Banyak Sebab Perkawinan Tak Dicatat "Ancaman hukuman kurungan tetap diabaikan
[caption id="attachment_364716" align="aligncenter" width="390" caption="Banyak Sebab Perkawinan Tak Dicatat "Ancaman hukuman kurungan tetap diabaikan.""][/caption]
Masih banyak permasalahan yang belum terselesaikan di negeri yang setengah demokrasi ini,atas dari segi segala hukum maupun peradilan yang melenceng jauh dari UUD"45 and Pancasila.
Sebagian besar warga negara Indonesia tampaknya masih menghadapi masalah pencatatan perkawinan. Padahal, Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 juncto Pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975 mengharuskan pencatatan perkawinan. Pencatatan adalah salah satu bentuk upaya tertib administrasi sebagai sebuah negara modern. Tidak hanya bersifat sebagai administrasi, pencatatan perkawinan juga menjadi jaminan terpenuhinya hak-hak sipil masyarakat di mata hukum.
Demi tertib administrasi ini, pemerintah juga mengancam orang-orang yang tidak mencatatkan perkawinan mereka dengan hukuman kurungan selama satu bulan atau denda setinggi-tingginya Rp7.500. Rupanya, ancaman ini tidak digubris warga negara. Masih banyak warga yang tidak mencatatkan perkawinan mereka. Hal ini terlihat dari penelitian yang dilakukan Kementerian Agama. Penelitian dilakukan di beberapa lokasi, yaitu Kabupaten Indramayu, Tangerang, Yogyakarta, Malang, dan Bangkalan.
Dari masing-masing lokasi tersebut, Kementerian Agama menemukan data ribuan perkawinan tidak tercatat. Di Bangkalan, sejak 2009-2012, sebanyak 1.156 perkawinan tidak tercatat. Sebanyak 1.144 perkawinan tidak tercatat ditemukan di Indramayu sepanjang 2010-2012. Untuk Malang dan Tangerang, sepanjang 2010-2012 perkawinan tidak tercatat ada sebanyak 756 dan 300. Sedangkan Yogyakarta, sejak 2010-2012 hanya ada enam kasus. Salah satu indikator yang dipakai untuk data ini adalah banyaknya itsbat nikah yang dilakukan.
“Data ini harus terus digali karena data ini kita ambil dari Pengadilan Agama,” papar Kepala Bidang pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI, Kustini di Jakarta, Rabu (26/12).
Berdasarkan penelitian tersebut, ada beberapa penyebab terjadinya perkawinan tidak tercatat, di antaranya adalah keperluan poligami, adanya keyakinan bahwa pencatatan tidak diwajibkan agama, dan ketidaktahuan fungsi dari surat nikah. Lainnya adalah karena sudah berumur dan untuk menutupi aib.
Padahal, jika tidak tercatat, sambung Kustini, perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum di mata negara. Secara hukum, istri tidak dianggap sebagai istri yang sah sehingga tidak berhak atas nafkah dan warisan jika terjadi perceraian atau kematian.
Faktor penyebab lain dari perkawinan tidak tercatat adalah perkawinan di bawah umur. Menurut Kustini, praktik perkawinan di bawah umur masih banyak terjadi di kalangan masyarakat. Hal ini terlihat dari pelaku perkawinan di bawah umur yang mengajukan dispensasi nikah ke pengadilan agama setempat.
Sejak 2010-2012, sebanyak 825 terdapat pengajuan dispensasi nikah. Malang ditemukan 474 kasus. Yogyakarta hanya terdapat 26 kasus. Sedangkan Bangkalan, Cianjur, dan Banten tidak ditemukan adanya pengajuan dispensasi nikah.
Terkait persoalan ini, Kustini menemukan faktor ekonomi sebagai faktor penyebab perkawinan di bawah umur ini. Banyak anak bawah umur yang menikah hanya untuk meringankan beban orang tua. Selain itu, sebab lain adalah pendidikan yang rendah. “Pendidikan yang rendah dan kurangnya kesadaran hukum juga sebagai sebab terjadinya perkawinan di bawah umur,” pungkasnya.
Senada dengan Kustini, Ketua Pembina LBH APIK Asnifriyanti Damanik mengatakan dampak dari pernikahan tidak tercatat adalah perkawinan tidak diakui oleh negara. Akibatnya, anak-anak yang lahir hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya.
Meskipun ada terobosan hukum dari Mahkamah Konstitusi yang mengatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan memiliki hubungan perdata dengan laki-laki, namun praktiknya sangat sulit. Soalnya, tidak semua laki-laki mau melakukan tes DNA. “Istri juga tidak mendapat perlindungan hukum jika menjadi korban KDRT karena perkawinannya tidak tercatat,” tukasnya.
Adapun solusi yang dapat dilakukan guna menekan persoalan ini, Anisfriyanti menganjurkan pemerintah melakukan sosialisasi ke masyarakat. Dia juga usul agar UU No. 1 Tahun 1974 direvisi, terkait batasan minimal usia nikah. Menurutnya, usia minimal menikah tidak lagi 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki, tetapi merujuk kepada UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu 18 tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H