Mohon tunggu...
Muhammad Iftahul Jannah
Muhammad Iftahul Jannah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

manusia bisa terang karena ada manusia lain

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Singa

19 Oktober 2015   17:54 Diperbarui: 19 Oktober 2015   17:54 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Ke taman seni ia datang dengan pasangannya. Duduk di barisan paling belakang. Menonton pementasan drama karya penulis besar di zamannya, Muchtar Lubis. Tak ada kesan haru apalagi romantis. Cahaya yang muncul selang sekejap, suara yang terdengar sahut menyahut tak jelas, gerak pementas ditutupi oleh orang yang berada di bagian depan.


Malam itu begitu dingin, siapa yang hendak keluar selalu mengenakan mantel dan celana panjang. Mungkin hanya ada satu atau dua pemuda yang berlaku tak demikian saat malam hari.


Dinding ruang pementasan tak sanggup menahan dinginnya musim yang sedang datang. kipas-kipas yang terpasang tak difungsikan seperti biasa. Untunglah para pementas merupakan orang yang profesional, sehingga tak terlihat rasa dingin saat mereka mementaskan karya “harimau-harimau” itu.


Seorang pementas menirukan suara harimau, iya mengaum. Beberapa penonton yang sedang bergelut dengan lamunan sesaat merasa kaget dengan adegan itu, sekarang mereka mulai masuk pada intinya ceritra. Bertarung melawan harimau, bertarung melawan nafsunya masing-masing. Anjani dan sanusi tak berubah wajahnya, juga gerak geriknya. Mereka berdua masih terpaku dengan pikiran masing-masing, tak hendak saling mendapat dan mengalihkan perhatian antara keduanya, tak hendak mencairkan suasana. Sedang drama terus berlanjut menuju puncak klimaks.


Pukul sepuluh malam drama itu selesai, orang-orang mulai berbaris menurut naluri untuk keluar dari gedung pementasan. “terimakasih”, begitulah kata seorang tua yang sudah berumur pada penonton yang hendak keluar. Ia tersenyum dengan harap agar suatu saat gedung itu kembali penuh dengan pengunjung. Anjani dan sanusi mendapat giliran senyuman. “anjani, kalau engkau ingin kembali lagi ke sini kabarkan saja”. Sahut orang tua itu. “iya om, inipun anjani sangat berterimakasih”, sahut anjani kemudian. Itulah salah satu kerabat anjani, yang memberikannya tiket hiburan gratis. Sanusipun menyapa orang tua itu dengan senyuman pula.


Halaman gedung itu mulai sepi, tapi tak begitu dengan pikiran sepasangan itu. Pikiran sanusi, “celaka, becakpun sudah tak ada yang memasang tarif standar setelah pukul 10 malam”. Ia izin pada anjani untuk ke kamar kecil sesaat. Sanusi tidak benar-benar ingin buang air kecil, ia mulai mengorek-ngorek kantung, memeriksa sisa rupiah yang ia punya. Ia berpikir sesaat. “ah, paling tidak untuk rupiah ini masih bisa aku antarkan anjani pulang”.


Melihat anjani sedang berdiri menunggu, segera ia mempercepat langkahnya. “anjani ayo segera kita pulang, malam sudah pula semakin dingin”. “iya san”, sahut anjani. Sanusi kemudian memanggil tukang becak yang sedang berada dipangkalan. Ia jalan mendekati becak itu, memberi tahu tempat tujuan, kemudian menego harga. Ia berhasil, tapi tentu hanya cukup mengantarkan anjani sampai rumahnya.


Angin berhembus pelan, dingin sampai terasa ke tulang. Anjani menarik mantelnya, dan memasukkan telapak tangannya kedalam mantel yang kedodoran itu. Sanusipun demikian, ia juga sekaligus melipatkan tangan ke dadanya, berlaku bagai orang yang sedang shalat. Kiri dan kanan jalan yang berlalu terlihat sepi. Sesekali hanya ada pedagang yang sibuk membereskan daganganya, sedang mereka bertiga hanya terdiam, bermain dengan pikiran masing-masing. Sanusi dan anjani yang duduk berdekatanpun tak punya kalimat tanya, tak punya kalimat yang mengajak berbicara.


Tidak seperti biasa mereka berdua malam itu. Setelah bertemu dan dipertemukan hampir lima tahun yang lalu, barulah sekali ini mereka merasa canggung. Bahkan saat itu mereka pandai menerka-nerka sebab kelap-kelipnya bintang yang sedang dilihatnya. Sanusipun mengira bahwa bulan yang dilihatnya malam itu bagaikan seorang perempuan yang duduk malu. Lampu-lampu jalanan yang biasa mereka lihat diwaktu lalu, menjadi kesibukan pikiran. “kenapa aku malam ini”, sahut sanusi dalam-dalam. Sambil ia melirik ke arah anjani sebentar waktu.


Ia ingat lagi dua hari yang lalu. Selepas ia pulang dari pekerjaanya sebagai mandor di sebuah pabrik di Tangerang, hatinya terasa menggebu, segera mungkin sanusi ingin bertemu dengan anjani. Hampir saja terlupa dengan absen yang harus ia isi tiap sorenya. Sanusi mengatur janji dengan anjani untuk bertemu di taman tempat mereka pertama kali saling mengaitkan pandangan.


Mereka tepat bertemu pukul 17.30 sore itu, nafas sanusi tak teratur sampai ia bertemu anjani. “san”, anjani menyapa dengan suara khasnya, pelan dan lembut bagi hasan. Sebentar sanusi mengusap keringatnya dengan tangannya yang masih berdebu. Itulah waktu anjani memberikan sapu tangan yang ia buat sendiri pada sanusi. “anjani, aku ingin melamarmu, tapi inilah aku, belum genap enam bulan aku menjadi mandor, belum ada pula rumah yang bisa aku sediakan. aku tak ingin hubungan kita sia-sia karna tak tahu takdir ke depannya nanti”. Sampai dikalimat itu keduanya terdiam, sama-sama menahan kalimat yang belum terkumpul rapih.


“tak apa engkau menolak, itu hakmu. Kekuranganku tak pernah aku tutupi sejak dahulu pula kita berhubungan. Kalaupun ajakan ini belum berkenan untuk saat ini, mulailah berkata dengan jujur di hadapanku sekarang, supaya hendak aku berbenah dan tahu diri. Tapi bukanlah ini yang kita impikan sejak dahulu. Keberanianku mengajakmu menempuh rumah tangga, inilah puncakku”, lanjut sanusi tanpa memperhatikan perubahan sikap pada anjani.


“datanglah pada orang tuaku san”, sahut anjani pelan.
 Keesokan harinya sanusi datang ke kediaman anjani dan orang tuanya. Langkahnya penuh dengan kepercayaan, tapi tetap terasa rapuh dalam hati kecilnya. Bukan karena niat dan cara tidak wajar yang ia tempuh. Ia yakin begitulah semestinya. Ia hanya takut akan kata-katanya yang kurang berkenan, “kalimat bisa saja mengubah segalanya”, begitulah kalimat yang pernah diucapkan ayahnya dahulu. Ia bukanlah orang yang pandai bicara diplomasi.

Sampailah keinginan itu diucapkan di depan orang tua anjani. Anjani dan ibundanya hanya menguping dari dalam ambin kamar tidurnya.
“apa maksud kedatangan sanusi kali ini kemari, tidak seperti biasanya”. Ayah anjani memulai.
“sanusi ingin meminang anak ayah”. Sanusi memainkan jari-jari tangannya, ia mulai terlihat gugup. Kedua orang itu sama-sama terdiam, ayah anjani hendak menunggu sambungan kalimat dari sanusi, sedang sanusi sudah beku otak dan katanya sesaat, harapnya akan segera ditanggapi oleh ayah anjani. Mata mereka kemudian saling berhadapan.


“apa modalmu, apa pekerjaanmu?”, kalimat itu mendengung dengan berat dari ayah anjani. Anjani yang sedang mendengar itu ikut merasakan tegang yang tak pernah ia sangka. Ia pikir, sanusi sedang disidang tanpa pembela. Sangat tak mungkin ia keluar dan mendampingi sanusi untuk berbicara. Anjani mulai berdoa pelan dalam hatinya.


“saya sudah bekerja sekarang sebagai mandor ayah”, sahut sanusi dengan canggung. Tampak ia tak percaya diri dengan jabatanya saat itu. Tapi belumlah selesai kalimatnya. “ia, saya baru enam bulan menjadi mandor diperusahaan. Rumah dan kata mapan masih jauh dari keadaan sanusi sekarang, setidaknya kebutuhan untuk menjalinkan rumah tangga masih bisa sahaya penuhi ayah, begitulah perhitungan sanusi”.

 

Ayah anjani mengangguk-angguk tanpa arti, ia belum puas dengan penjelasan sanusi.
“lalu bagaimana rencanamu setelah meminang anjani”.
Seketika sanusi terperanjat, tangan dan kakinya ingin bergerak menolak pertanyaan itu. Pertanyaan yang tak pernah ia bayangkan, khususnya dalam lingkungan kehidupannya yang serba berlalu tanpa khayalan dan impian kedepannya. Dalam pergaulannya dengan teman seusianya, tak pernah hal itu pernah diungkapkan oleh temannya yang sudah menikah terlebih dahulu. Tak sampai sanusi menjawab, ayah anjani menimpalinya dengan pertanyaan yang lain.

 

“apa engkau sudah mendapat sebagai pegawai tetap di perusahaan itu?”.
“belum yah”, kali ini jawabnya cepat.
Ayah anjani kembali menggelengkan kepalanya, sebagai tanda tak berkenan. Sanusi merekam semua gerak-gerik ayah anjani saat itu.
“sanusi akan berusaha selama satu tahun ini untuk diangkat menjadi pegawai tetap”, sahutnya lagi kemudian.
“tapi apa kau yakin bisa dapatkan itu sesuai rencanamu?”, sahut ayah anjani kemudian. Telak tak dapat dijawab oleh sanusi yang hanya lulusan sekolah menengah pertama. Ia tahu posisi sebagai mandor punya banyak saingan dan intrik. Banyak yang ingin merebut jabatan itu, apalagi ia hanya kebetulan mendapat keberuntungan yang besar saat dipilih menjadi mandor, tak ada alasan lain. Sanusi masih berdiam diri menatap ayah anjani.


 “Sanusi, apakah kau hanya akan berdiam diri atau ingin meyakinkanku sebagai wali anjani?”. Anjani semakin pucat mendengar pertanyaan yang muncul dari ayahnya itu, iapun tak menyangka akan mendengar pertanyaan yang iapun akan kesulitan menjawabnya apabila berada diposisi sanusi.   
“tidak yah, tidak”, suara sanusi mulai serak tak menentu.
“lalu bagaimana kelanjutan kalimatmu?”, sahut ayah anjani kemudian. Mata mereka berdua kembali bertemu untuk kesekian kalinya.
Tak terasa oleh sanusi, matanya mulai berkaca mendapat cecaran pertanyaan.
“Sanusi ingin melaksanakan janji pada anjani, ingin menikahi anjani apa adanya”.
“oh sanusi, pernikahanmu bukan sekedar janji dengan anakku anjani. Jangan kau menganggap itu hanya hal memenuhi janji dengan anjani. Engkau salah kaprah, engkau belum siap”. Wajah ayah anjani menjadi lebih serius dari sebelumnya.
“apa hendak engkau katakan sekarang sanusi?”, sahutnyanya kemudian.


Sanusi bagai melihat tembok raksasa didepannya, rasa kemarahan mulai bercampur dengan perasaan tak puas, wajah sanusi mulai memerah, singa yang terpendam jauh dalam itu mulai meraung dalam hati sanusi. “perlukah aku lompati tembok ini, atau izinkan saja aku merobohkan tembok tua itu”. “sekaliku terkam habislah ia, tak akan bisa menghindar, engkau sudah sedekat ini, jangan ingin usaha dan pengorbananmu jadi bahan cercaan pertanyaan yang tak tentu arah”.


Ayah anjani mulai melihat singa itu mulai merangkak keluar dari sanusi. Iapun tahu saat seperti itu seorang laki-laki bisa melakukan hal yang tak wajar. Iapun pernah merasakan itu sewaktu seumuran dengan sanusi. Anjani yang merasakan kekakuan suasana itu, terhentak mendengar panggilan ayahnya.


“anjani, kemarilah temani sanusi”, sahut ayahnya.
Anjani segera saja berada diantara sanusi dan ayahnya. Ayahnya melanjutkan. “kalau sanusi belum ada jawaban, datanglah kembali sampai sanusi siap”. Singa itu meraung ingin segera menerkam ayah anjani dengan kalimat ataupun fisiknya, air mata sanusi mengalir pelan dipipinya yang cekung. Anjani yang melihat itu segera mengajak sanusi keluar dari ruang tamu. Sanusi keluar dari rumah itu tanpa sapa dan salam.


Selama lima tahun ia persiapkan, hanya 15 menit semua itu kembali menjadi angan-angan. Sanusi pulang dengan kekecewaan. Oh untunglah anjani keluar tepat waktu, oh untunglah singa itu tak cepat menerkam, sanusi menyesali itu semua. Pikirannya tak tenang.


***


Sampai di depan pagar rumah anjani, sanusi langsung pamit pada anjani. Ia sengaja mengatur agar tukang becak itu tak segera pergi, agar anjani tahu bahwa iapun masih akan pulang dengan becak itu. Setelah anjani masuk ke dalam rumah, barulah iya membayar pada tukang becak, ia meminta tolong agar dibiarkan naik sampai dibelokan gang yang tak jauh dari rumah anjani. Jangan sampai anjani tahu tentang kepulanganku malam ini.

Sanusi berjalan seorang diri, bulan dan bintang masih menjadi sinarnya malam itu. “Iya aku masih buas, aku masih belum siap. Inikah binatang yang ada dalam manusia itu?”, sahutnya pada kejauhan hati. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun