Namun, lihat! Ketika salah seorang murid melakukan hal yang kurang berkenan dihati guru, belum tercapai cita-citanya, atau menjadi penyebab suatu permasalahan. Seolah-olah seisi bumi menjadi murung, langit menjadi gelap, dan matahari seolah-olah redup, malu akan tindakan kurang baik itu.
Maafkan saya ini nak, mungkin kurang ikhlas saya dalam mengajarkanmu sehingga engkau berlaku seperti itu. Mungkin kurang panjang doaku untukmu. Mungkin kurangnya perhatianku padamu. Mungkin cara mendidikmu yang harus segera aku perbaiki.
Tidak Bu/Pak Guru, maafkan saya. Tidak nak. Sebesar apapun kesalahan seorang murid. Seolah-olah guru yang menanggung dan rasa bersalahnya sungguh lebih besar dari itu. Oh pantaskah muridmu ini mengulang kembali kesalahan yang sama.
Bimbinglah kami, doakan kami, didiklah kami, jadilah selalu bunga-bunga bermekaran dikala kami redup. Jadilah secercah cahaya dikala jalan dihadapanku ini gelap gulita. Jadilah kompas dan peta dikala kami linglung memilih pilihan hidup. Jadilah, tanpa berkata pun, engkau bersedia menjadi apapun dikala kami membutuhkan.
Sebutlah salah seorang guru yang menyadari karakter penulis. Tidak berbicara dikala tidak diajak berbicara. Bahkan terkadang ketika ditanyapun tidak menjawab. Hingga engkau menemukan bahwa dengan mencurahkan dalam bentuk menggambar dan mewarnai, disitulah kepercayaan diri mulai muncul.
Terbangunlah sisi-sisi dari diriku yang dulunya gelap, menjadi sedikit bercahaya. Belajar meluapkan pikiran dalam bentuk dan degradasi warna. Apresiasi tiada henti, lukisan tidak seberapa dari seorang anak kecil sekelas SD, dipigura dan dipajang didepan rumah menyambut kedatangan tamu.
Selalu menanyakan ini lukisan siapa. Dengan bangga mengatakan, "oh ini anak saya". Penulis hanya bisa tersenyum, sebanarnya tidak tahu apa yang dirasa kala itu. Namun kini, itu menumbuhkan optimisme dalam diri penulis.
Belum bisa membaca dikala SD kelas 1. Seolah-olah bukan masalah bagi penulis, ya memang begitu, masalah adalah ketika tidak bisa bermain dengan teman-teman. Bagi seorang guru, justru menjadi hal yang menyenangkan bukan?
Mendiktekan setiap kalimat kata perkata hingga muridnya paham dengan apa yang dimaksud dalam tulisan tersebut. Pelan-pelan memahamkan akan apa arti sebuah kata. Hingga menginjak semester 2 kelas 1 SD. Allah SWT memberi penulis rejeki berupa "dapat membaca" lewat ikhtiar seorang guru.
Kasihan ketika menginjak PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), seorang murid dipaksa untuk bisa membaca. Seolah-olah masa depan akan suram ketika tidak bisa membaca diusia tersebut.
Padahal kita meyakini, usia ketika seorang bayi bisa berjalan itu berbeda-beda, namun kita optimis bahwa mereka akan bisa berjalan kelak. Lantas mengapa kita harus mengkhawatirkan pada sesuatu yang tidak seharusnya.