Mohon tunggu...
Muhammad Ilham Fahreza
Muhammad Ilham Fahreza Mohon Tunggu... Human Resources - ASN, Mahasiswa Magister FIA UI

Menulis sebagai upaya mencari daya hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Merindukan Sosok Mohammad Hatta di Dunia Politik Indonesia

11 Agustus 2024   08:15 Diperbarui: 11 Agustus 2024   08:17 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat kesempatan menjadi moderator dalam sebuah forum yang dihadiri oleh JJ Rizal, seorang sejarawan kondang sebagai narasumber. 

Pada penghujung forum tersebut, ia mengatakan, "JIka hari ini kita tidak bisa menemukan keteladanan dari aktor-aktor politik yang hidup, sumber keteladanan itu bisa kita pelajari dengan menggali sejarah dari tokoh-tokoh politik kita yang sudah wafat. "

12 Agustus 1902, lahir seorang negarawan besar Indonesia, sumber keteladanan yang sampai hari ini sulit dicari tandingannya, ialah Mohammad Hatta.

Jika refleksi nilai-nilai politik yang muncul dominan hari ini adalah rakus, tidak punya malu, nir-etik, amoral, tidak berisi dan jauh dari nilai integritas. Nilai-nilai yang dimiliki oleh Bung Hatta adalah lawan dari semua sifat tersebut.

Beliau dikenang sebagai tokoh yang sederhana. Andaikan periode awal pemerintahan Indonesia ada aturan bagi pejabat untuk melaporkan LHKPN, barangkali Hatta menjadi salah satu pejabat dengan harta kekayaan yang paling kecil. 

Bayangkan saja, sebagai proklamator dan orang paling berkuasa nomor dua di republik, ada cerita bahwa Bung Hatta harus terengah-engah membayar tagihan listrik rumahnya yang terletak di Menteng. 

Di akhir masa hidupnya, bahkan Bung Hatta pernah berpikir untuk menjual kepunyaannya yang paling berharga, yaitu buku-bukunya karena khawatir uang pensiunnya tidak cukup untuk menghidupi keluarga.

Ketika hari ini kita menyaksikan banyaknya orang mengantre dan rela menjual dirinya untuk menjadi komisaris, lain sekali dengan apa yang dilakukan oleh Bung Hatta.

Setelah Bung Hatta mundur sebagai wakil presiden, ia ditawari jabatan komisaris pada berbagai perusahan asing maupun pribumi. Ia menolak seluruhnya dan mengatakan "Apa kata rakyat nanti!".

Sepanjang hidupya, Bung Hatta hidup dalam kesederhanaan, tidak aji mumpung memupuk kekayaan pribadi saat berkuasa dan tidak semena-mena memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan keluarga dan golongannya. 

Dikutip dari buku "Bung Hatta Pribadinya dalam Kenangan". Di tahun 1950an, ketika Bung Hatta masih menjabat sebagai wakil presiden, ada kebijakan pemotongan uang Republik Indonesia (ORI). 

Ketika Bung Hatta pulang ke rumah, istrinya, Rahmi Hatta menanyakan "mengapa tidak bilang terlebih dahulu bahwa akan ada pemotongan uang?".

Bergetar hati dan nurani saya ketika membaca jawaban dari Bung Hatta, "Seandainya Kak Hatta mengatakan terlebih dahulu kepadamu, nanti pasti hal itu akan disampaikan kepada ibumu. Lalu kalian berdua akan mempersiapkan diri, dan mungkin akan memberi tahu kawan-kawan dekat lainnya. Itu tidak baik! Kepentingan negara tidak ada sangkutpautnya dengan usaha memupuk kepentingan keluarga."

Dalam cerita yang lain, saat berobat ke luar negeri, Bung Hatta pernah mengembalikan uang sisa pengobatan yang diberikan oleh pemerintah karena ternyata biaya yang dibutuhkan tidak sebesar yang diperkirakan. Ia juga pernah menolak pemberian mercedes dari pengusaha Indonesia.

Jika situasi ini terjadi kepada para pejabat kita hari ini, kita semua tahu apa yang akan dilakukan oleh mereka.

Tidak hanya laku pribadinya yang luar biasa mulia, Bung Hatta akan selalu diingat sebagai seorang pemimpin sekaligus pemikir, dan pembaca yang menulis. 

Potret dirinya seringkali tergambar dengan latar belakang tumpukan buku-buku, bukan foto yang berlatar penuh dengan mainan anak-anak. 

Ketika wafat, Bung Hatta meninggalkan 30rb judul buku di perpustakaan pribadinya. Bahkan, hadiah pengantin yang ia berikan kepada istrinya adalah sebuah buku filsafat yang baru selesai ia karang berjudul "Alam Pikiran Yunani".

Inilah yang menjadi sumber dari ketajaman pikiran dan kejernihan tulisannya. Bung Hatta tampil sebagai politisi yang identik dengan menawarkan ideologi dan gagasan besar untuk kemakmuran rakyat. 

Kisah hidup Hatta seharusnya memberikan standar tinggi bagi siapapun yang hendak berkuasa. 

Pemimpin idealnya harus memiliki isi pikiran yang bermutu dan kecakapan dalam menguraikan masalah, bukan pemimpin yang sekadar populis namun pikirannya kosong.

Pidato pembelaannya di pengadilan Den Haag tahun 1928  berjudul "Indonesia Merdeka" menginspirasi perjuangan menumpas kolonialisme di bumi Indonesia. 

Demokrasi Kita, esai kritik yang ia tulis tahun 1960 dan dilarang cetak oleh Soekarno itu masih sangat relevan sebagai renungan jalannya demokrasi kita hari ini. 

Sebagai ekonom, ia merupakan promotor utama ide-ide koperasi sebagai jalan rakyat mencapai kemandirian ekonomi sehingga ia didapuk sebagai Bapak Koperasi Indonesia.

Sejak muda, aktivitas politik Hatta selalu menekankan kepada pentingnya pendidikan dan kaderisasi untuk melahirkan generasi pemimpin baru. 

Ia sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan gerombolan sirkus politik yang dengan sengaja memanipulasi rakyat demi mempertahankan kekuasaan.

Langkanya sosok Hatta juga ditunjukan dari sifatnya yang kokoh dalam berprinsip, ia bukanlah pemimpin yang kata-kata dan perilakunya seringkali berkebalikan.

Kita semua pasti sudah mengetahui kisah Hatta yang selalu diulang-ulang dalam pelajaran sejarah, tentang tekad Hatta yang baru akan menikah ketika Indonesia sudah merdeka, dan ia benar-benar menunaikan janjinya.

Ketika Singapura menghukum mati 2 marinir Indonesia, Hatta kecewa berat dan sampai akhir hidupnya ia selalu menolak untuk berkunjung ke negara tersebut. Bagi Hatta, ini soal prinsip.

Mengutip coretan Hatta di rumah pengasingannya di Pulau Bangka, "Pemimpin berarti suri tauladan dalam segala perbuatannya."

Inilah ketauladanan yang telah dicontohkan oleh Hatta, semoga dunia politik kita berubah dan memberikan jalan bagi lahirnya hatta-hatta lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun