Mohon tunggu...
Muhammad Haikal Faturrahman
Muhammad Haikal Faturrahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua Umum HMI Komisariat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman, Penggemar Buku, Penggila Sepak Bola

Menulis, Membaca, Berdiskusi

Selanjutnya

Tutup

Bola

Sepak Bola: Lahir dari Kelas Pekerja, Kini Menjadi Ladang Bisnis Kapitalis

25 September 2024   01:45 Diperbarui: 25 September 2024   03:50 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: https://images.jacobinmag.com/wp-content/uploads/sites/4/2022/05/22120919/Wigan-Athletic-v-Liverpool-Premier-League.jpeg

"The real fans of football come from the working class. Now they cannot afford to come and watch the game." - Eric Cantona.

Sepak bola, dalam sejarahnya, telah menjadi hiburan dan ruang sosial yang penting bagi kaum pekerja. Pada abad ke-18, di Inggris Raya, sepak bola mulai muncul sebagai olahraga yang menarik perhatian banyak orang, terutama kelas pekerja yang bekerja di sektor industri. Di sana, di jantung Revolusi Industri, sepak bola menjadi simbol perlawanan kolektif kaum buruh terhadap kondisi kehidupan yang keras dan menindas. Sepak bola bukan sekadar permainan menendang bola, melainkan manifestasi kolektivitas, solidaritas, dan perjuangan yang tumbuh dari pengalaman sehari-hari para pekerja.

Namun, seiring waktu, kapitalisme telah mencengkeram olahraga ini dan merusak substansi kolektif yang dulu erat melekat pada sepak bola. Hari ini, kita menyaksikan bagaimana sepak bola, yang dulu murah dan mudah diakses oleh kelas buruh, telah menjadi produk mahal yang diperdagangkan oleh korporasi multinasional. Artikel ini berfokus pada transformasi ini, dari hiburan kelas pekerja menjadi bisnis kapitalis, dan bagaimana kapitalisme telah merampas sepak bola dari rakyat.

sumber: https://www.culturematters.org.uk/media/k2/items/cache/b411ca46741f9a43a0338b6571da4089_XL.jpg
sumber: https://www.culturematters.org.uk/media/k2/items/cache/b411ca46741f9a43a0338b6571da4089_XL.jpg

Sepak Bola dan Kelas Pekerja: Sejarah yang Terlupakan

Sepak bola, seperti yang kita kenal hari ini, memiliki akar yang dalam dalam sejarah kelas pekerja, terutama di Inggris pada abad ke-18 dan 19. Awalnya, permainan ini merupakan bentuk rekreasi yang sangat populer di kalangan para buruh dan kelas pekerja, yang merindukan pelarian dari kehidupan sehari-hari yang monoton dan melelahkan di pabrik dan tambang. Pada masa itu, tidak ada fasilitas olahraga modern seperti yang kita lihat saat ini; sepak bola dimainkan di lapangan terbuka dan sering kali tanpa aturan yang ketat. Ini adalah permainan yang organik, di mana siapa pun dapat bergabung, terlepas dari latar belakang sosial mereka.

Di Inggris, sepak bola mulai mendapatkan popularitas di antara kelas pekerja bersamaan dengan lahirnya Revolusi Industri. Era ini membawa perubahan drastis dalam struktur sosial dan ekonomi, dengan banyak orang berpindah dari desa ke kota untuk mencari pekerjaan di pabrik. Populasi pekerja yang berkembang pesat di pusat-pusat industri menciptakan kebutuhan akan hiburan yang dapat menyatukan mereka. Di sinilah sepak bola berfungsi sebagai alat pemersatu, menyatukan buruh dari berbagai sektor industri dalam semangat kolektivitas.

Pada akhir abad ke-19, sejumlah klub sepak bola mulai didirikan di berbagai kota industri. Banyak dari klub-klub ini didirikan oleh para pekerja itu sendiri, yang melihat sepak bola sebagai cara untuk memperkuat ikatan sosial di antara mereka. Misalnya, pada tahun 1886, Arsenal FC didirikan oleh sekelompok pekerja gudang senjata di Woolwich. Klub ini menjadi simbol bagi komunitas buruh di London, dan ideologi kolektivisme yang mereka anut tercermin dalam budaya klub.

Demikian pula, West Ham United didirikan pada tahun 1895 oleh para pekerja dari industri pandai besi. Nama klub, "The Hammers", berasal dari simbol pekerjaan mereka. Para pendiri klub ini berkomitmen untuk menciptakan tim yang tidak hanya sukses di lapangan, tetapi juga mencerminkan semangat dan perjuangan kelas pekerja. Begitu juga, klub-klub seperti Manchester United dan Liverpool tumbuh dari akar yang sama, melambangkan identitas dan semangat komunitas pekerja di kota masing-masing.

Tradisi menonton sepak bola di stadion tumbuh seiring dengan berkembangnya klub-klub ini. Setiap akhir pekan, ribuan buruh akan berkumpul di stadion untuk menyaksikan tim mereka bertanding. Stadion bukan hanya tempat untuk menonton pertandingan; mereka menjadi pusat kehidupan sosial di mana buruh dapat bersatu, merayakan kemenangan, atau meratapi kekalahan bersama. Ini adalah manifestasi dari solidaritas yang tumbuh di antara mereka.

Perasaan senasib sependeritaan ini juga mendorong perkembangan budaya pendukung yang kuat. Para penggemar sering kali menjadi bagian integral dari klub mereka, terlibat dalam semua aspek, dari pengumpulan dana hingga organisasi acara. Sepak bola menjadi simbol harapan dan kebanggaan bagi komunitas kelas pekerja, di mana mereka dapat mengekspresikan diri dan identitas mereka.

Di berbagai negara, hubungan antara sepak bola dan kelas pekerja juga terlihat jelas. Di Jerman, klub-klub seperti Borussia Dortmund dan Schalke 04 lahir dari komunitas buruh yang sama, di mana mereka mengadopsi budaya dan tradisi lokal. Di Italia, AC Milan didirikan oleh imigran dan kelas pekerja yang mencari tempat untuk mengekspresikan identitas mereka melalui olahraga. Bahkan di Argentina, Boca Juniors dibentuk oleh para imigran dari kelas pekerja yang melihat sepak bola sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan sosial.

Namun, perubahan sosial dan ekonomi pada awal abad ke-20, terutama selama dan setelah Perang Dunia II, mulai menggeser posisi sepak bola. Meskipun sepak bola tetap menjadi sumber hiburan bagi kelas pekerja, kapitalisme mulai merambah ke dalam struktur organisasi klub. Penyiaran televisi dan sponsor mulai menarik perhatian para kapitalis yang melihat potensi keuntungan yang besar dalam industri olahraga ini. Perubahan ini semakin mencolok pada tahun 1980-an, ketika banyak klub sepak bola Inggris mengalami krisis finansial akibat pengelolaan yang buruk dan meningkatnya biaya operasional.

Krisis ini membuka jalan bagi investor swasta dan perusahaan besar untuk masuk dan mengakuisisi klub-klub tersebut. Proses ini tidak hanya mengubah cara klub dikelola tetapi juga mengalienasi para penggemar dari klub yang mereka cintai. Klub yang dulunya dimiliki dan dikelola oleh masyarakat kini beralih ke tangan individu atau korporasi yang lebih peduli pada keuntungan finansial daripada warisan dan tradisi yang dibangun oleh kelas pekerja.

sumber: https://images.jacobinmag.com/wp-content/uploads/sites/4/2022/05/22120919/Wigan-Athletic-v-Liverpool-Premier-League.jpeg
sumber: https://images.jacobinmag.com/wp-content/uploads/sites/4/2022/05/22120919/Wigan-Athletic-v-Liverpool-Premier-League.jpeg

Kapitalisme, Komodifikasi, dan Alienasi dalam Sepak Bola
Kapitalisme, dengan segala kekuatan ekonominya, tidak hanya merubah sistem ekonomi, tetapi juga merubah wajah sepak bola itu sendiri. Sepak bola, yang awalnya merupakan ruang kolektif bagi komunitas buruh, kini telah bertransformasi menjadi ladang bisnis yang dijalankan oleh para kapitalis internasional. Dengan masuknya kapitalisme, klub-klub sepak bola yang sebelumnya dimiliki dan dikelola oleh kelas pekerja kini beralih ke tangan pemilik modal yang lebih memperhatikan keuntungan daripada semangat kolektivitas dan identitas yang melekat pada olahraga ini.

Transformasi ini dapat dijelaskan melalui teori alienasi Karl Marx dalam Economic and Philosophic Manuscripts of 1844. Marx menyatakan bahwa dalam sistem kapitalis, pekerja terasing dari hasil kerja mereka dan dari aktivitas sosial yang mereka nikmati. Dalam konteks sepak bola, alienasi ini terlihat ketika penggemar yang berasal dari kelas pekerja, yang dulunya memiliki kontrol dan akses terhadap klub yang mereka dukung, kini merasa terasing dan terpisah dari olahraga yang mereka cintai. Keterasingan ini terjadi seiring dengan mahalnya harga tiket dan akses ke pertandingan, yang membuat kelas pekerja semakin sulit untuk hadir di stadion.

David Harvey, dalam bukunya A Brief History of Neoliberalism, menjelaskan fenomena komodifikasi yang terjadi dalam masyarakat modern, di mana segala sesuatu, termasuk olahraga, bisa dijadikan komoditas untuk dijual. Sepak bola, yang dulu merupakan produk budaya yang diciptakan oleh dan untuk kelas pekerja, kini telah menjadi barang dagangan yang hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang yang mampu membayar. Kenaikan harga tiket dan hak siar menciptakan jarak yang semakin besar antara klub dan penggemar mereka. Para penggemar kelas pekerja tidak lagi memiliki perasaan keterikatan dan kepemilikan terhadap klub mereka, melainkan hanya menjadi konsumen dari produk yang dijual oleh pemilik modal.

Dalam konteks ini, alienasi menjadi semakin nyata. Para penggemar yang dahulu mendukung tim dengan semangat dan loyalitas, kini hanya bisa menyaksikan pertandingan dari layar kaca, jika mereka mampu membayar biaya langganan. Hal ini menciptakan eksklusi sosial yang merugikan, di mana suara dan pengalaman kelas pekerja semakin terpinggirkan dari arena sepak bola yang mereka bantu bangun. Semangat kolektivitas yang dulunya menyatukan para penggemar kini hilang, tergantikan oleh individualisme yang ditawarkan oleh kapitalisme.

sumber: https://www.evanhughesideas.com/content/images/size/w2000/2022/08/Football-without-fans-is-nothing.jpgInput sumber gambar
sumber: https://www.evanhughesideas.com/content/images/size/w2000/2022/08/Football-without-fans-is-nothing.jpgInput sumber gambar

Sepak Bola sebagai Alat Kapitalis
Kita bisa melihat sepak bola hari ini sebagai alat kapitalis yang sempurna. Olahraga ini, yang dulunya dibangun oleh kelas pekerja, kini telah berubah menjadi mesin uang bagi para pemilik modal. Pertandingan sepak bola yang seharusnya menjadi arena solidaritas dan pertemuan masyarakat kini lebih berfokus pada profitabilitas. Penyiaran yang lebih mahal, merchandise yang harganya melangit, dan tiket yang tidak terjangkau bagi kelas pekerja, semua menciptakan sistem di mana sepak bola tidak lagi bisa diakses oleh mereka yang paling membutuhkan hiburan ini.

Komodifikasi sepak bola merusak nilai-nilai asli dari olahraga ini. Pertandingan yang seharusnya menjadi ajang untuk merayakan semangat lokal kini hanya menjadi peluang bagi kapitalis untuk meraup keuntungan dari loyalitas penggemar. Sepak bola modern tidak lagi berbicara tentang rivalitas antar komunitas, tetapi tentang bisnis dan keuntungan yang dapat diperoleh dari hak siar, iklan, dan penjualan merchandise. Hal ini mencerminkan bagaimana kapitalisme telah mengubah sepak bola menjadi produk yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu membayar.

Kesimpulannya, sepak bola yang dulunya merupakan simbol perjuangan dan solidaritas kelas pekerja kini telah kehilangan substansinya sebagai olahraga yang menghubungkan masyarakat. Alienasi yang dialami oleh penggemar kelas pekerja dan komodifikasi yang merusak nilai-nilai kolektif dalam sepak bola menjadi dua sisi mata uang yang sama. Ketika sepak bola bertransformasi menjadi bisnis yang dikuasai oleh kapitalis, kita kehilangan elemen-elemen kunci yang menjadikan olahraga ini berharga. Namun, meski saat ini sepak bola tampak sebagai ladang bisnis yang menguntungkan, masih ada harapan bahwa suatu saat olahraga ini akan kembali kepada akar dan nilai-nilai kemanusiaannya.

Kita perlu mengingat bahwa sepak bola bukan hanya sekadar permainan, ia adalah bagian dari identitas kolektif. Ketika saat itu tiba, kita akan melihat para buruh kembali ke stadion, menepuk bahu teman di sebelahnya dan berkata, "Mate, we are the real fans." 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun