Mohon tunggu...
Muhammad Ibnu Zuhair
Muhammad Ibnu Zuhair Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Siswa SMA

Saya memiliki hobi menulis, dan bermusik. Saya sangat suka dengan matematika, karena matematika adalah bahasa yang digunakan Tuhan untuk menciptakan alam semesta.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peran Pemuda sebagai Jembatan Antara Tradisi dan Perubahan Zaman di Abad ke-21

2 Desember 2024   07:32 Diperbarui: 2 Desember 2024   07:56 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: klikberita.co.id)

Keluarga merupakan komunitas terkecil suatu masyarakat yang berdampak signifikan terhadap cara setiap anggotanya tumbuh dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar (Jaya, 2024). Sebuah keluarga dapat dibagi menjadi sebuah individu-individu yang memiliki beragam karakter dan usia. Secara usia, anggota keluarga dapat dibagi menjadi generasi muda dan generasi tua.

Generasi tua, seperti: ayah, ibu, nenek dan kakek, dapat didefenisikan sebagai generasi yang berasal dari keluarga yang lebih dulu ada sebelum berkembang pesatnya teknologi informasi dan komunikasi layaknya sekarang, seperti Baby Boomers yang lahir dari tahun 1946 hingga 1964 dan Generasi X yang lahir dari tahun 1965 hingga 1980. 

Sehingga, sebagian besar dari mereka lebih mengenal tradisi-tradisi dan kepercayaan kuno nenek moyangnya, daripada teknologi-teknologi canggih zaman sekarang. 

Sedangkan, Generasi Milenial yang lahir dari tahun 1981 hingga 1995 dan Generasi Z yang lahir dari tahun 1996 hingga 2010, yang kita kategorikan disini sebagai generasi muda, adalah generasi yang lahir setelah berkembang pesatnya teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini pun berpengaruh terhadap cara pandang masing-masing generasi terkait tradisi dan kepercayaan tersebut.

Faktor penting mengapa generasi tua masih melaksanakan tradisi kuno ataupun kepercayaan, seperti mitos, adalah karena memiliki makna tersendiri bagi mereka. Seperti nilai-nilai kearifan lokal, pemikiran, dan pengetahuan dapat ditanamkan dan dikukuhkan secara efektif melalui tradisi dan kepercayaan kuno. Tradisi dan kepercayaan ini juga berperan dalam merangsang kreativitas dalam berpikir (Ramadhani dkk, 2023). 

Generasi tua pun cenderung melihat nilai filosofis dari sebuah kebudayaan atau kepercayaan berdasarkan penerapannya. Pandangan generasi tua yang seperti itu, berefek terhadap sifatnya yang cenderung menutup diri dari perkembangan zaman. Sebagian besar dari mereka pun sering mendahulukan aspek kepercayaan terhadap hal-hal mistis, dibandingkan berpikir secara rasional.

Berbanding terbalik dengan generasi muda, yang cenderung melihat nilai filosofis dari sebuah kebudaayan berdasarkan segi rasionalitasnya. Salah satu faktor cara pandang generasi muda tersebut adalah pergeseran nilai budaya. Nilai budaya yang dianut oleh suatu masyarakat tidaklah kaku dan permanen, melainkan terus beradaptasi dan berkembang seiring dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat (Pratika dkk, 2021). 

Di era globalisasi, perkembangan teknologi digital dan media digital telah mendorong perubahan nilai budaya. Kemudahan akses informasi dan komunikasi membuka masyarakat terhadap berbagai budaya lain, sehingga terjadilah percampuran dan transformasi nilai budaya. Sehingga, cara pandang tersebut berefek terhadap sifat generasi muda yang dapat menerima arus masuknya inovasi-inovasi dan kebudayaan baru.

Perbedaan cara pandang di antara keduanya ini akan berefek pada berbagai hal, yaitu pada perilaku, model komunikasi, dan proses pengambilan keputusan dalam kelompok generasi masing-masing, yang terbentuk oleh pengaruh eksternal.

 Selain itu, dapat memicu kesenjangan yang kontras antargenerasi, dimana generasi muda menganggap bahwa mempertahankan tradisi seperti yang dilakukan generasi tua sama saja dengan mempertahankan ketertinggalan di era modern. 

Dan secara bertahap, anggapan tersebut mengakibatkan terkikisnya warisan budaya seiring berkembangnya waktu karena tak ada lagi upaya revitalisasi oleh generasi selanjutnya. Oleh sebab itu, diperlukan peran pemuda untuk menangani hal tersebut.

Menurut UU No. 40 Tahun 2009 Pasal 1, Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. 

Pemuda memeiliki kelebihan seperti, memiliki akses ke informasi dan teknologi modern, namun tetap terhubung dengan nilai-nilai dan tradisi keluarga, membawa ide-ide baru dan inovatif ke dalam keluarga dapat memperkuat komunikasi dan keharmonisan dalam keluarga sehingga saling mendukung dalam menghadapi berbagai tantangan dan perubahan, serta dapat menjaga nilai-nilai luhur keluarga, seperti rasa hormat, kepedulian, dan gotong royong di tengah arus globalisasi.

 Sehingga dengan memiliki kesempatan, potensi, dan prospek untuk berkontribusi lebih banyak dan berperan lebih aktif dalam kemajuan dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya, diharapkan generasi muda dapat memanfaatkan kesempatan, potensi, dan kekuatan yang mereka miliki itu untuk memajukan diri dan masyarakat (Suprayitno & Wahyudi, 2020).

Sebagai jembatan antara tradisi dan perubahan zaman dalam keluarga, seorang pemuda dapat berperan dalam berbagai hal. Khususnya akan dibahas secara spesifik untuk pemuda di Minangkabau. 

Hal ini dikarenakan masyarakat suku Minangkabau di Sumatera Barat terkenal dengan tradisi dan norma sosial yang kaya akan nilai-nilai moral dan kebijaksanaan. Nilai-nilai ini dilestarikan melalui berbagai kebiasaan dan aturan adat yang sejalan dengan prinsip "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah". Adapun tradisi yang umum dilakukan pada keluarga Minangkabau oleh generasi tua, seperti makan bajamba, batagak panghulu, dan turun mandi.

Tradisi makan bajamba merupakan tradisi yang mencerminkan budaya kebersamaan dan kekeluargaan dalam masyarakat Minangkabau. Tradisi ini dilakukan dengan duduk bersama di satu tempat, berkumpul erat, dan bersantap hidangan bersama (Pakasi, 2023).

 Letak perbedaan lainnya dari makan bajamba dengan makan biasa adalah cara menghidangkannya, yaitu dengan piring besar dan dimakan bersama-sama. Namun, realitanya tradisi ini jarang dilakukan oleh generasi muda sekarang, dan digantikan dengan makan bersama yang menggunakan piring biasa. 

Padahal tradisi makan bajamba bukan hanya tentang menikmati hidangan bersama, tetapi juga tentang menumbuhkan rasa kekeluargaan dan kesetaraan. Ketika duduk bersama dalam lingkaran, semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengambil makanan dan bertukar cerita. Hal ini menandakan bahwa tidak ada perbedaan status sosial dalam tradisi ini (Erlina & Nasrulloh, 2023).

Selanjutnya, masyarakat Minangkabau juga memiliki tradisi adat Batagak Panghulu untuk mengangkat pemimpin kaum yang disebut Panghulu atau datuak. Upacara ini dilangsungkan dengan meriah, ditandai dengan penyembelihan kerbau dan berlangsung selama satu minggu penuh (Sandora, 2021).

 Tradisi batagak panghulu ini pun kini hanya digelar di beberapa keluarga Minangkabau di Sumatera Barat. Salah satu penyebabnya adalah memudarnya peran datuak (penghulu) di keluarga Minangkabau. Padahal, datuak di keluarga Minangkabau berperan penting dalam pembentukan karakter anggota keluarga lainnya.

Kemudian, tradisi turun mandi merupakan ritual pemandian bayi yang baru lahir dengan memandikannya di air, lazimnya di sungai kecil. Tradisi ini diyakini memiliki berbagai manfaat dan biasanya dilakukan oleh keluarga dan kerabat dekat di suku Minangkabau (Husna, 2022). 

Turun mandi adalah salah satu tradisi Minangkabau yang mulai terancam punah. Sedangkan tujuan pelaksanaan dari tradisi tersebut adalah untuk memperkenalkan bahwa telah lahir keturunan baru dari suatu keluarga kepada lingkungan sekitar (Khatimah & Rivauzi, 2022).

Mengingat pentingnya tradisi-tradisi di atas, maka perlunya peran pemuda sebagai pemeran utama dalam pelestarian tradisi dan adat istiadat dalam keluarga. Peran tersebut diantaranya adalah:

  • Pemuda harus mempelajari dan memahami nilai-nilai budaya yang kuat agar dapat diwariskan ke generasi selanjutnya.
  • Pemuda dapat menjadi teladan dalam implementasi nilai-nilai budaya Minangkabau di dalam menjalani rutinitas keseharian di keluarga Minangkabau.
  • Pemuda harus terlibat aktif dalam berbagai kegiatan adat, tradisi, dan seni budaya Minangkabau.

Selain itu, pemuda juga berperan sebagai mediator antara generasi tua dan generasi muda di dalam keluarga. Mediator adalah pihak penengah yang menjembatani komunikasi dan membantu para pihak dalam mencari solusi atas suatu permasalahan. Berikut yang dapat dilakukan oleh pemuda untuk mewujudkan peran sebagai mediator.

  • Jembatan Komunikasi:
  • Membantu generasi tua memahami generasi muda: Generasi muda memiliki cara hidup, pemikiran, dan teknologi yang berbeda dengan generasi tua. Pemuda dapat membantu menjelaskan dan menerjemahkan hal-hal ini kepada generasi tua agar tercipta pemahaman yang lebih baik.
  • Membantu generasi muda memahami generasi tua: Generasi tua memiliki nilai-nilai, tradisi, dan pengalaman hidup yang berbeda dengan generasi muda. Pemuda dapat membantu menjelaskan dan menerjemahkan hal-hal ini kepada generasi muda agar tercipta rasa hormat dan penghargaan.

2. Fasilitator Dialog:

  • Membuka ruang diskusi: Pemuda dapat membuka ruang diskusi dan dialog antara generasi tua dan generasi muda untuk membahas berbagai isu dan perbedaan pendapat.
  • Menjembatani perbedaan: Pemuda dapat membantu menjembatani perbedaan pendapat dan pandangan antara generasi tua dengan generasi muda.

3. Agen Perubahan:

  • Mendorong perubahan positif: Pemuda dapat mendorong perubahan positif di dalam keluarga dengan menggabungkan nilai-nilai tradisional dan ide-ide modern.
  • Menjadi role model: Pemuda dapat menjadi role model bagi generasi muda dalam hal menghormati generasi tua dan menjaga nilai-nilai keluarga.

4. Penerus Tradisi:

  • Melestarikan tradisi: Pemuda dapat membantu melestarikan tradisi dan budaya keluarga dengan mempelajarinya dari generasi tua dan kemudian mempraktikkannya.
  • Mengajarkan tradisi kepada generasi berikutnya: Pemuda dapat membantu mengajarkan tradisi dan budaya keluarga kepada generasi berikutnya agar tidak terlupakan.

Selain peran pemuda yang dijelaskan diatas, diperlukan kebijakan-kebijakan guna mendukung peran pemuda tersebut. Upaya penanaman nilai-nilai luhur kepada pemuda menjadi fokus utama dalam kebijakan ini. Implementasinya dilakukan melalui dua jalur, yaitu pendidikan formal di sekolah dan pendidikan non-formal di luar lingkungan sekolah. 

Landasan hukum untuk program ini tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Perpres No. 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Sehingga di masa depan diharapkan para pemuda dapat menjadi agent of change yang dapat memastikan kemanfaatan dan keberlanjutan dari lingkungan sekitar secara umum, secara khusus pada lingkungan keluarga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun