Ayah anjani mulai melihat singa itu mulai merangkak keluar dari sanusi. Iapun tahu saat seperti itu seorang laki-laki bisa melakukan hal yang tak wajar. Iapun pernah merasakan itu sewaktu seumuran dengan sanusi. Anjani yang merasakan kekakuan suasana itu, terhentak mendengar panggilan ayahnya.
“anjani, kemarilah temani sanusi”, sahut ayahnya.
Anjani segera saja berada diantara sanusi dan ayahnya. Ayahnya melanjutkan. “kalau sanusi belum ada jawaban, datanglah kembali sampai sanusi siap”. Singa itu meraung ingin segera menerkam ayah anjani dengan kalimat ataupun fisiknya, air mata sanusi mengalir pelan dipipinya yang cekung. Anjani yang melihat itu segera mengajak sanusi keluar dari ruang tamu. Sanusi keluar dari rumah itu tanpa sapa dan salam.
Selama lima tahun ia persiapkan, hanya 15 menit semua itu kembali menjadi angan-angan. Sanusi pulang dengan kekecewaan. Oh untunglah anjani keluar tepat waktu, oh untunglah singa itu tak cepat menerkam, sanusi menyesali itu semua. Pikirannya tak tenang.
***
Sampai di depan pagar rumah anjani, sanusi langsung pamit pada anjani. Ia sengaja mengatur agar tukang becak itu tak segera pergi, agar anjani tahu bahwa iapun masih akan pulang dengan becak itu. Setelah anjani masuk ke dalam rumah, barulah iya membayar pada tukang becak, ia meminta tolong agar dibiarkan naik sampai dibelokan gang yang tak jauh dari rumah anjani. Jangan sampai anjani tahu tentang kepulanganku malam ini.
Sanusi berjalan seorang diri, bulan dan bintang masih menjadi sinarnya malam itu. “Iya aku masih buas, aku masih belum siap. Inikah binatang yang ada dalam manusia itu?”, sahutnya pada kejauhan hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H