Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal Fahimy
Muhammad Iqbal Fahimy Mohon Tunggu... Lainnya - PELAJAR

Suara yang tak bernada. Detak yang tak berdenyut. Hiduplah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Warisan Endatu: Rapai Dabus, Kesenian Aceh yang Melegenda

7 Oktober 2022   18:00 Diperbarui: 7 Oktober 2022   18:10 1755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rapai Dabus di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tahun 2017. foto: tempo.com

Budaya merupakan salah satu elemen penting yang melekat pada setiap kehidupan personal ataupun kolektif sosial. Sosial (masyarakat) meyakini bahwa budaya merupakan salah satu tata aturan ataupun nilai-nilai yang menjadi pedoman, pegangan, dan patokan untuk menjalani kehidupan sosial itu sendiri. 

Hadirnya budaya dalam aktivitas sosial merupakan representasi dari kultural sosial yang mendiami suatu tempat.

Kita mengetahui bahwa budaya merupakan produk sosial yang dihasilkan berdasarkan kesepakatan bersama yang diyakini memiliki nilai-nilai atau pengaruh tertentu dalam kehidupan sosial.

Di dalam budaya, terkandung banyak hal, mulai dari pendidikan, norma (aturan), nilai-nilai, dan juga pesan-pesan keagamaan.

Jika kita menarik benang merah yang lebih jauh, esensi pendidikan yang utama (sebelum hadirnya orientasi keberadaan teknologi, global, dan aspek lainnya), keberadaan pendidikan merupakan transformasi nilai-nilai budaya dari suatu generasi ke generasi selanjutnya. Hal ini menunjukkan bahwa budaya merupakan hal yang sangat penting dan melekat secara personal atau kolektif pada diri masyarakat.

Indonesia yang notabenenya merupakan sosial yang memiliki beragam suku, etnis, agama, dan ras, tentunya memiliki keanekaragaman kebudayaan. 

Di Jawa terkenal dengan budaya wayang, di Papua terkenal dengan tradisi Iki Palek (budaya potong tangan), di Kalimantan terkenal dengan budaya Dayak, Sulawesi terkenal dengan budaya Toraja, dan Sumatera terkenal dengan budaya Batak. Kelima pulau di Indonesia ini memiliki kebudayaan tersendiri yang menjadi ikonik. 

Tentunya, yang disebutkan sebelumnya merupakan partikel kecil dari kebudayaan-kebudayaan kelima pulau yang ada di Indonesia. Jika kita menyelami lebih dalam, terdapat ratusan bahkan ribuan kebudayaan yang terdapat di masing-masing etnis yang ada di Indonesia.

Salah satu kebudayaan Indonesia yang tidak kalah eksisnya adalah Debus. Debus dimaknai sebagai salah satu kesenian bela diri yang kebal terhadap benda-benda tajam.

Seni debus merupakan salah satu kebudayaan Indonesia yang begitu terkenal, karena memiliki gaya seni yang luar biasa dan tata peragam yang begitu ekstrim. 

Akan tetapi, setiap daerah di Indonesia memiliki seni debus tersendiri. Salah satunya seni debus Aceh atau yang lebih dikenal Rapai Dabus.

Rapai Dabus Aceh merupakan salah satu seni bela diri yang kebal terhadap senjata tajam dan prosesnya memiliki rapalan ataupun syair (kebiasaan salawat ataupun zikir). 

Seni Rapai Debus Aceh merupakan salah satu dari kesenian (kebudayaan) yang begitu terkenal dan melegenda di Aceh. Karena, rapai dabus merupakan salah satu peninggalan (warisan) budaya Aceh yang dari masa kesultanan. 

Bahkan, dari beberapa literatur menyatakan, bahwa orang Aceh memiliki ilmu-ilmu kebal yang luar biasa.

Sejarah Rapai Debus Aceh

Rapai Dabus atau rapa'i dabh merupakan kesenian gabungan antara syair-syair (islam) dan ilmu metafisika (ilmu kebal). Menurut beberapa literatur, asal mula rapai dabus di Aceh berasal dari puisi-puisi atau syair yang dilantunkan oleh kaum sufi yang ada di Aceh. Dulunya (bahkan sekarang) Aceh terkenal akan keislaman. 

Jika melihat sejarah Aceh, pertama sekali manusia yang mendiami Aceh adalah masyarakat-masyarakat yang masih berpola-pikir animisme (kepercayaan kepada roh-roh). 

Hingga pada awal abad 7 (pendapat lain abad ke 13) islam masuk ke Aceh melalui perantara perantau (pedagang) dari wilayah pesisir timur. Pesisir timur yang dimaksud adalah negara-negara mayoritas muslim, seperti Arab Saudi, Palestina, Mesir, dan sebagainya.

Rapai Dabus seperti yang sudah dijelaskan, pada mulanya, bukan kesenian yang memperagakan kekuatan tubuh, melainkan hanya kumpulan syair-syair islami yang dibacakan oleh mursyid (guru sufi) kepada muridnya untuk membersihkan jiwa. 

Akan tetapi, seiring perkembangannya, syair-syair tersebut dijadikan sebagai alat (metode) untuk memperoleh kekuatan kebal. Terdapat pertentangan yang mendasar tentang rapai debus yang terjadi sekarang, karena terjadi penyelewengan unsur-unsur keagamaan, di mana syair-syair keagamaan dijadikan alat untuk memperoleh kekuatan yang tidak baik. 

Walau demikian, rapai debus oleh beberapa kalangan dianggap sebagai suatu warisan budaya yang begitu kontroversi dan melegenda di Aceh.

Penyebaran Rapai Dabus di Aceh

Wilayah yang paling terkenal dengan rapai dabus di Aceh adalah wilayah pesisir Barat---Selatan Aceh. Wilayah-wilayah tersebut seperti Aceh Selatan, Aceh Barat Daya (Abdya), Aceh Barat, dan sekitarnya. 

Menjadi rahasia umum di Aceh, kultur masyarakat Aceh pesisir Barat---Selatan memang dikenal akan ilmu kebalnya. Hal ini mengindikasikan bahwa rapai dabus masih begitu sering diperagakan oleh masyarakat Aceh pesisir barat. 

Walaupun rapai dabus yang ada di daerah pesisir Aceh Barat---Selatan tidak semeriah dulunya, namun dapat kita temui penggelaran rapai dabus di acara-acara besar masyarakat Barat-Selatan Aceh, seperti acara khitanan, kawinan, atau cara lainnya yang dinazarkan untuk diadakan rapai dabus.

Seiring perkembangan zaman, rapai dabus yang ada di Aceh menjelma menjadi salah satu produk kebudayaan dan kesenian khas Aceh. Jika dulunya rapai dabus diperagakan dalam rangka acara-acara kemasyarakatan, sekarang rapai debus Aceh diperagakan dalam event lokal, nasional, bahkan internasional. Ini merupakan efek dari seni debus yang begitu menarik di Aceh.

Rapai Debus sebagai Salah Satu Kebudayaan Aceh

Aceh memang identik dengan islam dan penerapan syariat islam. Aceh dikenal sebagai Bume Seramoe Mekkah (bumi serambi Mekkah). Hal ini representasi bahwa Aceh merupakan "duplikat" dari Mekkah yang merupakan kiblat dari orang-orang islam. Karena hal itu, segala hal yang berkaitan dengan Aceh, pasti ikut serta unsur-unsur keislaman di dalamnya. Tak terkecuali rapai dabus.

Walaupun rapai dabus oleh beberapa pihak dan golongan dianggap sebagai salah satu bentuk kesyirikan, namun tidak sedikit pihak yang mendukung dan mengapresiasi rapai dabus sebagai salah satu kesenian dan warisan budaya. 

Bahkan, pemerintah Aceh sendiri menyatakan bahwa rapai dabus sebagai salah satu produk budaya dan kesenian Aceh yang harus dilestarikan dan dikembangkan. 

Terlepas ada pro kontra akan hal tersebut, yang pasti rapai debus Aceh merupakan salah satu warisan budaya yang harus dilestarikan oleh masyarakat Aceh. Bagaimanapun, rapai dabus secara konvensional oleh masyarakat Aceh dianggap sebagai salah satu unsur budaya.

Ciri-Ciri dan Bentuk Fisik Rapai Dabus

Rasanya tidak puas, kalau berbicara tentang rapai dabus tanpa ada bukti-bukti otentik. Bukti otentik tersebut merupakan pembeda antara rapai debus Aceh dan dabus dari masyarakat di luar Aceh. Mungkin, foto di bawah ini dapat mewakili beberapa bukti otentik untuk memperkuat bahwa rapai debus Aceh berbeda dengan dabus di daerah lainnya.  

Foto antaraksi dabus. blog.unnes.ac.id/Supriyadims
Foto antaraksi dabus. blog.unnes.ac.id/Supriyadims

Rapai Dabus di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tahun 2017. foto: tempo.com
Rapai Dabus di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tahun 2017. foto: tempo.com

Jika kita melihat sepintas, tidak ada beda antara rapai debus Aceh dengan dabus di daerah lain. Namun, jika kita perhatikan secara saksama, dapat kita temui bahwa di belakang para pendebus, terlihat beberapa orang yang memegang rapai (nama alat music yang digunakan). 

Orang-orang yang memegang ataupun memainkan alat musik rapai tersebut adalah orang-orang khusus yang memahami ritme, irama, dan alunan dari syair-syair yang dilantunkan. 

Biasanya, orang-orang yang memukul atau memainkan rapai berjumlah tujuh sampai dengan 10 orang tergantung dari grup atau kelompok dabus itu sendiri. 

Disamping para pemain rapai, ada juga syekh atau khalifah yang menjadi juru kunci dalam atraksi dabus. Peran syekh atau khalifah adalah untuk merapalkan syair-syair (atau bahasa lain mantra) untuk atraksi dabus. 

Peran syekh atau khalifah dalam hal ini sangatlah vital, karena sumber dari kekebalan tersebut berasal dari rapalan-rapalan khusus daripada syeikh atau khalifah.

Menurut pengalaman pribadi penulis, sebelum atraksi rapai dabus dimulai, ada beberapa hal atau persyaratan yang harus diketahui, seperti: (1) tidak boleh sombong atau takabur, (2) harus memahami tata aturan yang berlaku (karena setiap syekh atau khalifah memiliki aturan tersendiri, (3) orang yang ingin bergabung atau bermain debus harus meminta izin terlebih dahulu kepada syeikh, (4) rapai harus dimainkan (tanpa henti) sewaktu atraksi debus dilakukan.

    Berikut penulis cantumkan penggalan teks atau bait syair dari rapai dabus.

"Beso puteh ilallah bak nabi Adam, beso itam ilallah bak siti Hawa. Sabe mole, ya Allah, Lon puphoen dengon bismillah dile awai, awai-awai lon puphoen. Lon ten surot jinoe asai, asai bak mula. Lon ten surot jinoe asai, asai bak sia. Syeikh dua blah jinoe nyo sajan-sajan sereta".

"Besi putih ya Allah pada nabi Adam, besi hitam ya Allah pada siti Hawa. Selalu mole, ya Allah, Saya dahulukan dengan bismillah. Saya tahan mundur asal-asal mula. Saya tahan mundur asal-asal pada sia. Syeikh dua belas sekarang bersama kita".

"...hak teusurak ilmu taburu bisu, aku tahu asal bisu, darah pendek asalmulamu jadi, beuso itam beuso puth, nur muhammad mulamu jadi... urat kawat tulang besi. Pantang kau makan kulitku, haram kau jilat darahku, karena kutahu asal mulamu".

Jika kita memahami dan mengerti tentang syair---syair di atas tentunya akan lebih mudah untuk mengerti maksud dan tujuan dari syair tersebut. Akan tetapi, karena kelemahan penulis sendiri, penulis hanya dapat menyajikan penggalan syair saja karena faktor bahasa yang digunakan sukar untuk dimengerti.

Terakhir, penulis ingin menyampaikan, bahwa rapai dabus di Aceh harus selalu dilestarikan dan dikembangkan, Generasi muda Aceh khususnya harus memahami dan mengetahui unsur-unsur kebudayaan, karena budaya adalah identitas dan jati diri seseorang. Seperti peribahasa orang Aceh, "Mate aneuk meupat jirat, gadoh adat hana pat tamita" atau, "Mati anak kita tahu pusara (kuburan), tapi hilang adat tidak tahu mau cari kemana". Wallahualam.

Rujukan

https://acehprov.go.id/berita/kategori/jelajah/mengenal-sekilas-tentang-seni-rapai-dabus-di-aceh-selatan/di akses pada Senin, 3 September 2022.

Mouna, Ardial Rizki, 2020. Nilai-Nilai Dakwah dalam Syair Rapa'i Debus di Kabupaten Aceh Selatan. Banda Aceh: Universitas Uin ar-Raniry.

Youtube: Sigupai Entertaimen/Pusaka (music)---Jeki Irwandi. 2022. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun