Peraturan-Peraturan Terkait Penegakan Hukum Mengingat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RepublikIndonesia, Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-006/A/JA/07/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-006/A/JA/07/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, yang semuanya dicetuskan untuk memenuhi tujuan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga sebagai negara hukum, prinsip-prinsip tersebut harus ditegakkan dalam praktiknya demi keberlangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.. Maka, ditetapkanlah Peraturan Kejakgung No. 7 Tahun 2021 Tentang Pedoman Pelaksanaan Penegakan Hukum, Bantuan Hukum, Pertimbangan Hukum, Tindakan Hukum Lain, dan Pelayanan Hukum di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. Peraturan tersebut memiliki 4 pasal, mengandung pedoman pelaksanaan penegakan hukum, bantuan hukum, pertimbangan hukum, tindakan hukum lain, dan pelayanan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara yang memuat: a. pendahuluan; b. asas; c. penegakan hukum; d. bantuan hukum; e. pertimbangan hukum; f. tindakan hukum lain; g. pelayanan hukum; h. pembiayaan; i. pelaporan; dan j. penutup. Peraturan Kejakgung No. 7 Tahun 2021 ini menggantikan Peraturan Jaksa Agung Nomor PER025/A/JA/11/2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penegakan Hukum, Bantuan Hukum, Pertimbangan Hukum, Tindakan Hukum Lain, dan Pelayanan Hukum di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.
Pentingnya Keadilan di Dalam Penegakan HukumÂ
Keadilan dalam hukum pidana dapat dilihat dari berbagai segi, yakni keadilan prosedural dan keadilan substantif. Keadilan substantif adalah keadilan terkait dengan isi putusan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang harus dibuat berdasarkan pertimbangan rasionalitas, kejujuran, objektivitas, tidak memihak (imparsiality), tanpa diskriminasi dan berdasarkan hati nurani (keyakinan hakim). Sedangkan keadilan prosedural adalah keadilan terkait dengan perlindungan hak-hak hukum para pihak penggugat/tergugat/pihak yang berkepentingan dalam setiap tahapan proses acara di pengadilan. Kasus ketidakadilan dalam yang menimpa rakyat miskin sangat berbanding terbalik dengan kasus korupsi yang merajalela dan hanya sedikit yang diusut, hal ini menunjukkan bahwa lemahnya penegakan hukum di Indonesia.Persoalan penegakan hukum di Indonesia belum mengalami kemajuan yang berarti, padahal permasalahan penegakan hukum dalam masyarakat merupakan hal yang sangat penting dan darurat mengingat eksistensi hukum yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Problematika tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: aparat penegak hukum yang tidak profesional dan tidak bermoral, lemahnya substansi (materi) perundangan, masih rendahnya partisipasi dan kesadaran hukum masyarakat sistem dan prinsip peradilan yang belum terlaksana secara baik. Pemerintah belum memberikan perhatian yang serius kepada kelompok minoritas. Salah satu permasalahan dalam penyelenggaraan hak-hak minoritas di Indonesia adalah lemahnya penegakan hukum dan pembangunan yang berkeadilan serta perlakuan diskriminatf lainnya yang masih sering terjadi kepada mereka. Kajian filsafat hukum dilakukan untuk dapat mengetahui kejanggalan-kejanggalan yang ada dalam penerapan hukum dalam menilik orientasi nilai keadilan yang menyangkut pandangan hidup manusia. Sebab hukum harus selalu dikembalikan kepada tujuan awalnya untuk menciptakan keadilan Fenomena penegakan hukum yang diskriminatif dapat dianalisa berdasarkan landasan konseptual sosiologi hukum yang oleh Suteki dideskripsikan bahwa hukum sebagai kosmetik dari penguasa yang lalim karena hukum berorientasi kepada keadilan formal bukan keadilan materiil (keadilan substantif). Paling tidak ada dua hal yang menarik untuk dilakukan pendalaman, yaitu pertama hukum sebagai kosmetik dan yang kedua kekuasaan politik yang memegang otoritas hukum.Kasus Penegakan Hukum untuk mencapai keadilan Substansial
Penegakan Hukum Secara Substansial
Penegakan hukum secara substansial bermakna bahwa hukum bukan hanya ditegakkan secara prosedural yang sangat bergantung pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan telah ditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan. Secara subtansial dimaksudkan untuk menciptakan keadilan yang berdasarkan dengan keadaan sosial dan ekonomi si pelaku yang menjadi pertimbangan dalam menetapkan sebuah putusan hukum untuk menciptakan hukum yang adil dan berimbang. Dalam hal ini penegakan hukum secara substansial dapat terwujud melalui penegakan hukum progresif. Penegakan hukum yang progresif adalah penegakan hukum yang pro terhadap keadilan dan pro terhadap rakyat yang dalam hal ini hukum yang ditegakkan bertujuan agar hukum yang ditegakkan bersifat memperhatikan keadaan masyarakat. Hukum bukanlah suatu hal yang bersifat kaku dalam pelaksanaannya yang hanya berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang ada saja sehingga penegakan hukum menimbulkan banyak ketidakadilan dalam pelaksanaannya.Hukum yang progresif lebih mengedepankan terhadap kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum. para penegak hukum harus memiliki sifat empati terhadap kondisi masyarakat dalam memutuskan sebuah hukum yang akan dijatuhkan di dalam peradilan. Keadilan substansial merupakan sebuah keadilan di mana hukum yang ada diharuskan untuk melayani manusia demi mencapai sebuah kesejahteraan di dalamnya sehingga, apabila terjadi kesalahan atau adanya penyimpangan dalam penegakan hukum maka hukum itu sendiri yang harus ditinjau kembali karena pada dasarnya hukum itu seharusnya adalah sebuah proses yang selalu terjadi dan berubah mengikuti situasi yang ada saat ini karena hukum tidak bersifat mutlak dan final. Dapat diambil contoh beberapa kasus yang terjadi di indonesia yang bisa dibahas yaitu kasus pencurian kakao oleh nenek minah sehingga berujung pada hukuman 1 bulah 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan. Kejadian ini terjadi pada 2 Agustus 2009, di Dusun Sidoarjo, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa tengah. Beliau pada saat itu sedang panen di ladangnya dan tidak sengaja mata beliau melihat 3 buah kakao yang sudah jatuh. Karena tergiur oleh buah kakao sang lansia tersebut mengambilnya dan untuk dijadikan bibit di tanah garapannya. Namun naas kejadian tersebut diketahui oleh mandor penjaga perkebunan kakao tersebut. Nenek minah pun mengakui perbuatannya saat sang mandor bertanya siapa yang mengambil buah kakao tersebut. Kemudian, nenek minah mengembalikan buah tersebut dan meminta maaf atas perbuatannya yang dinilai salah ia pun kembali ke rumah setelah kejadian itu dan beliau mengira bahwa urusan nya sudah selesai dengan meminta maaf dan mengembalikan buah kakao nya. Namun perkiraan beliau salah, pada saat seminggu kejadian tersebut berlalu beliau dipanggil untuk pemeriksaan dari polisi. Hingga berlanjut ke meja hijau dan menjadikan beliau sebagai terdakwa dalam kasus tersebut. Kemudian hakim menjatuhi hukuman 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan, nenek minah terbukti melanggar pasal 3662 KUHP tentang pencurian. Bahkan hakim pun merasa sedih saat membacakan vonis hukuman untuk nenek minah.
Dari kasus di atas dapat menjadi contoh besar bahwa penegakan hukum di indonesia masih sangat bersifat konvensional karena mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sudah ada seharusnya hukum yang bisa diberikan pada kasus nenek Nimah ini perlu ditinjau ulang secara substansial agak lebih menciptakan keadilan yang lebih manusiawi karena penegakan hukum yang ada berdasarkan pada kondisi sosial dan ekonomi yang dimiliki oleh nenek Nimah. Ini bisa dijadikan pembelajaran besar dalam penegakan hukum di indonesia bahwa hukum yang ada di indonesia bersifat untuk melayani masyarakat indonesia untuk mencapai kesejahteraan bukan malah sebaliknya hukum dijadikan sebuah alat untuk menindas kaum yang lemah sehingga terjadi ketidak adilan di dalamnya. Perlunya hukum yang substansial ini dimaksudkan agar hukum menjadi alat untuk melayani masyarakat indonesia yang berdasarkan pada kejujuran dan ketulusan dalam pelaksanaannya dan memperhatikan kondisi dari rakyat untuk mencapai kesejahteraan dalam pelaksanannya.
Penegakan Hukum Secara Prosedural
Penegakan hukum secara prosedural adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum secara prosedural meliputi tahap-tahap seperti tahap aplikasi, tahap penerapan hukum pidana, dan tahap administrasi keadilan. Proses ini dilakukan oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan, dengan tujuan mencapai keadilan dan mempertahankan kedamaian. Dalam konteks penegakan hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas, ada begitu banyak contoh kasus dari lemahnya penegakan hukum secara prosedural. Contoh kasus penegakan hukum secara prosedural adalah kasus BLBI (Bank Indonesia Liquidity Crisis). Kasus BLBI telah berlangsung sembilan tahun tapi masih selalu dipersoalkan sampai saat ini. Padahal telah ada keputusan kabinet Megawati yang menetapkan bahwa masalah dengan para obligor diselesaikan melalui MSAA dan R&D serta telah diberikan SKL. Keputusan tersebut telah sesuai dengan undang-undang yang berlaku (Undang-Undang Propenas). Terlepas dari prosedur yang dijalankan, kasus BLBI ini memang aneh tapi nyata. Yang mempermasalahkan justru mereka yang ikut dalam pengambilan keputusan dalam kabinet Megawati. Sangat membingungkan, memang, bagi rakyat yang kurang memahami politik dan semata-mata paham keadilan dan kepastian hukum. Contoh buruk kasus BLBI bukan masalah prosedur pengambilan keputusannya, melainkan justru terletak pada masalah moralitas mereka yang turut dalam pengambilan keputusan tersebut yang terkesan kini menjadi para pencuci tangan. Sementara dalam sejarah Romawi dikenal seorang Brutus, dalam peta politik di Indonesia tampaknya akan semakin banyak generasi Brutus. Celakanya, perilaku Brutus di Indonesia turut memberikan andil dan berdampak luar biasa terhadap hajat hidup orang banyak. Karena itu, kasus BLBI merupakan contoh buruk dalam sejarah politik pemerintahan yang pernah terjadi di bidang ekonomi sejak kemerdekaan. Kebijakan tanggap darurat dalam bidang ekonomi dan keuangan serta perbankan belum diperkuat dan didukung oleh moralitas politik yang memadai di kalangan para elite pemegang kekuasaan dan elite partai politik. Di sisi lain, dari cara penanganan kasus BLBI, terlepas dari tujuannya, secara kasatmata tampak intervensi kekuasaan atas penegakan hukum. Hal ini karena, secara prosedural, kasus BLBI ditengarai telah menimbulkan kerugian negara, baik oleh pemberi maupun penerima dana. Ini dapat ditafsirkan bertentangan dengan UU Korupsi (UU Nomor 31 Tahun 1999) karena telah ditempuh penyelesaian secara keperdataan dengan menegasikan penyelesaian secara kepidanaan. Sekalipun kasus BLBI telah melibatkan pejabat pemerintah dan pejabat Bank Indonesia, sangat sedikit pelaku yang menerima dana tersebut diajukan ke pengadilan. Dari mereka itu pun hanya obligor bermasalah dengan nilai yang sangat kecil, sedangkan obligor pengemplang bernilai besar bebas berkeliaran tidak terjangkau oleh hukum tanpa pertanggungjawaban yang jelas dari pemerintah ataupun DPR. Dari contoh kasus BLBI yang diselesaikan secara prosedural, dapat kita simpulkan bahwa memang penegakan hukum di Indonesia masih sangat lemah. Dan proses penegakan hukum pada kasus BLBI sangat tumpul ke atas. Dimana para tersangka kasus korupsi dilindungi oleh intervensi kekuasaan atas penegakan hukum, yang mana ini bertentangan dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 yang mengatur tentang penindakan atas kasus korupsi.
Simpulan
Sebagai sebuah negara hukum, yang termaktub dalam batang tubuh dan penjelasan UUD 1945. Sudah semestinya Indonesia menjadi negara dengan kualitas penegakan hukum yang baik. Namun, dalam kenyataannya sangat banyak penyimpangan yang terjadi pada proses penegakan hukum dengan sasaran utama adalah masyarakat lemah dan miskin. Sementara mereka yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik cenderung lebih terlindungi. Sering kita dengar istilah hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Pentingnya membahas topik ini salah satunya adalah agar mendorong reformasi hukum menjadi lebih baik dan tidak pandang bulu. Menurut kelompok kami, masih sangat banyak kasus yang proses penegakan hukumnya sangar buruk. Sebagai contoh adalah kasus BLBI yang terjadi pada zaman presiden Megawati Soekarno Putri. Dimana penyelesaian masalah ini dilakukan secara prosedural. Namun, banyak intervensi kekuasaan atas penegakan hukum yang mengacaukan kasus ini sehingga mereka yang menjadi tersangka cenderung tidak terjangkau oleh hukum. Disinilah pentingnya artikel ini agar memberikan kesadaran pada masyarakat dan membuat melek tentang kondisi penegakan hukum di Indonesia pada saat ini yang akan mendorong reformasi hukum menjadi lebih baik.
Referensi