Mohon tunggu...
Muhammad Harun Al Rasyied
Muhammad Harun Al Rasyied Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ustadz

Seorang pelajar yang haus akan ilmu

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penegakan Hukum dan Peradilan di Timur Tengah

16 April 2023   13:00 Diperbarui: 16 April 2023   13:02 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

         Penegakan hukum di Timur Tengah sudah tersistem bahkan dari masa jahiliyyah, sebelum masa kenabian Rasulullah SAW. Pada masa Pra Islam ini, sudah terdapat suatu badan hukum yang berupa Lembaga kehakiman yang ditugas tersebut dipegang oleh Banu Saham yaitu satu golongan di antara golongan‐golongan Quraisy. Bila ada persengketaan pada orang-orang Quraisy mereka datang ke Mekah mengadukan perkaranya kepada Banu Saham. Di antara orang‐orang yang memegang peradilan di masa Jahiliyah ialah: Hasyim bin 'Abdu Manaf, Abu Lahab dan Aktsam ibn Shaifi.  Selain itu, Masyarakat Jahiliyah terbiasa menyelesaikan kasus ataupun masalah mereka dengan mendatangi paranormal (Ihtikan), para dukun (Kahin) dan tukang ramal ('arraf) yang tergabung dalam badan hukum yaitu Badan Ihtikan dan Qur'ah (Paranormal dan Undian). Mereka diyakini masyarakat Arab waktu itu memiliki kelebihan pengetahuan prihal rahasia‐rahasia gaib. Selain itu mereka juga memutuskan perkara dengan qur'ah atau undian. Diantara dukun yang terkenal saat itu adalah Rabi' ibn Rabi’ah ibn al‐Dzi'ib.

         Lalu, ada juga yang disebut dewan Mazhalim. Dewan Mazhalim. Mereka adalah para arbitrator yang dikenal bijak dalam menyelesaikan persengketaan. Dewan ini ditiru bangsa Arab dari bangsa Persia. Di antara tokoh sejarah Arab pra Islam yang dikenal sebagai arbitrator dalam dewan mazhalim adalah 'Abdul Muthalib, Zuhayr ibn Abu Salma, Aktsam ibn Sayfi, Hajib ibn Zirarah, Qus ibn Sa'idah al‐Iyadi, 'Amir ibn al‐Dharib al‐'Udwain serta Ummayah ibn Abu Salt. Dari kalangan perempuan terdapat juga nama 'Amrah binti Zurayb. Nabi Muhammad SAW sendiri sebelum masa kerasulannya pada zaman Jahiliyah pernah diminta untuk menjadi arbitrator oleh kaum quraisy ketika berselisih dalam menentukan siapa yang lebih berhak dalam meletakkan hajar aswad pada saat penyelesaian akhir pembangunan Ka'bah. Akan tetapi keberadaan dan keputusan para arbitrator masyarakat Arab pra Islam ini bersifat subjektif. Keputusannya pun tidak sepenuhnya mengikat karena mereka sendiri tidak mempunyai peraturan untuk mengeksekusi keputusan‐keputusan mereka. Orang yang bersengketa tidak diharuskan untuk datang kepada para arbitrator ketika menemui perselisihan, dan tidak pula harus tunduk menerima keputusan mereka.

              Memasuki masa kerasulan Nabi Muhammad SAW, sistem peradilannya berlandaskan wahyu Allah SWT. Di Madinah, Rasulullah SAW menggabungkan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Beliau sebagai hakim sekaligus sumber hukum. Beliaulah yang menjadi penegak dan pengambil keputusan hukum, sekaligus sumber hukum itu sendiri (setelah Al Quran) lewat hadits-hadits beliau. Adapun Jenis perkara yang diselesaikan Rasulullah meliputi segala jenis perkara, mulai   perkara   keluarga, perdata, pidana, hukum   acara   hingga   masalah   hukum internasional. Dalam kapasitas sebagai hakim, tidak jarang Rasulullah saw. melimpahkan wewenang kepada sahabat yang dipercayainya, seperti, Ali bin Abi Thalib, Hudzaifah Al Yamani, Uqbah bin Amr, Amr bin Ash, dan lain-lain.

              Setelah wafatnya baginda nabi, kepemimpinan ummat Islam dipimpin oleh Khulafaur Rasyidin. Masa ini dipimpin oleh para sahabat yang direkomendasikan langsung oleh Rasulullah SAW. Ketetapan hukum pada masa ini sesuai dengan Al Quran dan hadits Nabi SAW, dan semua keputusan (termasuk peradilan) berada di tangan khalifah. Periode ini terdiri dari masa kekhalifahan Abu Bakr As Siddiq (11-13 H/632-634 M), Umar Ibn Al Khattab (13-23 H/634-644 M), Utsman ibn Affan  (23-35 H/644-656 M), dan Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M). Hukum yang berlandaskan Al Uqran dan As Sunnah tetap menjadi rujukan utama, namun para khalifah sudah mulai menggunakan metode Ijtihad dalam menetapkan hukum. Contohnya Ketika khalifah Umar RA tidak memotong tangan pencuri yang terbukti mencuri pada masa paceklik.

              Setelah berakhirnya masa Khulafaur Rasyidin, Ummat Islam memasuki era dinasti-dinasti. Yang pertama adalah dinasti Umawiyyah. Di masa dinasti Umawiyyah, Khalifah mengangkat hakim-hakim (Qadhi). Para hakim ini tergabung dalam instansi bernama Nizham al-Qadha’i (organisasi kehakiman). Pada masa ini, kekuasaan pengadilan telah dipisahkan dari kekuasaan politik.  Lembaga ini memiliki 2 ciri khas, yaitu Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, dalam hal-hal yang tidak ada nash atau ijma’. Ketika itu mazhab belum lahir dan belum menjadi pengikat bagi keputusan-keputusan hakim. Ciri kedua adalah lembaga peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh penguasa. Hakim memiliki hak otonom yang sempurna tidak dipengaruhi oleh keinginan-keinginan penguasa. Adapun instansi dan tugas kekuasaan kehakiman di masa dinasti Umawiyyah ini dapat dikategorikan menjadi tiga badan utama, yaitu:

  • Al-Qadhaa’: bertugas me­nyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan agama. Di samping itu, badan ini juga mengatur institusi wakaf, harta anak yatim, dan orang yang cacat mental.
  • Al-Hisbah: bertugas menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat. Badan ini bertindak sebagai pengawas perdagangan dan pasar, memeriksa takaran dan timbangan serta ikut menangani kasus-kasus perjudian, tindakan asusila dan tindakan lain yang tidak layak di depan umum.
  • Al-Nadhar Fi Al-Mazhalim: Merupakan mahkamah tinggi atau mahkamah banding dari mahkamah di bawahnya (al-qadha dan al-hisbah). Lembaga ini juga dapat mengadili para hakim dan pembesar negara yang berbuat salah. Proses persidangan dipimpin langsung oleh khalifah.

            Setelah berakhirnya dinasti Umawiyyah, ummat Islam memasuki masa kerjaan yang dipimpin oleh seorang sultan. Dinasti yang terbesar saat itu adalah dinasti Abbasiyyah. Daulah Abbasiyyah berpusat di Baghdad, Irak. Daulah ini terbagi kedalam 4 periode yaitu Abbasiy I (132-232 H / 750-847 M), Abbaisy II (232-334 H / 847-946 M), Abbasiy III (334-447 H / 946-1055 M), Abbsiy IV (447-656 H / 1055-1258 M). Pada masa Daulah Abbasiyah para hakim tidak lagi berijtihad dalam memutuskan perkara, tetapi mereka berpedoman pada kitab-kitab mazhab yang empat atau mazhab yang lainnya. Dengan demikian, syarat hakim harus mujtahid sudah ditiadakan. sumber hukum yang banyak digunakan oleh hakim kala itu adalah yurisprudensi atau preseden hukum yang ditinggalkan oleh hakim-hakim sebelum masa Dinasti Abbasiyah. Keputusan-keputusan itu bisa jadi rujukan bagi hakim masa Abbasiyah.

            Organisasi kehakiman mengalami perubahan, antaralain telah diadakan jabatan penuntut umum (kejaksaan) di samping telah di bentuk instansi Diwan Qadhi Al-Qudhah:

Diwan Qadhi al-Qudhah (fungsi dan tugasnya mirip dengan Departemen Kehakiman) yang dipimpin oleh Qadhi al-qudhah (ketua Mahkamah Agung). Semua badan-badan pengadilan dan badan-badan lain yang ada hubungan dengan kehakiman berada di bawah Diwan Qadhi al-qudhah.

Qudhah al-Aqaali (hakim provinsi yang mengetuai Pengadilan Tinggi)

Qudhah al-Amsaar (Hakim Kota yang mengetuai Pengadilan negeri; Al Qadha atau Al-Hisbah)

Al-Suthah al-Qadha’iyah, yaitu jabatan kejaksaan di ibu kota negara di pimpin oleh Al-Mudda’il Ummy (Jaksa Agung), dan tiap-tiap kota oleh Na’ib Umumiy (Jaksa).

Pada masa ini, terdapat empat badan peradilan yaitu:

  • Al-Qadha, hakimnya bergelar Al-Qadhi. Bertugas mengurus perkara yang berhubungan dengan agama pada umumnya. Al-Qadha adalah lembaga yang berfungsi memberi penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan, dan masalah wakaf.
  • Al-Hisbah, hakimnya bergelar Muhtasib, bertugas menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan masalah-masalah umum dan tindak pidana yang memerlukan pengurusan segera. Tugas pejabat Al Hisbah adalah amar ma’ruf nahi munkar.
  • Wilayat al-Mazhalim, hakimnya bergelar Qadhi Al Mazhalim, yaitu kekuasaan pengadilan yang lebih tinggi dari kekuasaan Al-Qadhi dan Muhtasib, yang bertugas memeriksa kasus-kasus yang tidak masuk dalam wewenang hakim biasa, tetapi pada kasus-kasus yang menyangkut penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyat biasa.
  • Al-Mahkamah Al-Askariyah, hakimnya bergelar Qadhi Al-‘Askar atau Qadhi Al-Jund. Ini adalah peradilan militer. Badan ini sudah ada sejak zaman Sultan Shalahuddin Yusuf bin Ayub. Tugasnya adalah menghadiri sidang ketika persidangan tersebut menyangkut anggota militer atau tentara.

               Periode selanjutnya adalah dinasti Utsmaniyyah. Daulah Utsmaniyyah dirintis oleh Ertugrul Ghazi di kota Syukud, Turki pada tahun 1230-1924 M, setelah tumbangnya Kesultanan Saljuk oleh bangsa Mongol. Setelah ia wafat, ia digantikan oleh Putranya Bernama Utsman bin Ertugrul (Utsman I). Beliau lah yang mendirikan Daulah Utsmaniyyah pada tahun 1299 M. Hingga pada akhirnya daulah Utsmaniyyah di masa Sultan Abdul Majid II resmi dibubarkan pada tahun 1924 M. Sumber hukum pada masa ini diambil dari 3 sumber, yaitu Fiqih, Iradah Saniyah (keputusan Khalifah/Sultan) Qanun (Keputusan rapat Menteri-Menteri yang disahkan oleh khalifah/sultan).

               Pada masa dinasti Utsmaniyyah, kelembagaan dalam bidang hukum dan peradilan terbagi ke dalam 2 fase: Fase sebelum Tandhimat (perubahan) dan setelah Tandhimat. Pada masa sebelum Tandhimat, Terdepat 2 lembaga yaitu:

Al-Qadhi: Berwenang dalam pelaksanaan hukum syariah. Tidak hanya ada di ibukota kerajaan, namun juga di daerah-daerah. Dikepalai oleh Qadhi Al-Qadhat.

Syurthah: Berwenang dalam pelaksanaan hukum non-syariah seperti mencegah tindak kriminal, pelanggaran HAM, dll.  Menggunakan hukum adat setempat. Dikepalai oleh Shahibul Syurthah.

Pada masa ini, peranan Syaikhul Islam (Mufti) sangat besar. Mufti menetapkan hukum tidak hanya bagi Muslim, namun juga non-muslim dalam segala aspek hukum.

               Pada masa setelah Tandhimat, Daulah Utsmani yang mengalami penurunan karena kekalahan dan ketertinggalan dari Eropa menganggap hukum yang berlaku harus diperbaharui. Oleh karena itu, porsi wewenang Mufti dikurangi hanya pada ranah hukum syariah dan keluarga. Sementara hukum ekonomi dan politik negara diserahkan kepada Dewan  Perancang Hukum yang berkiblat pada hukum eropa. Maka ditetapkanlah Piagam Gulhane (1839) dan Piagam Hamayun (1856) yang mendorong dibentuknya undang-undang; seperti undag-undang anti korupsi, penjaminan kebebasan beragama, dan kesempatan bagi warga negara non muslim untuk bisa duduk di posisi pemerintahan.

               Pada hukum era modern, negara-negara timur tengah yang mayoritas bersistem kerajaan, mulai berubah menjadi republik, walaupun masih ada juga yang teetap menganurt sistem kerajaan. Sebagai contoh adalah Saudi Arabia, yang keputusan tertingginya ada di tangan raja. Sumber hukum peradilan yang pertama dan paling utama di kerajaan Saudi Arabia adalah al-Qur’an dan hadist. Sumber lainnya adalah kitab Syarh Muntaha al-Iradat Al-Matn, Kitab Syarh al-Iqna’, Khassyaf al-Qina’ an Matni al-Qina’, dan Al-Matn Li Al-Buhuti. Namun kitab ini hanyalah sebagai rujukan dan kerangka acuan. Hukum kerajaan Arab Saudi berlandaskan madzhab Hanbali. Pengadilan di kerajaan Saudia Arabia terdiri atas 3 tingkatan:

  • Al-Mahakim al-Musta’jilah/Mahakim Juziyah. Peradilan yang bersifat segera. Lembaga ini bertugas menyelesaikan perkara-perkara yang mendesak, baik dalam bidang pidana maupun perdata. Bidang pidana menyangkut kejahatan yang menimbulkan luka, sedangkan dalam bidang perdata menyangkut masalah keuangan yang nilainya tidak lebih dari 300 riyal. Secara kelembagaan, kedudukan peradilan ini berpusat di kota Makkah, Madinah, dan Jeddah. Perangkat penegak hukum pada pengadilan ini adalah hakim tunggal.
  • Al-Mahakim Asy-syar’iyyah: peradilan syar’iyyah. Peradilan ini berwenang menangani hukuman potong tangan dan hukuman mati. Selain itu juga berwenang menyelesaikan perkara Al Ahwal Al Syakhshiyah, yang mencakup nikah, talak, rujuk, wasiat, dan al-mal yang nilainya 300 riyal.
  • Hay’ah al-Muraqabah al-Qadha’iyyah: yaitu Badan Pengawas Peradilan atau disebut dengan Peradilan Syariat Agung (Al-Mahkamah As Syar’iyyah Al Kubra). Susunan lembaga ini terdiri atas pimpinan, pembantu, dan tiga orang hakim anggota, yang keseluruhannya diangkat oleh raja.

Tugas dan wewenang Hay’ah al-Muraqabah al-Qadha’iyyah adalah Mengadili perkara-perkara banding, Mengendalikan administrasi dan mengawasi peradilan, Menerbitkan fatwa yang dimintakan kepadanya, Mengawasi lembaga pendidikan & kurikulum Pendidikan, dan Supervisi terhadap Lembaga-lembaga amar ma’ruf nahi munkar.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun