Mendengar kata "Pendidikan" membuat candu akan bayang-bayang. Menggema kembali seolah-olah sedang terbangun dari hibernasi panjangnya. Pembaharu dengan narasi sangat berbeda sekaligus menyentak, seolah memberi angin sejuk bagi pengharapan besar akan kemajuan pendidikan.
Ya benar, penunjukan Menteri Pendidikan Indonesia kali ini membuat jagat internet terguncang. Gebrakannya dengan perkataan "Saya tidak menjanjikan apa-apa" seolah-olah membius kita semua bahwa beliau sungguh-sungguh bekerja dan menyerahkan semua hasilnya kepada Yang Maha Menghendaki.
Begitu lah kaum millenial (banyak orang menyebutnya), seolah-olah sudah muak dengan kalimat "saya akan berjanji" atau "saya menjanjikan pendidikan Indonesia akan maju". Langsung menancapkan panahnya pada target yang esensial tanpa retorika. Membakar semua pelindung kenyamanan dan kemapanan menuju kesulitan dan kesengsaraan yang sejatinya membahagiakan.
Kita semua pasti memiliki memori akan pendidikan formal yang pernah dijalani. Pasti teringat akan satu atau beberapa guru yang begitu signifikan memberi pencerahan pada hidup kita.
Coba sebutkan. Hanya dengan satu pertanyaan "Apa cita-cita mu kelak?" atau "Ketika besar kamu ingin seperti apa?" seolah-olah memberi sejuta semangat kehidupan dan air kehidupan ketenangan hati. Atau secuil perhatian para guru yang senantiasa mendapingimu dikala dirimu malu bertanya dan bahkan pendiam.
Perhatian di kala selalu menasehatimu dengan sabar tanpa terpengaruh sikap nakalmu yang dilakukan berulang kali. Perhatian dikala engkau terjatuh dari permainan yang kau lakukan bersama temanmu, guru hadir memberimu pengobatan, tak peduli sebenarnya engkau melanggar aturan karena bermain-main ketika pelajaran berlangsung.Â
Mengantarkanmu pulang sekolah hingga depan rumahmu, dikala kau tampak sendirian, duduk termenung, memainkan jemari dan sebatang lidi, mecoret tanah, sembari berpikir "sebentar lagi bapak ibu akan menjemputku".
Hingga depan rumah, kedua orang tuamu menyambutmu dengan merasa bersalah karena kesalahpahaman komunikasi dalam mengatur jadwal penjemputan, hingga guru yang mengantarkan pun tersenyum pulang dengan perasaan lega. Satu murid telah saya kembalikan dan amanah hari ini telah saya tunaikan.
Satu kalimat sederhana "Selamat ulang tahun ibu/bapak guru", seolah-olah surga dunia hadir dalam pelupuk mata. Kalimat tersebut menjadi sejuta makna, betapa terharunya hati ibu/bapak guru. Menyambutnya dengan senyuman dan berkata terimakasih banyak anak-anak.
Esok harinya pun, senyum guru semakin semringah, hati semakin berdebar bahagia, semakin perhatian pada semua murid, dan semakin percaya akan kebaikan masa depan bangsa. Lihat! Betapa dasyatnya, sedikit perhatian murid mampu dibalas seorang guru dengan berkali-kali lipat kebaikan.
Lihat senyum bahagia ketika salah seorang muridnya berhasil mencapai sesuatu. Sekolah idaman, karir idaman, menjadi seseorang yang bermanfaat bagi lingkungan, dan bahkan sekecil apapun kebaikan yang kau lakukan, senyum seorang guru melebihi semua itu.
Namun, lihat! Ketika salah seorang murid melakukan hal yang kurang berkenan dihati guru, belum tercapai cita-citanya, atau menjadi penyebab suatu permasalahan. Seolah-olah seisi bumi menjadi murung, langit menjadi gelap, dan matahari seolah-olah redup, malu akan tindakan kurang baik itu.
Maafkan saya ini nak, mungkin kurang ikhlas saya dalam mengajarkanmu sehingga engkau berlaku seperti itu. Mungkin kurang panjang doaku untukmu. Mungkin kurangnya perhatianku padamu. Mungkin cara mendidikmu yang harus segera aku perbaiki.
Tidak Bu/Pak Guru, maafkan saya. Tidak nak. Sebesar apapun kesalahan seorang murid. Seolah-olah guru yang menanggung dan rasa bersalahnya sungguh lebih besar dari itu. Oh pantaskah muridmu ini mengulang kembali kesalahan yang sama.
Bimbinglah kami, doakan kami, didiklah kami, jadilah selalu bunga-bunga bermekaran dikala kami redup. Jadilah secercah cahaya dikala jalan dihadapanku ini gelap gulita. Jadilah kompas dan peta dikala kami linglung memilih pilihan hidup. Jadilah, tanpa berkata pun, engkau bersedia menjadi apapun dikala kami membutuhkan.
Sebutlah salah seorang guru yang menyadari karakter penulis. Tidak berbicara dikala tidak diajak berbicara. Bahkan terkadang ketika ditanyapun tidak menjawab. Hingga engkau menemukan bahwa dengan mencurahkan dalam bentuk menggambar dan mewarnai, disitulah kepercayaan diri mulai muncul.
Terbangunlah sisi-sisi dari diriku yang dulunya gelap, menjadi sedikit bercahaya. Belajar meluapkan pikiran dalam bentuk dan degradasi warna. Apresiasi tiada henti, lukisan tidak seberapa dari seorang anak kecil sekelas SD, dipigura dan dipajang didepan rumah menyambut kedatangan tamu.
Selalu menanyakan ini lukisan siapa. Dengan bangga mengatakan, "oh ini anak saya". Penulis hanya bisa tersenyum, sebanarnya tidak tahu apa yang dirasa kala itu. Namun kini, itu menumbuhkan optimisme dalam diri penulis.
Belum bisa membaca dikala SD kelas 1. Seolah-olah bukan masalah bagi penulis, ya memang begitu, masalah adalah ketika tidak bisa bermain dengan teman-teman. Bagi seorang guru, justru menjadi hal yang menyenangkan bukan?
Mendiktekan setiap kalimat kata perkata hingga muridnya paham dengan apa yang dimaksud dalam tulisan tersebut. Pelan-pelan memahamkan akan apa arti sebuah kata. Hingga menginjak semester 2 kelas 1 SD. Allah SWT memberi penulis rejeki berupa "dapat membaca" lewat ikhtiar seorang guru.
Kasihan ketika menginjak PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), seorang murid dipaksa untuk bisa membaca. Seolah-olah masa depan akan suram ketika tidak bisa membaca diusia tersebut.
Padahal kita meyakini, usia ketika seorang bayi bisa berjalan itu berbeda-beda, namun kita optimis bahwa mereka akan bisa berjalan kelak. Lantas mengapa kita harus mengkhawatirkan pada sesuatu yang tidak seharusnya.
Menemui cerita singkat seorang profesor dikala beliau ditanya menganai, mengapa bisa menekuni bidang ilmu ini hingga sehebat sekarang. Teringat akan satu hal, waktu itu (sekolah) seorang guru memberi pertanyaan mengenai apa cita-citanya. Menjadi ilmuwan.
Sedari dulu memang menyukai observasi pada berbagai hal yang terjadi pada alam ini. Hingga menemui sesuatu yang ingin dia tekuni. Bukankah semua usaha mencapai gelar profesor adalah karena usahanya sendiri. Tetapi jasa seorang guru dalam memberi pertanyaan tentang cita-cita, seolah-olah tak terlupakan. Terimakasih Guru.
Hingga kini nasib sebagian guru membaik, tak dipungkiri ada juga yang bernasib sebaliknya. Seolah-olah kesejahteraan guru diukur dari sisi material. Padahal keikhlasan sungguh independen dengan materialistik. Keikhlasan seorang guru di pelosok negeri dengan berbagai macam halangan dan rintangan, penulis takut mengulasnya.
Serasa takut dan jauh dari kata sebanding. Pemerintah telah mengucurkan banyak dana untuk perbaikan pendidikan. Tetapi? Akan banyak tetapinya. Cerita guru inspiratif senantiasa bertebaran dalam jagat internet.
Tentu dengan segudang kesulitan, kedala, dan perjuangannya. Ya benar, nakhoda handal tidak lahir dari laut yang tenang. Banyak pahlawan nasional hadir dikala Indonesia terjajah, bukan ketika merdeka.
Terakhir sebagai penutup tulisan ini, tiada kata akhir untuk seorang guru. Guru adalah digugu lan ditiru. Siapapun itu orangnya. Setiap perjalanan hidup tidak lepas dari kata guru. Pengalaman adalah juga representasi dari guru.
Kebaikan orang lain adalah representasi dari guru. Alam semesta adalah guru pemikiran dan hati. Bukti-bukti yang sulit untuk membuktikan adalah bukti kekurangan kita dan membutuhkan bantuan guru. Marilah kita sama-sama mengucapkan.
Trima kasihku ku ucapkan
Pada guruku yang tulus
Ilmu yang berguna slalu di limpahkan
Untuk bekalku nanti...
Setiap hari ku di bimbingnya
Agar tumbuhlah bakatku
Kanku ingat Slalu nasehat guruku
Trima kasihku ku ucapkan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H