan Maret yang dikubur ada 4400 mayat. Jadi ada selisih angka 1600 lonjakan angka orang mati dalam sebulan di banding sebelumnya. Tapi ini tidak pernah bisa dimasukkan sebagai kematian karena Covid19 walaupun untuk penguburannya dilakukan prosedur untuk Covid19. Karena mereka adalah ODP, PDP yang meninggal di rumah sakit tapi masih belum sempat di tes karena antri atau alasan lain. Mereka tidak di umumkan sebagai korban karena Covid19.Â