Berbagai permasalahan di kalangan ummat muslim sudah sering kita saksikan bersama. Permasalahan satu belum berakhir, muncul lagi permasalahan lain. Sesama muslim ada yang saling mencaci, mengadu, memfitnah, membunuh bahkan perang antara kelompok. Di Bandung seorang pria bunuh pasangan suami istri, di Bima terjadi kasus mutilasi, di Madura ada siswa bunuh gurunya sendiri, di kabupaten Tangerang seorang pemuda nekat bunuh diri.
Tentu  sebagai manusia, kita ingin menghindari tindakan kekerasan yang dapat merugikan diri sendiri, apalagi jika kasusnya berhubungan dengan agama dan nyawa orang lain, sehingga sebagai seorang muslim kita tidak ingin dianggap sadis dan dicap sebagai islam garis keras, islam hanya namanya saja atau islam-islam yang  sensitif.
Pertentangan dan permusuhan antara kaum muslim kini sudah naik ke permukaan. Tidak saja terjadi pada individu-individu tertentu, tetapi sudah menyebar pada kelompok, golongan, lembaga hingga partai politik.
Sekarang kita bisa melihat, bagaimana islam dan agama dibuat berkotak-kotak, dengan dibangunya sebuah sistem Negara melalui kekuatan lembaga kementerian agama yang membuat pahaman aqidah islam bercerai berai hingga dibubarkanya beberapa ormas islam yang dianggap bertentangan.
Kenyataan ini mengingatkan saya pada sebuah riwayat yang perlu diangkat untuk memahami keadaan yang terjadi. Pesan ini bukanlah sekedar pesan biasa atau dongeng ramalan saja. Tapi sudah merupakan sebuah fakta yang perlu direnungi oleh seluruh ummat islam di Indonesia.
"Hampir datang suatu masa kepada ummat manusia bahwa islam tidaklah ketinggalan melainkan tinggal namanya, dan Al-Qur'an tidaklah ketinggalan melainkan tinggal tulisan, masjid-masjid mereka ramai tetapi sunyi kosong dari petunjuk yang benar, para ulama mereka lebih buruk dari segala apa yang di bawah kolong langit karena dari sisi mereka itu keluarnya fitnah dan kepada mereka fitnah akan kembali' (HR Imam Al-Baihaqi dari Ali RA).
Riwayat itu memberikan ingatan bahwa pesan yang telah disampaikan, bukanlah sekedar catatan yang tercantum dalam sejarah islam saja, sehingga ummat mengerti bahwa Islam bukan sekedar nama. Islam bukan sekedar simbolitas yang menyingkirkan substansi (isi) ajarannya.
Jika Islam Hanya Tinggal Nama
Di antara keagungan dan keistimewaan agama islam adalah dari namanya. Kata islam tidak sembarang ada. Dan yang menamakan islampun bukan dari individu atau sekelompok masyarakat tertentu. Pemberian nama tersebut bersumber dari pemilikNya sendiri sang Ilahi Robbi.
Kata islam berasal dari kata salima yuslimu istislam yang berarti (tunduk atau patuh). Terdapat kata lain yaitu yaslamu salam yang berarti ( selamat, sejahtera atau damai). Â Bisa diterjemahkan tidak sekedar patuh, tetapi menyerahkan diri, mengikhlaskan diri, berdamai terhadap sesama, menjalankan perintah sesuai Al-Quran dan Sunnah.
Alangkah sedihnya jika substansi (isi) dari sebuah nama mulai terkikis oleh dominasi simbolitas beragama yang mengakibatkan sekat-sekat kecurigaan antara sesama karena perbedaan warna bendera. Akhirnya muncullah anggapan bahwa islam itu berwarna-warna dan tidak kompak.
Kedamaian dan persatuan yang pernah diajarkan oleh rasulullohu salallohu alaihi wassalam terhadap ummat kini sudah terpecah belah. Sebagian orang yang mengaku beragama islam sembarang menyesatkan dan mengkafirkan beberapa golongan bahkan ada yang membubarkan kajian jama'ah lainya. Akhirnya substansi kemurnian beribadah kepada sang pencipta terkikis oleh simbolitas, ingin disanjung atau riya dihadapan manusia.
Jika praktik beragama dikuasai oleh kepentingan maupun kepuasan pribadi. Menjadikan simbol islam sebagai popularitas, islam sekedar di gambar, islam sekedar di lembaga maka lunturlah nilai-nilai kemurnian yang terkandung dalam kitab sucinya sendiri.
Jika Qur'an Tinggal Catatan
Sejumlah kaum muslimin dan muslimah berlomba untuk menikmati hidup di dunia dengan beranekaragam pilihan. Ada yang memilih untuk hidup sederhana, bergelut dengan buku, membaca karya sastra, membaca novel karya penulis terkenal di perpustakaan. Tentu semua itu tidaklah salah dilakukan bagi seorang pembaca yang budiman. Asalkan kita tidak lupa dengan membaca kitab suci Al-Qur'an sebagai pegangan ummat islam.
Pengajaran yang dilaksanakan di dunia pendidikan atau sekolah-sekolah umum sesungguhnya belumlah cukup untuk bisa memahami Al-Qur'an yang hanya diberlakukan beberapa jam saja. Pesantrenpun belumlah cukup mengajarkan Al-Qur'an dengan cara menghafalkan dan melagukanya jika belum dibarengi dengan didikan akhlak dan amalan kebaikan sehari-hari.
Al-Qur'an yang selama ini jadikan sebagai pedoman hidup, seakan-akan mulai ditinggalkan dan hanya tersusun mati di rak lemari rumah. Ada yang biasa jadikan Al-Qur'an sebagai simbol mahar dalam pernikahan. Kitab suci ini juga kerap dijadikan sebagai kitab suci sakti saat pelantikan para pejabat. Setelah masa pelantikan selesai Al-Quran mulai dilupakan dan ditinggalkan lembaran-lembaranya.Â
Selain dibaca tekstual Al-Qur'an juga  digunakan untuk membimbing ummat dalam berdakwah, bisa dilakukan dengan cara berdiskusi dengan teman, sahabat, jama'ah atau kawan yang berfungsi mengingatkan ketika lupa dan yang akan menguatkan sekaligus mengimbangi dalam sebuah majelis ilmu. Berdakwah bukan sekedar di mimbar dan bukan hanya tugasnya para ustadz atau tugas para da'i. Tetapi bisa dilakukan oleh setiap muslim.
Ketika Dakwah Sekedar di Mimbar
Ajaran islam tidak hadir dengan sendirinya tanpa melalui perjuangan para nabi, sahabat, keluarga dan para ulama-ulama terdahulu yang telah mendahului kita. Nabi Muhammad berdakwah melalui dua tempat utama yaitu di Mekah dan Madinah. Periode Mekah dilakukan secara keseluruhan selama 13 tahun dan periode madinah selama 10 tahun.
Ada dua cara yang dilakukan oleh nabi Muhammad saat berdakwah saat itu. Pertama, dakwah dilakukan oleh nabi secara sembunyi-sembunyi kepada, keluarga, kerabat terdekat sekitaran beliau. Kedua dakwah dilakukan secara terang-terangan kepada masyarakat luas.
Dakwah nabi adalah melakukan kunjungan ketempat-tempat jamuan makanan yang mempertemukan masyarakat dari berbagai golongan. Tidak memandang seseorang dari suku, ras, pangkat, jabatan dan wibawa kepada sesama manusia.
Praktek nabi inilah mengingatkan saya pada seorang da'i bernama Fadlan dari Fakfak  Irian  (Nuuwar). Fadlan berjalan kaki dengan para da'i lainya selama berhari-hari untuk sampai ke tempat tujuan. Tidak selalu berjalan mulus, berbagai penolakan dari masyarakat agar Fadlan segera berhenti mempengaruhi masyarakat adat. Sampai akhirnya 3712 orang mengucapkan Syahadat. Kegiatan dakwah Fadlan cukup tepat dan kondisional, kejelian membaca situasi dan ketepatan metode yang digunakan adalah kunci keberhasilan dakwah seorang Fadlan Garamathan.
Untuk memotong sebuah pohon besar diperlukan alat yang tepat. Tak mungkin dipotong menggunakan silet Goal pasti kapak atau mesin sensor. Kehidupan beragama pun tentunya seperti itu. Memahami kondisi tidak harus dibaca secara tekstual perlu konteks dan beragam pendekatan agar kehidupan ummat tetap terjaga seperti perintah Iqra dalam Qur'an surah Al-Alaq.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H