Mohon tunggu...
Muhammad Hafiz
Muhammad Hafiz Mohon Tunggu... -

Pernah nyantri di salah satu pesantren di Sumatera Selatan. 6 tahun di bilik-bilik pesantren, melanjutkan ke UIN Syarif HIdayatullah Jakarta Fakultas Syariah dan Hukum. Saat ini beraktifitas di HRWG, sebuah Kelompok Kerja HAM Indonesian untuk Advokasi HAM internasional.\r\nBlog pribadi http://membumikantoleransi.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Amina, Pemerkosa dan Racun Tikus: Derita Perempuan Maroko

15 Maret 2012   10:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:01 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita menyedihkan kembali muncul dari komunitas Muslim. Bila kemarin Ketua DPR menstigmatisasi perempuan korban perkosaan yang "suka" mengundang hasrat laki-laki untuk memperkosa, kemarin (14/3/2012) kejadian pahit juga dialami oleh seorang perempuan Maroko (16) yang menjadi korban perkosaan. Perempuan nahas ini bernama Amina Filali yang menjadi korban pemerkosaan dan diputuskan oleh Pengadilan Tangier agar laki-laki pemerkosa menikahi korban. Menerima putusan ini, Amina lebih memilih menegak racun tikus daripada harus hidup bersama dengan pelaku.

Keputusan ini diambil oleh Hakim berdasarkan pada Pasal 475 UU Pidana Maroko yang membolehkan pelaku "penculikan" di bawah umur untuk menikahi korbannya agar terhindar dari hukuman. Pasal ini kerap digunakan untuk menjustifikasi praktek tradisional yang membuka ruang pada pelaku pemerkosaan untuk menikahi korbannya, demi menjaga kehormatan keluarga perempuan.

Pasal yang berangkat dari kebiasaan ini menyebutkan, bahwa:

"Barang siapa ditipu atau diculik dan belum mencapai usia usia delapan belas tahun, tanpa menggunakan kekerasan atau ancaman atau menipu atau mencobanya, dipidana dengan pidana penjara satu sampai lima tahun dan denda 120-500 dirham. Namun, bila anak yang diculik atau ditipu tersebut telah baligh dan menikah dengan pelaku, maka tidak dapat dituntut, kecuali dengan pengaduan dari orang yang memegang hak untuk meminta pembatalan perkawinan. Pelaku tidak dapat dituntut sampai adanya pembatalan perkawinan diucapkan".

Pasal ini sering digunakan oleh para Hakim atau pelaku kriminal (sesuai dengan deliknya) untuk menghilangkan hukuman pidana, dengan memaksa korbannya untuk menikahi pelaku. Dengan perkawinan ini, pelaku tentu terlepas dari hukuman dan pelaku baru bisa dihukum setelah terjadinya pernyataan pembatalan perkawinan.

Sontak saja keputusan ini mengundang protes keras dari pelbagai masyarakat, karena Putusan dipandang telah melanggar hak-hak Amina. Tidak hanya pelaku (pemerkosa), tetapi juga oleh hukum dan adat istiadat yang melanggengkan praktik ini. Alih-alih untuk menerapkan putusan hukum yang memberikan rasa keadilan kepada perempuan, Putusan ini justru telah menafikan sisi kemanusiaan (dehumanisasi) seorang perempuan.

Dalam konteks yang normal saja, seorang perempuan memiliki hak untuk menentukan pilihan pasangannya dan keputusan perempuan tersebut diakui secara sah oleh hukum. Hal ini tidak hanya diakui dalam strdard HAM internasional, tetapi juga oleh hukum Islam yang telah tumbuh berabad-abad lamanya (baca: kawin paksa). Apalagi, bila perempuan tersebut korban perkosaan, tentu benak kita bertanya "Ke mana otak Hakim itu sampai memutus perkara seperti ini?".

Namun inilah realitas. Ada banyak permasalahan yang terjadi di komunitas Muslim di seluruh dunia yang terkadang menggunakan agama sebagai tamengnya. Padahal, sama sekali agama tidak pernah menyetujui tindak tersebut. Praktik seperti kejadian di atas yang menimpa Amina dikabarkan masih banyak terjadi di wilayah Timur Tengah, tempat di mana oase Islam muncul dan berkembang. Demikian pula praktik lain yang memandang perempuan secara inferior. Tidak pernah dibayangkan oleh perempuan Indonesia bahwa mereka dilarang untuk menyetir kendaraannya sendiri seperti terjadi di Arab Saudi. Atau mungkin tidak pernah juga perempuan Indonesia terpikir mereka dilarang untuk menjadi presiden. Tapi tidak demikian di bagian dunia yang lain, dan kita cukup bersyukur ada di Indonesia.

Pemerkosa dalam Islam

Kembali pada permasalahan di atas. Karena peristiwa ini terjadi di negara Muslim dan masih banyak terjadi di Timur Tengah yang nota bene juga Negara-negara Muslim, rasanya sangat relevan untuk mengaitkan permasalahan perkosaan dengan hukum Islam.

Bila merujuk kepada hukum Islam, seharusnya hakim dapat menerapkan hukuman qishash (walaupun saya pribadi tidak setuju dengan hukuman mati), karena menurut hukum qishash, seorang laki-laki yang telah menikah dan berhubungan badan dengan perempuan lain dapat dihukum pancung (dengan syarat 4 orang saksi) atau dicambuk 100 kali bagi yang belum menikah. Apalagi, laki-laki tersebut adalah pemerkosa, yang sebetulnya melakukan kejahatan dua kali lipat dari sekedar berhubungan badan (zina, dalam Islam).

Suatu pendapat bahkan mengalirkan permasalahan perkosaan ini kepada suatu ayat yang lebih tragis lagi, yaitu dalam Alquran surat Al-Maidah ayat 33, yang menyatakan:

"Sesungguhnya, hukuman terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, atau dibuang (keluar daerah). Yang demikian itu, (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar."

Beberapa contoh sanksi di atas tentu bukanlah satu-satunya cara untuk mengatasi permasalahan perkosaan. Yang disebutkan di atas hanya salah satu contoh betapa sebetulnya perempuan perkosaan sangat mendambakan adanya keadilan, karena keadilan itu saja yang memberikannya semangat hidup. Tanpanya, kasus-kasus seperti Amina bukan tidak mungkin akan terjadi sampai kapanpun adat dan kebiasaan ini masih diperlakukan.

Lalu pertanyaannya, mengapa Hakim tidak mengambil keputusan yang lebih memberikan rasa keadilan kepada perempuan? Tentu beragam faktor yang melatarinya dan kita semua berhadap agar setiap pemimpin, pengambil kebijakan, hakim, dan para pemangku kewajiban yang telah diberikan amanah oleh rakyatnya dapat menjadikan kasus Amina sebagai pelajaran berharga. Betapa perempuan bukanlah makhluk kelas dua yang harus diposisikan laiknya hamba sahaya, tetapi mereka adalah induk umat manusia yang di bawah kakinya terdapat surga. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun