“tak apa engkau menolak, itu hakmu. Kekuranganku tak pernah aku tutupi sejak dahulu pula kita berhubungan. Kalaupun ajakan ini belum berkenan untuk saat ini, mulailah berkata dengan jujur di hadapanku sekarang, supaya hendak aku berbenah dan tahu diri. Tapi bukanlah ini yang kita impikan sejak dahulu. Keberanianku mengajakmu menempuh rumah tangga, inilah puncakku”, lanjut sanusi tanpa memperhatikan perubahan sikap pada anjani.
“datanglah pada orang tuaku san”, sahut anjani pelan.
Keesokan harinya sanusi datang ke kediaman anjani dan orang tuanya. Langkahnya penuh dengan kepercayaan, tapi tetap terasa rapuh dalam hati kecilnya. Bukan karena niat dan cara tidak wajar yang ia tempuh. Ia yakin begitulah semestinya. Ia hanya takut akan kata-katanya yang kurang berkenan, “kalimat bisa saja mengubah segalanya”, begitulah kalimat yang pernah diucapkan ayahnya dahulu. Ia bukanlah orang yang pandai bicara diplomasi.
Sampailah keinginan itu diucapkan di depan orang tua anjani. Anjani dan ibundanya hanya menguping dari dalam ambin kamar tidurnya.
“apa maksud kedatangan sanusi kali ini kemari, tidak seperti biasanya”. Ayah anjani memulai.
“sanusi ingin meminang anak ayah”. Sanusi memainkan jari-jari tangannya, ia mulai terlihat gugup. Kedua orang itu sama-sama terdiam, ayah anjani hendak menunggu sambungan kalimat dari sanusi, sedang sanusi sudah beku otak dan katanya sesaat, harapnya akan segera ditanggapi oleh ayah anjani. Mata mereka kemudian saling berhadapan.
“apa modalmu, apa pekerjaanmu?”, kalimat itu mendengung dengan berat dari ayah anjani. Anjani yang sedang mendengar itu ikut merasakan tegang yang tak pernah ia sangka. Ia pikir, sanusi sedang disidang tanpa pembela. Sangat tak mungkin ia keluar dan mendampingi sanusi untuk berbicara. Anjani mulai berdoa pelan dalam hatinya.
“saya sudah bekerja sekarang sebagai mandor ayah”, sahut sanusi dengan canggung. Tampak ia tak percaya diri dengan jabatanya saat itu. Tapi belumlah selesai kalimatnya. “ia, saya baru enam bulan menjadi mandor diperusahaan. Rumah dan kata mapan masih jauh dari keadaan sanusi sekarang, setidaknya kebutuhan untuk menjalinkan rumah tangga masih bisa sahaya penuhi ayah, begitulah perhitungan sanusi”.
Ayah anjani mengangguk-angguk tanpa arti, ia belum puas dengan penjelasan sanusi.
“lalu bagaimana rencanamu setelah meminang anjani”.
Seketika sanusi terperanjat, tangan dan kakinya ingin bergerak menolak pertanyaan itu. Pertanyaan yang tak pernah ia bayangkan, khususnya dalam lingkungan kehidupannya yang serba berlalu tanpa khayalan dan impian kedepannya. Dalam pergaulannya dengan teman seusianya, tak pernah hal itu pernah diungkapkan oleh temannya yang sudah menikah terlebih dahulu. Tak sampai sanusi menjawab, ayah anjani menimpalinya dengan pertanyaan yang lain.
“apa engkau sudah mendapat sebagai pegawai tetap di perusahaan itu?”.
“belum yah”, kali ini jawabnya cepat.
Ayah anjani kembali menggelengkan kepalanya, sebagai tanda tak berkenan. Sanusi merekam semua gerak-gerik ayah anjani saat itu.
“sanusi akan berusaha selama satu tahun ini untuk diangkat menjadi pegawai tetap”, sahutnya lagi kemudian.
“tapi apa kau yakin bisa dapatkan itu sesuai rencanamu?”, sahut ayah anjani kemudian. Telak tak dapat dijawab oleh sanusi yang hanya lulusan sekolah menengah pertama. Ia tahu posisi sebagai mandor punya banyak saingan dan intrik. Banyak yang ingin merebut jabatan itu, apalagi ia hanya kebetulan mendapat keberuntungan yang besar saat dipilih menjadi mandor, tak ada alasan lain. Sanusi masih berdiam diri menatap ayah anjani.
“Sanusi, apakah kau hanya akan berdiam diri atau ingin meyakinkanku sebagai wali anjani?”. Anjani semakin pucat mendengar pertanyaan yang muncul dari ayahnya itu, iapun tak menyangka akan mendengar pertanyaan yang iapun akan kesulitan menjawabnya apabila berada diposisi sanusi.
“tidak yah, tidak”, suara sanusi mulai serak tak menentu.
“lalu bagaimana kelanjutan kalimatmu?”, sahut ayah anjani kemudian. Mata mereka berdua kembali bertemu untuk kesekian kalinya.
Tak terasa oleh sanusi, matanya mulai berkaca mendapat cecaran pertanyaan.
“Sanusi ingin melaksanakan janji pada anjani, ingin menikahi anjani apa adanya”.
“oh sanusi, pernikahanmu bukan sekedar janji dengan anakku anjani. Jangan kau menganggap itu hanya hal memenuhi janji dengan anjani. Engkau salah kaprah, engkau belum siap”. Wajah ayah anjani menjadi lebih serius dari sebelumnya.
“apa hendak engkau katakan sekarang sanusi?”, sahutnyanya kemudian.
Sanusi bagai melihat tembok raksasa didepannya, rasa kemarahan mulai bercampur dengan perasaan tak puas, wajah sanusi mulai memerah, singa yang terpendam jauh dalam itu mulai meraung dalam hati sanusi. “perlukah aku lompati tembok ini, atau izinkan saja aku merobohkan tembok tua itu”. “sekaliku terkam habislah ia, tak akan bisa menghindar, engkau sudah sedekat ini, jangan ingin usaha dan pengorbananmu jadi bahan cercaan pertanyaan yang tak tentu arah”.