"Jibril mendatangiku lalu berkata: "Wahai Muhammad! Hiduplah sesukamu, karena sesungguhnya kamu akan mati, cintailah siapa yang kamu suka, karena sesungguhnya engkau akan berpisah dengannya dan berbuatlah sesukamu, karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan karenanya." Kemudian dia berkata:" Wahai Muhammad! Kemulian seorang mukmin adalah berdirinya dia pada malam hari (untuk shalat malam), dan keperkasaannya adalah ketidakbutuhannya terhadap manusia."
(HR. ath-Thabarani dalam al-Mu'jam al-Ausath al-Ahadits ash-Shahihah)
Penisbatan makhluk paling sempurna dari Allah SWT menjadikan manusia lupa diri, hingga akalnya mati, telinganya tuli dan matanya buta karena sudah tertutup oleh merasa paling sempurna, makhluk lain tidak layak dijadikan nasehat bagi dirinya.
Jangankan disuruh mengambil pelajaran pada  lebah, belajar mendengar nasehat dari sesama manusia saja enggan dilakukan, kecuali didasari dengan imbalan sesuatu yang menguntungkan dirinya.
Manusia lupa, bahwa kesempurnaan manusia dalam firman Allah SWT ada rangkaian pejelasan yang disambung dengan penjelasan firman lain yakni, belajarlah kepada apa saja dan siapa saja, ambilah pelajaran darinya sebagai bekal untuk mengenal dan beribadah kepadaKu, Tuhan yang menciptkanmu, termasuk mengambil pelajaran dari lebah madu.
"Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda kebesaran Tuhan bagi orang yang memikirkan."
[QS. An-Nahl : 69]
Menolak Legitimasi Sempurna
Allah SWT tidak akan menyempurkan akal dan iman manusia dikala manusia tidak mau mendengar dan mengambil pelajaran dari makhluk apa saja yang diciptakanNya. Dikatakan manusia sebagai makhluk sempurna disaat manusia mau menerima nasehat dan mau mendengarnya, kemudian dijadikan pelajaran bagi dirinya.
Kesempurnaan yang dimaksud Allah SWT bukan kesempurnaan dalam berbuat kebebasan atas dasar akalnya, kesempurnaan yang dimaksud, yakni cerdas dalam menggunakan akalnya, telinganya, hatinya, matanya, lidahnya, kakinya, tangannya dan setiap unsur yang melekat dalam dirinya sebagai kendaraan menuju pengakuan diri, bahwa dirinya tidaklah sempurna, dengan kesadaran ini manusia akan siap dan mau mengambil pelajaran dari dan kepada apa saja.
Menolak legitimasi kata sempurna yang salah dalam pemaknaan jadi jalan pintas menghidupkan kesadaran hati, manusia tidak layak mengaku sempurna diatas makhluk lain.