Hampir di semua malam yang merangkak, kau terbit sebagai purnama yang langkah, menyemai binar di telaga lubuk yang kelam, lalu berpulang menjadi pagi yang menyisakan mimpi dan harapan yang datang bersama mentari.Â
Dan pagi itu, aku terbangun, tersandar pada dinding-dinding bersulam koran dengan isi kepala yang bersiul atas nama mu dan foto-foto mu. Aku terjebak dalam rotasi pagi yang remang, yang memaksa gelap untuk lenyap bersama harap-harap.
Rasanya, kopi yang ku seruput di pagi ini tak lagi persis seperti di pagi kemarin, sebab mata mu yang binar masih melayang diapit burung-burung yang hendak berterbangan.Â
Di kota rempah yang penuh hiruk, banyak jejak yang membekas, pula beribu cita dan cinta yang melangit. Di puncak Gamalama seruan panjang atas nama keadilan memekik, menyebar ke altar-altar persimpangan dengan gagah dan garang.Â
Aku berkawan kan mereka di jalan-jalan juang yang dipeluk terik, menjumpai banyak gedung untuk membatalkan kebobrokan sebuah wajah.Â
Hingga di sebuah sore yang berdesakan, kau tiba menjadi gemulai yang memaksa jemari ini untuk merangkai, menulis panjang tentang senja-senja di Halmahera dan sepotong jejak di kota rempah untuk mu "M" yang selalu berlarian di kepala.
Di bawah pohon itulah, aku bersandar lalu memungut kata-kata yang berserakan, mencoba menjangkau mu dengan dekat lewat aksara yang kadang retak.Â
Kepada mu "M", aku hendak bercerita perihal sketsa yang kau pilih sebagai latar foto, juga dengan gerak langkah mu yang unik.Â
Di tengah kampus ramai, kau selalu ku tebak secara diam-diam lewat batas-batas ruangan, sebab dari jauh kau nampak serupa embun yang memeluk sejuk hutan rimba Halmahera.Â
Kepada mu "M", aku hendak bercerita, memperkenalkan mu tentang Halmahera yang panjang, yang kaya dan lebat.
Kota rempah hanyalah sedikit keindahan dari banyak keindahan di tanah ini, kau mesti pergi jumpai Halmahera sesekali, kau akan temukan kesederhanaan kehidupan yang tumbuh atas nama cinta.Â
Kepada mu "M" aku juga hendak bercerita tentang semua keindahan itu, tentang Halmahera yang ku junjung-junjung ini.Â
Kau tahu, Halmahera sedang dalam bahaya, tambang mencekiknya dengan begitu keji, laut dan sungainya tercemari limbah, hutannya dibabat, dan kami tak dapat apa-apa dari semua itu. Hanya mereka, para kapitalis dan oligarki, aku ingin menceritakan ini kepada mu "M".Â
Dan bila waktunya kau balik ke Palembang, jangan lupakan secarik kenangan mu di negeri ini. Jangan lupakan semua yang kau jumpai di sini, Tolire, Jiko Malamo, Taman Nukila, dan juga aku, lelaki yang kata mu tidak gentleman.
Aku menulis ini untuk mu "M", agar kelak kau bisa mengingat ku sebagai kawan atau pun kekasih juang, tapi tak mungkin. Dan yang tersisa dari semua ini hanyalah kenangan dan rindu yang tak akan menuai lagi. Â
Aku hanya ingin kita duduk bersama, entah itu sejam atau lebih, aku ingin bercerita perihal semua yang telah ku tulis ini.Â
Aku juga ingin mendengar petuah mu tentang kota rempah dan segala isinya dari mu, hanya ini yang ku hendaki, bila kau sudi, maka izinkanlah aku. Dan tulisan ini untuk mu, bacalah, aku akan senang jika kau mampir dan baca. Kepada mu "M" aku mencinta.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H