Sejak awal kedatangan Islam ke Nusantara, tasawuf menjadi salah satu pendekatan yang dominan dalam pembentukan identitas keagamaan masyarakat setempat. Namun, kecenderungan ini, terutama dalam bentuk tasawuf falsafi, seringkali menimbulkan ketidakseimbangan antara aspek eksoteris (syariat) dan esoteris (tasawuf). Ketidakseimbangan ini tidak hanya membatasi pemahaman umat terhadap Islam sebagai agama yang holistik, tetapi juga membuka ruang bagi munculnya penyelewengan-penyelewengan doktrin. Untuk menjawab tantangan ini, Abd al-Ra'uf al-Singkili tampil sebagai tokoh kunci yang mencoba merekonsiliasi dua dimensi utama ajaran Islam tersebut.
Konteks Sejarah dan Latar Belakang Abd al-Ra'uf
 Abd al-Ra'uf al-Singkili adalah seorang ulama terkemuka dari Aceh yang memiliki latar belakang pendidikan mendalam di Timur Tengah. Sebagai seorang sufi sekaligus ahli syariat, ia mempelajari berbagai cabang ilmu seperti tafsir, hadis, fiqh, dan ilmu-ilmu Al-Qur'an dari ulama-ulama terkemuka di Haramain. Dengan pemahaman mendalam dalam ilmu syariat dan tasawuf, Abd al-Ra'uf membawa perspektif baru dalam praktik Islam di Nusantara, yang kala itu cenderung didominasi oleh tasawuf falsafi yang menitikberatkan pada aspek metafisika.
 Sekembalinya dari Timur Tengah, Abd al-Ra'uf diangkat menjadi hakim agung (qadi) Kesultanan Aceh, posisi yang mengukuhkan pengaruhnya dalam masyarakat. Melalui karya-karyanya, seperti Tanbih al-Mashi, Umdat al-Muhtajin, dan Daqaiq al-Huruf, ia menawarkan sintesis yang harmonis antara syariat dan tasawuf, yang menjadi ciri khas ajarannya.
Pendekatan Abd al-Ra'uf dalam Mereformasi Islam Nusantara
 Abd al-Ra'uf memulai upayanya dengan menekankan pentingnya keseimbangan antara tasawuf dan syariat dalam praktik keagamaan. Pendekatannya dapat dirangkum dalam beberapa aspek berikut:
1. Penyebaran Ilmu Syariat dan Tasawuf
 Abd al-Ra'uf menilai bahwa ketidakseimbangan antara tasawuf dan syariat di Nusantara berasal dari kurangnya perhatian terhadap ilmu-ilmu syariat. Ia berupaya mengatasi hal ini dengan menyebarluaskan ajaran yang mengintegrasikan keduanya. Dalam karyanya, ia sering mengombinasikan pembahasan mengenai akidah, syariat, dan akhlak, sehingga menghasilkan pendekatan yang lebih komprehensif.
2. Mendukung Tasawuf dengan Al-Qur'an dan Hadis
 Dalam pendekatannya, Abd al-Ra'uf selalu merujuk pada Al-Qur'an dan hadis sebagai dasar utama ajarannya. Ia mengkritik praktik tasawuf yang mengabaikan syariat, seperti meninggalkan salat atau puasa, dengan menekankan bahwa tasawuf sejati harus didukung oleh kepatuhan terhadap syariat.
3. Penekanan pada Amal Ibadah
 Abd al-Ra'uf menempatkan amal ibadah sebagai elemen sentral dalam ajaran tasawufnya. Ia mendorong murid-muridnya untuk rutin melaksanakan amalan sunah, zikir, dan wirid. Dalam karyanya, ia bahkan memberikan panduan rinci mengenai berbagai salat sunah, seperti tahajud, duha, dan tasbih, serta wirid-wirid harian yang didasarkan pada hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.
4. Integrasi Akhlak dengan Tasawuf
 Menurut Abd al-Ra'uf, tasawuf tidak hanya berkaitan dengan pengalaman spiritual tetapi juga harus tercermin dalam akhlak sehari-hari. Ia menegaskan pentingnya sifat-sifat seperti zuhud, tawakkul, dan syukur sebagai bagian dari tasawuf yang otentik.
5. Doktrin Nur Muhammad
 Salah satu elemen yang menonjol dalam ajaran Abd al-Ra'uf adalah pemanfaatan doktrin Nur Muhammad sebagai landasan teologis. Ia mengaitkan penciptaan manusia dan kewajiban menaati Rasulullah SAW dengan konsep Nur Muhammad, yang menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai teladan utama dalam seluruh aspek kehidupan.
Kontribusi dalam Literasi Islam Nusantara
 Abd al-Ra'uf tidak hanya menjadi penggerak reformasi keagamaan di Nusantara, tetapi juga seorang penulis produktif. Karya-karyanya mencerminkan pendekatan yang sistematis dan mendalam terhadap persoalan keislaman. Misalnya:
 Tanbih al-Mashi berisi panduan tentang wirid, zikir, dan salawat, serta amalan-amalan sunah yang menekankan pentingnya amal ibadah dalam tasawuf.
 Umdat al-Muhtajin mengintegrasikan pembahasan mengenai maqamat (tahapan spiritual) dan amal ibadah.
 Daqaiq al-Huruf membahas dimensi metafisik tasawuf, tetapi tetap menghubungkannya dengan syariat.
Kesimpulan: Harmoni Antara Tasawuf dan Syariat
 Pendekatan Abd al-Ra'uf menawarkan model integrasi yang ideal antara tasawuf dan syariat, yang relevan hingga saat ini. Ia menekankan bahwa pengalaman spiritual harus didasarkan pada syariat yang kokoh, dan sebaliknya, syariat harus dimaknai dengan kedalaman spiritual. Dengan mengembalikan tasawuf kepada pangkalnya, yaitu berorientasi pada amal saleh dan akhlak, Abd al-Ra'uf tidak hanya meluruskan praktik-praktik yang menyimpang, tetapi juga memperkaya tradisi intelektual Islam di Nusantara.
 Upaya Abd al-Ra'uf adalah cerminan dari ajaran Islam yang holistik, di mana dimensi esoteris dan eksoteris tidak dipisahkan, tetapi justru saling melengkapi. Pendekatan ini tidak hanya relevan dalam konteks sejarah tetapi juga menjadi teladan bagi praktik keislaman di era modern.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H