Mohon tunggu...
Muhammad IrgiSyaawal
Muhammad IrgiSyaawal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik

be a better

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Penolakan Fraksi PDIP DI DPR RI terhadap Revisi UU Pemilu Merupakan Pilihan yang Rasional

19 Agustus 2021   13:54 Diperbarui: 19 Agustus 2021   13:56 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tidak lengkap rasanya jika memasak tanpa garam. Sama halnya dengan DPR RI yang tidak lengkap rasanya jika tidak melakukan Revisi pada Undang-Undang Pemilu tiap periodenya. Revisi Undang-Undang Pemilu sangat mudah dilakukan oleh DPR RI. Seakan sangat spesial, Undang-Undang ini berbeda dengan Undang-Undang lain seperti RUU PKS yang harus memakan waktu bertahun-tahun untuk bisa dibahas

Fakta tersebut dibuktikan lagi oleh DPR RI Periode 2019-2024 yang baru dilantik satu tahun lalu. Mereka yang baru genap satu tahun dilantik sudah memikirkan langkah untuk merevisi Undang-Undang Pemilu. Alasannya karena adanya keinginan dari partai-partai menengah di DPR RI untuk menormalisasi Pilkada. Semula Pilkada sesuai Undang-Undang Pemilu No.7 tahun 2017 akan dilaksanakan serentak pada tahun 2024. Namun Partai-Partai menengah di DPR RI seperti Nasdem ingin mengubahnya karena khawatir banyak urusan publik yang terbengkalai akibat adanya kekosongan jabatan kepala daerah definitif di sebagian besar daerah serta teknis pemilu yang akan sangat berat jika diadakan serentak [1].

 

Langkah beberapa partai politik ini justru tidak di dukung oleh partai pemenang pada dua kali pemilu sebelumnya yaitu PDIP. Awalnya saat revisi Undang-Undang Pemilu hanya membahas isu kenaikan ambang batas parlemen PDIP ikut menyetujui dengan kenaikan menjadi 5% [2]. Namun ketika pembahasan memasuki isu normalisasi Pilkada, PDIP dengan tegas menolak melanjutkan pembahasan [3]. Apa alasan rasional PDIP menolak revisi Undang-Undang Pemilu ini?  

 

ALASAN RASIONAL PENOLAKAN PDIP

 

Secara rasional PDIP pasti menolak revisi UU Pemilu ini terutama pada masalah normalisasi Pilkada. Karena akan ada cost yang harus ditanggung yaitu dengan munculnya tokoh potensial baru setelah setelah pilkada 2022 dan 2023[4]. Terutama pada pilkada DKI Jakarta. DKI Jakarta merupakan barometer politik Nasional maka calon-calon yang bertarung akan menjadi sorotan di tingkat Nasional. Seperti kita ketahui sebelumnya pada Pilkada DKI Jakarta 2012 memenangkan Joko Widodo yang akhirnya berhasil menang juga dalam Pilpres 2014. Sedangkan pada Pilkada DKI Jakarta 2017 memenangkan nama Anies Baswedan yang akhirnya saat ini terus membuat namanya bertengger di papan atas survei calon Presiden Potensial 2024. PDIP memang tidak miskin kader pemimpin potensial di tingkat daerah, sebut saja nama Ganjar Pranowo dan Tri Rismaharini. Dua nama yang sangat popular di masyarakat ini selalu ada dalam survei bursa calon Presiden potensial 2024. Dengan ditarungkan salah satu dari mereka di Pilkada 2022 sebenarnya bisa semakin memuluskan kemenangannya pada Pilpres 2024. 

 

Namun Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sepertinya tidak menginginkan langkah tersebut. Mega sepertinya khawatir jika pilkada 2022 dilaksanakan maka Anies Baswedan akan mendapatkan panggung terus sampai 2024. Menang ataupun kalah tetep akan membuat Anies Baswedan memiliki popularitas yang besar pada Pilpres 2024 sebagai imbas dari Pilkada DKI Jakarta 2022 yang menjadi sorotan Nasional [5].

PDIP tidak menginginkan hal ini terjadi mengingat keduanya berada dalam dua kutub yang berbeda. Sedangkan PDIP sebagai partai terbesar saat ini ingin mengamankan kemenangan pada Pilpres 2024 agar dapat terus mempertahankan kekuasaannya. Hal ini wajar dilakukan karena kekuasaan itu membuat kecanduan, seorang yang sudah terlalu lama merasakan kekuasaan akan merasa haus, hidupnya tidak normal lagi mereka akan terus berusaha mencari kekuasaan itu[6] (Muchtarom, 2012). 

 

Kekhawatiran tersebut menjadi cost yang besar bagi PDIP. Sedangkan secara rasional PDIP harusnya memilih pilihan yang lebih besar mendatangkan  benefit dibandingkan cost nya [7]. Pemilukada serentak pada 2024 ini ternyata lebih banyak memberikan benefit bagi PDIP[8]. Mulai dari tertahannya popularitas Anies Baswedan yang kemungkinan besar akan menjadi lawan pada Pilpres 2024. Karena Anies Baswedan akan mengakhiri jabatannya pada 2022. Artinya Anies akan kehilangan momentum selama 2 tahun lamanya padahal politik itu masalah ketepatan momentum[9]. Kemudian dengan ditundanya pilkada, akan banyak kursi kepala daerahyang mengalami kekosongan.

Kekosongan kursi kepala daerah ini akan di isi oleh seorang Pejabat (Pj) Kepala daerah yang akan dipilih langsung oleh Presiden Joko Widodo. Pada kesampatan inilah PDIP sebagai partai terbesar di pemerintahan bisa mempengaruhi keputusan Presiden Jokowi dalam memilih para Pj tersebut[10]. Jika ini terjadi maka PDIP dapat menjadikan kadernya sebagai kepala daerah tanpa harus berjuang dalam Pilkada [11]. Hal ini akan sangat berpengaruh pada pemilu 2024. Biasanya Partai yang telah menguasai Pilkada sebelumnya akan memiliki posisi yang lebih baik pada Pemilu Berikutnya. 

Secara Rasional wajar Fraksi PDIP menolak Revisi Undang-Undang Pemilu N0.7 Tahun 2017. Karena jika Revisi dilakukan maka Pilkada akan dinormalisasi tetap dilaksanakan pada 2022 dan 2023. Dengan begitu Anies Baswedan sebagai pesaing terkuat PDIP pada Pilpres 2024 akan terus mendapat panggung dengan adanya Pilkada DKI Jakata 2022. Ini akan mejadi beban yang berat bagi PDIP pada Pemilu 2024. PDIP akan lebih banyak mendapatkan benefit jika Pemilu dilakukan serentak pada tahun 2024.

Salah satu benefit yang didapat yaitu Anies Baswedan akan kehilangan momentum politik selama 2 tahun karena masa jabatannya akan habis pada 2022. Ini berbanding terbalik dengan PDIP yang akan terus mendapatkan banyak momentum politik sampai 2024. Karena PDIP sebagai The Ruling Party bisa saja mendapatkan hak istimewa untuk menempatkan kadernya sebagai Pj kepala daerah yang mengalami kekosongan karena Pj kepala daerah akan dipilih sendiri oleh Presiden Jokowi. Artinya 2024 semua momentum politik akan tertuju pada seorang Presiden Jokowi beserta orang-orang dilingkarannya saja. PDIP sebagai kelompok yang paling berpengaruh dalam lingkaran Presiden Jokowi akan mendapat keuntungan yang sangat besar pada Pemilu serentak 2024.

DAFTAR PUSTAKA

 

de Jonge, J. (2012).  Rethinking Rational Choice Theory. Palgrave Macmillan, London.

Muchtarom, M. (2012). Fenomena Pemilukada, Etika Politik dan Nilai Moral Kekuasaan. PKn Progresif, 7(1).

Rosidin, R. (2015) Analisis Teori Pilihan Rasional Terhadap Madrasah Transformasi. Madrasah , 7 (2).

Satrio, H. B., Mursitama, T. N., Pradipto, Y. D., & Alamsjah, F. (2021). HOW SOCIAL MEDIA ACTIVITY AS A MODERATING VARIABLE INFLUENCED MOMENTUM AND POLITICAL CAREER. Psychology and Education Journal, 58(2).

Budilaksono, I. (2021, Februari). F-NasDem: Pilkada Serentak 2024 sebabkan hak publik terabaikan. Antaranews.com.

Mawardi, I (2021, Januari) PDIP Usulkan Ambang Batas Parlemen Jadi 5% Agar Terjadi Penyederhanaan Partai. Detiknews.com.

Paath, K. (2021, Februari). Tegas Tolak Pilkada 2022 dan 2023, PDIP: Jangan Lecehkan UU Pilkada, Beritasatu.com.

PDIP Tolak Pilkada 2022, Aniesfobia?, (2021, Januari). Kompasiana.com.

Siapa Untung Pj Gubernur Dipilih Jokowi Jelang 2024. (2021, Maret). CNNIndonesia.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun