Apa yang masih tersimpan dalam memori Anda jika harus mengingat-ingat kembali masa sebelum Covid-19 menyerang? Setahun sudah pandemi ini bersama kita, adakah hal berharga yang tertinggal di belakang sana? Sebagai materi renungan bagi diri kita yang lalai lagi serba kekurangan.
***
Waktu itu, sebulan lagi kami akan mengadakan family gathering. Beberapa di antara kami yang masuk dalam kepanitiaan terus menggenjot perihal yang belum rampung agar segera ada deal dengan pihak travel, lokasi kegiatan, dan lain-lain. Melimpahnya pilihan-pilihan membuat kami harus berunding beberapa kali sebelum tiba pada keputusan final.
Begitu keputusan diambil, selanjutnya menunggu hari – H. Nah, dalam rentang waktu menunggu itulah, Covid-19 memaksa pemerintah untuk membatasi gerak warga negaranya secara masif. Singkatnya, tidak ada family gathering sampai beberapa orang di antara kami habis kontraknya, pindah ke lain kota dan lain sebagainya.
Adakah di antara Anda sekalian yang mengalami pengalaman serupa? Lamban membuat perencanaan / mengambil keputusan seringkali membuat kita kehilangan momentum-momentum penting bersama mereka yang kita cintai, rekan kerja, kenalan, dan masih banyak lagi. Di satu sisi kita sadar bahwa waktu demikian cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi. Namun, di lain sisi kita belum mampu memaksimalkannya. Kita sering terlena oleh hal-hal yang belum pasti berupa hari esok yang penuh misteri, sehingga dengan gampang kita berucap, “besok saja, sebentar lagi, kalau dijadwalkan ulang, gimana?”
Serangan pandemi Covid-19 waktu itu sungguh mengerikan. Tidak terbanyangkan bahwa dengan cepat semuanya berubah. Pola hidup dan kehidupan terpaksa banyak yang berubah. Pola belajar berubah, relasi kerja juga, hingga interaksi sosial. Semua terjadi di luar dugaan kita sebagai manusia.
Pada waktunya kita memang harus mengakui bahwa banyak kekacauan / penyesalan yang muncul di kemudian hari akibat dari ketidakbijaksanaan kita memanfaatkan waktu/ kesempatan. Padahal kita semua tahu bahwa kehidupan yang sesungguhnya adalah hari ini, di sini, dan sekarang. Bukan beberapa menit yang lalu atau beberapa menit yang akan datang. Di titik inilah kita sering seperti orang yang kehilangan kesadaran. Kebiasaan mengulur waktu juga membuat kita tidak kunjung maju. Bahkan acapkali terlalu menghamba pada masa depan yang sesusungguhnya serba belum pasti.
Saya ingat satu waktu di Jepang beberapa tahun yang lalu. Ketika rombongan kami bersafari di pusat keramaian, seorang host-family mewanti-wanti jika di antara kami ada yang tertarik untuk membeli sesuatu, maka belilah saat itu juga. Karena menurutnya, kita akan jalan terus dan belum tentu ada kesempatan untuk kembali lagi ke mari.
Hmmm, rupanya kebiasaan kami untuk melihat-lihat semuanya terlebih dahulu lalu kembali lagi ke tempat awal dimana barang yang kita minati tadi dijual, benar-benar tidak berlaku. Kami patuh pada nasehat itu sehingga berakhir dengan syukur.
Dalam sebuah ceramah yang pernah saya ikuti ketika masih berstatus mahasiswa dulu, seorang dosen menjelaskan bahwa pertemuan dua unsur yang membentuk manusia – jasad (fisik) yang terikat oleh ruang dan waktu dan roh yang tidak terikat oleh ruang dan waktu - akan menghasilkan diri kita yang hanya bisa berada di sini dan saat ini. Artinya, - sebenarnya - kehidupan kita memang hanya di sini dan saat ini.
Sudah menjadi takdir semesta bahwa diri kita tidak bisa kembali pada masa yang baru saja lewat. Atau pergi pada masa yang akan datang. Sesuatu yang mustahil. Kita hanya bisa hidup di sini dan saat ini. Oleh sebab itu, tidak ada cara lain untuk memaknai eksistensi semacam ini selain memanfaatkannya dengan sabaik-baiknya.
Never put off till tomorrow, what you can do today? Begitu bunyi sebuah ungkapan yang demikian masyhur. Time and tide wait for no man, ungkapan yang lainnya. Hal serupa juga sejalan dengan pesan suci yang dianjurkan oleh agama, maka apabila kamu telah selesai dari satu urusan maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dikatakan pula oleh Nabi Muhammad Saw “Sekiranya engkau tahu kiamat terjadi esok, sedang digenggaman tanganmu ada benih, maka tanamkanlah.”
Demikianlah sang waktu yang mengajari betapa berharga kedatangannya pada kehidupan kita. Ia hadir dengan energi positif yang mampu memicu kita untuk terus bergerak sehingga menjadi orang yang berhasil. Kering dari penyesalan-penyesalan. Akan tetapi, ia juga punya kekuatan untuk melumpuhkan gerak kita kemudian kita menjadi orang yang lalai hingga tidak mampu berbuat apa-apa.
Masih banyak di antara kita yang menyia-nyiakan waktu. Seolah waktu itu berlimpah, berputar melingkar. Padahal sungai waktu terus mengalir, zaman senantiasa berubah. Waktu itu bak aliran sungai. Kita tidak bisa menyentuh aliran yang sama dua kali.
Waktu adalah milik kita yang paling berharga sekaligus yang paling cepat berlalu. Kepergiannya jangan sampai meninggalkan tumpukan sampah masalah dan penyesalan. Apa yang akan terjadi esok hari, tentunya masih menjadi misteri. Akan tetapi, jangan sampai kita jatuh lagi pada lubang yang sama.
Pada masa sebelum pandemi, waktu seolah menuntut kita untuk lihai dan gesit mengambil keputusan. Apalagi yang menyangkut masa depan dan hajat hidup orang banyak. Tidak menggantungkan harapan pada sesuatu yang belum pasti. Apa yang bisa dilakukan hari itu maka kerjakan sebaik-baiknya. Ketidakseriusan kita mengisinya akan menjelma hantu masa lalu di kemudian hari.
Terakhir, degup jantung kita ibarat detak waktu, yang setiap detiknya mengabarkan kehilangan sekaligus penantian. Hidup kita hari ini dan di sini, bukan kemarin atau nanti. “Bagi mereka yang terbaring sakit, tergolek lemah tanpa harapan, waktu mereka panggil-panggil, tak datang-datang” begitu tulis Andrea Hirata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H