PERSEPEKTIP Â ULAMA DAN CENDEKIAWAN
Demokrasi adalah sebuah tema yang banyak di bahas oleh para ulama dan intelektual Islam, banyak sekali dialegtika yang membahas tentang sistem demokrasi modern, dimana banyak sekali pendapat atau pandangan yang di berikan oleh para ulama dan intelektual Islam. Untuk menjawab dan memosisikan demokrasi secara tepat kita harus terlebih dahulu mengetahui prinsip demokrasi,dan menurut beberapa padangan para ulama  dan intektual Islam mengenai demokrasi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), demokrasi adalah sistem pemerintahan di mana rakyat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan melalui wakil-wakilnya. Selain itu, demokrasi juga diartikan sebagai pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan yang sama bagi seluruh warga negara.
Beberapa prinsip demokrasi adalah:
Pemilihan umum yang bebas dan adil:
Kebebasan berpendapat dan berekspresi, persamaan di hadapan hukum, pemisahan kekuasaan, pengakuan hak asasi manusia, pemerintahan menurut hukum, jaminan hak individu secara konstitusional, badan kehakiman yang bebas dan tidak memilih, kebebasan berserikat dan berposisi, pendidikan politik/kewarganegaraan (civil education)
Salim Ali al-Bahnasawi
Menurut Salim Ali al-Bahnasawi seorang  naturalis dan ornitolitas asal india, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan Islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, Sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap mengahalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya Islamisasi demokrasi sebagai berikut :
 Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah swt, wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainya, Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak di temukan dala Al-Qur'an dan sunah (an-Nisa;59) dan (al-Ahzab:36), Komitmen terhadap Islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
Al-Maududi
Dalam hal ini al-Maududi seorang jurnalis, teolog, dan filsuf politik pakistan sunni, dan mayor pemikir islam abad ke-20, secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala  hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler ( bersifat dunia atau kebendaan, bukan bersifat keagamaan atau kerohanian ). Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modrn ( Barat ) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi ( berdasarkan tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang di terapkan di barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan terbatas pada para pendeta.
Mohamad Iqbal
Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga di katakan oleh intelektual Pakistan ternama M.Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi srpiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah  mengabaikan keberadaan agama kalua anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang di tolak oleh Iqbal bukan demokrasi. Melainkan, praktiknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbalmenawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut:
Tauhid sebagai landasan asasi, Kepatuhan kepada hukum, Toleransi sesame umat beragama, Tidak dibatasi wilayah, ras,dan warna kulit.
Abdurahman Wahid (Gus Dur)
Pemikiran Abdurahman Wahid, mantan presiden Republik Indonesia ke-4, tentang demokrasi lahir dari keperihatinannya terhadap kondisi politik yang terjadi. Kata yang cukup mewakili suasana dan keadaan politik pada masa orde baru saat ini adalah 'mencekam'. Dimana kekuasaan pemerintahan tidak bisa diganggu gugat. Segala bentuk Tindakan yang dianggap mengancam eksistensipemerintahan akan di bekuk dengan alasan keamanan dan keutuhan negara.
Pemikiran Gus Dur soal demokrasi sejatinya merupakan antitesa terhdapap realitas yang ada. Ia vokal menggembor-gemborkan demokrasi disamping kebebasan, desentralisasi dan pemenuhan hak-hak minoritas. Pemikiranya muncul dari kegelisahan filosofis atas otoritarisme pemerintahan. Pemikiran Gus Dur mencoba untuk mengentaskan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku politik yang mengatasnamakan negara. Oleh Jeans Bartelson kekerasan ini di sebut sebagai kekerasan represif dan koersif.
Untuk melenyapkan demokrasi seolah-olah yang terjadi, Gus Dur memberikan beberapa poin yang dijadikan sebagai parameter berhasil atau tidaknya demokrasi.
Petama, kedaulatan hukum. Hal ini secara tegas dinyatakan dalasm konsitusi kita. Bahwa setiap persoalan yang terjadi harus di selesaikan berdasarkan hukum ( supermasi hukum ). Dalam hierarki perundang-undangan Indonesia, UUD 1945 berada di puncak ( grundnorm) sekaligus menjadi sumber dari segala hukum. Dimana didalam UUD 1945 diatur mengenai hubungan antar lembaga negara dan masyarakat untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Artinya, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tidak boleh bertindak sewenang-wenang.
Kedua, penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). HAM merupakan hakkodrati yang melekat bagi setiap manusia sebagai mahluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang perlu dihormati, ditegakan dan di junjung tinggi oleh setiap manusia, negara dan hukum.
Ketiga, penghargaan terhadap pluralitas. Realitas Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, keyakinan dan bahasa merupakan sebuah potensi sekaligus ancaman. Dengan paradigma pluralisme, keragaman tersebut bisa memperkokoh demokrasi.
Keempat, peningkatan kesejahteraan Rakyat. Hal ini bertalian erat dengan bidang ekonomi. Kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin akan merusak  system demokrasi. Dimana biasanya demokrasi akan dikuasai oleh orang yang kaya. Maka hal yang perlu diperbaiki adalah demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan.
Muhammad Imarah
Menurut Muhammad Imarah seorang pemikir Islam, seorang penulis dan editor, serta anggota akademi penelitian Islam al-Azhar di kairo, beliau mengatakan Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada ditangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura(Islsm) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Jadi. Allah berposisi sebagai al-Syari (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqih (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya. Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan. menciptakan alam, dia membiarkanya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Sebagai mana yang dijelaskan dalam Al-Qur'an surat ( al-A'raf:54)
Artinya:
- "Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia berkuasa atas Arasy. Dia menutupkan malam pada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan, dan bintang-bintang tunduk pada perintah-Nya. Ingatlah! Hanya milik-Nyalah segala penciptaan dan urusan. Maha berlimpah anugerah Allah, Tuhan semesta alam".
Inilah batas yang membebaskan antara sistem syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwasanya Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan tidak menolaknya secara mutlak. Dalam artian bahwasanya Islam bisa menerima demokrasi apabila demokrasi tersebut sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam, Seperti menjalankan demokrasi secara baik, yang mengedepankan sejumlah kriteria, seperti:
Mengutamakan prinsip kedaulatan rakyat, musyawarah untuk penetapkan suatu aturan yang tidak memberatkan kepada salah satu pihak, bersikap adil kepada seluruh rakyat tanpa membeda-bedakan ras, suku, ataupun agama, Hukum dan kebijakan harus dipatuhi oleh seluruh rakyat, Demokrasi harus sejalan dengan nilai-nilai agama dan UUD yang berlaku.
Dan Islampun dapat menolak demokrasi apabila demokrasi tersebut tidak sejalan dengan nilai-nilai agama, etika, ataupun Ham yang berlaku, seperti :
Politik uang yang merupakan sebuah wacana yang selalu muncul dalam pemilihan umum atau yang sering dikenal dengan istilah jual beli suara, Intimidasi adalah sebuah tindakan yang membahayakan dan menekan seseorang dari kebebasan atau kemerdekaan,Penggelembungan suara pada satu kandidat dalam pemilu, ketika ada upaya untuk memainkan suara atau pilihan asli masyarakat atau peserta pemilu bisa dianggap sebagai pelanggaran pada penyelenggaran demokrasi.
Dan negara Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas beragama Islam tetapi berhasil menggabungkan elemen-elemen demokrasi dengan prinsip Islam, karena sitem demokrasi di Indonesia  didasarkan pada nilai-nilai pancasila dan undang-undang dasar 1945(UUD 1945) yang mengedepankan ketuhanan yang maha esa, kemanusian yang adil dan beradap, persatuan indonesia, kerakyatan yang di pimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, serta UUD 1945 pasal 1 ayat 2 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945. Tetapi walaupun demokrasi di Indonesia sudah berdasarkan prinsip nilai-nilai agama, pancasila, dan UUD 1945. Namun nyatanya masih ada beberapa oknum yang melakukan demokrasi tanpa berdasarkan nilai-nilai agama dan prinsip-prinsip peraturan negara, karena haus akan kekuasaan dan gila akan jabatan.
Referensi:
https://www.darunnajah.ac.id/demokrasi-dalam-pandangan-islam/
https://www.nu.or.id/opini/gus-dur-bikin-demokrasi-di-indonesia-tidak-seolah-olah-Qpp5b
https://quran.nu.or.id/al-a'raf/54
Penulis: Muhamad Hafiz Ali Mahasiswa Komunikasi dan penyiaraan Islam Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI