Terkait persoalan ini, Kustini menemukan faktor ekonomi sebagai faktor penyebab perkawinan di bawah umur ini. Banyak anak bawah umur yang menikah hanya untuk meringankan beban orang tua. Selain itu, sebab lain adalah pendidikan yang rendah. “Pendidikan yang rendah dan kurangnya kesadaran hukum juga sebagai sebab terjadinya perkawinan di bawah umur,” pungkasnya.
Senada dengan Kustini, Ketua Pembina LBH APIK Asnifriyanti Damanik mengatakan dampak dari pernikahan tidak tercatat adalah perkawinan tidak diakui oleh negara. Akibatnya, anak-anak yang lahir hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya.
Meskipun ada terobosan hukum dari Mahkamah Konstitusi yang mengatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan memiliki hubungan perdata dengan laki-laki, namun praktiknya sangat sulit. Soalnya, tidak semua laki-laki mau melakukan tes DNA. “Istri juga tidak mendapat perlindungan hukum jika menjadi korban KDRT karena perkawinannya tidak tercatat,” tukasnya.
Adapun solusi yang dapat dilakukan guna menekan persoalan ini, Anisfriyanti menganjurkan pemerintah melakukan sosialisasi ke masyarakat. Dia juga usul agar UU No. 1 Tahun 1974 direvisi, terkait batasan minimal usia nikah. Menurutnya, usia minimal menikah tidak lagi 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki, tetapi merujuk kepada UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu 18 tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H