Mohon tunggu...
Muhammad Hafidh Sabillah
Muhammad Hafidh Sabillah Mohon Tunggu... Desainer - Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah

Seorang yang ingin mengabadikan apa yang ia tau dari pengalaman maupun bacaan

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Opini Seputar Ramadan #1, Penetapan Satu Ramadan

13 April 2021   09:01 Diperbarui: 13 April 2021   13:37 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat allah subhanahu wa ta'ala atas nikmat sehat wal afiat sehingga kita masih dipertemukan pada bulan suci ramadhan. Sebagaimana keinginan kita untuk bertemu nya pada ramadhan tahun lalu.

Sebelum di lanjut, ada sedikit disclaimer bahwa semua opini yang ditulis berdasarkan hal hal yang pernah dibaca, didengar, dan dipahami oleh penulis. Maka ada kemungkinan informasi yang disampaikan kurang tepat ataupun salah. Untuk itu, jika ada hal hal tersebut mohon dimaafkan dan besar harapan jika pembaca berkenan untuk menyampaikan perbaikan terhadap kesalahan tersebut dikolom komentar.

Balik lagi kepada bahasan opini kali ini terkait tentang penetapan satu ramadhan. Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk menetapkan perubahan bulan pada bulan bulan hijriyah. Yaitu  dengan rukyatul hilal dan Hisab. Pemerintah sebagai ulil amri diperbolehkan menjadikan salah satu cara untuk menetapkan penetapan awal bulan hijriyyah.

Rukyatul hilal adalah salah satu cara yang banyak digunakan untuk menetapkan awal bulan hijriyyah, pemerintah Indonesia lewat kementrian agama menggunakan cara ini sebagai penetapan awal bulan hijriyyah termasuk pada bulan ramadhan sebagaimana pendapat Jumhur madzhahib (mayoritas imam madzhab selain madzhab Syafi'iyah). Cara penetapan dengan rukyatul hilal sendiri sesuai dengan hadist muttafaqun alaihi:

"Berpuasalah kalian pada saat kalian telah melihatnya (bulan), dan berbukalah kalian juga di saat telah melihatnya (hilal bulan Syawal) Dan apabila tertutup mendung bagi kalian maka genapkanlah bulan Sya'ban menjadi 30 hari." (HR. Bukhari: 1776 dan Imam Muslim 5/354)

Dari redaksi hadits tersebut jelas bahwa rasulullah menganjurkan kita memulai puasa dengan cara melihat bulan (Rukyatul Hilal). Begitu juga dengan penetapan awal bulan syawwal. Hal terkait dengan cara ini dikuatkan dengan sejarah yang juga termasuk kedalam hadist nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam yang diriwayatkan oleh Abu Daud 286/6 yang menceritakan seorang badui yang datang ke Rasulullah sambil berkata; "Sesungguhnya aku telah melihat hilal". (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud sang badui yaitu hilal Ramadhan). Rasulullah SAW bersabda: Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah? Dia berkata: Benar. Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata: Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah? Dia berkata: Ya benar. Kemudian Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berpuasa besok."

Cara selanjutnya adalah dengan hisab, hisab sendiri adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada bulan hijriyyah. Dalam dunia pendidikan islam, hisab dikenal dengan ilmu falak (Astronomi). Ilmu falak sendiri mempelajari tentang cara memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa berdasarkan dengan dasar sunnah dan atsar para sahabat tidak diragukan lagi bahwa penetapan awal bulan ramadhan tidak bisa hanya dengan bersandar dengan hisab. menuturnya orang yang bersandar kepada hisab telah menyimpang dari syariat dan berbuat kebid'ahan  dalam agama. Karena ulama hisab telah mengetahui bahwa rukyat tidak dapat digantikan dengan perkara hisab. karena hilal berbeda beda sesuai dengan perbedaan ketinggian dan kerendahan suatu tempat.

Dalil mengenai hisab sendiri ada pada surat Araahman ; 55/5 : yang artinya "matahari dan bulan beredar menurut perhitungan" dan juga pada Surat Yunus;10/5 yang artinya "Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat orbit) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)". Dalam bidang fiqh yang menyangkun penetuan waktu waktu ibadah, hisab digunakan untuk; [1] penentuan waktu sholat, [2] waktu puasa, [3] waktu idul fitri, [4] waktu haji, dan [5] waktu terjadinya gerhana supaya dapat menyiapkannya. Selain itu penggunaan hisab juga dibahas pada hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim yang artinya; " Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah [HR al-Bukhari dan lafal di atas adalah lafalnya, dan juga diriwayatkan Muslim]. Dan juga hadits yang menggambarkan tentang keadaan umat islam yang saat itu masih ummi

"Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari" [HR al-Bukhari dan Muslim].

Dijelaskan pada buku pedoman Hisab yang di buat oleh lembaga tarjih Muhammadiyyah tentang Cara memahami dalil dalil mengenai hisab (Wajh al Istidlal- nya) pada dalil al qur'an dan hadits. Dua dalil al qur'an pada surat arrahman; 55/ 5 dan juga pada surat Yunus;10/5 allah menegaskan bahwa benda benda langit seperti matahari dan bulan beredar pada orbitnya dengan hukum hukum yang pasti yang sesuai dengan ketentuan -- nya. Oleh karenanya hal tersebut bisa di hitung (Hisab) secara tepat. 

Penegasan kedua ayat ini tidak sekedar pernyataan informatif belaka, karena dapat dihitung dan diprediksinya peredaran bendabenda langit itu, khususnya matahari dan Bulan, bisa diketahui manusia sekalipun tanpa informasi samawi. Penegasan itu justru merupakan pernyataan imperatif yang memerintahkan untuk memperhatikan dan mempelajari gerak dan peredaran bendabenda langit itu yang akan membawa banyak kegunaan seperti untuk meresapi keagungan Penciptanya, dan untuk kegunaan praktis bagi manusia sendiri antara lain untuk dapat menyusun suatu sistem pengorganisasian waktu yang baik seperti dengan tegas dinyatakan oleh ayat 5 surat Yunus.

Dan pada kedua hadits juga dijelaskan bahwasanya pada zaman nabi dan para sahabatnya tidak menggunakan hisab untuk penentuan awal bulan hijriyyah. Melainkan ditetapkan dengan rukhyatul hilal seperti hadits diatas. Di hadits tersebut bukhari muslim pada paraghraf sebelumnya dijelaskan terdapat illat (Kausa hukum) yaitu pada keadaan umat yang dijelaskan pada haditsnya (Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi ...). keadaan ummi disini dapat berarti belum bisa menguasai baca tulis dan ilmu astronomi. Hal tersebut menyebabkan tidak memungkinkan melakukan penentuan awal bulan hijryyah dengan hisab seperti isyarat yang ingin dikehendaki oleh alqur'an surat arrahman dan yunus diatas. Hal tersebut sesuai dengan kaidah fiqh "Hukum yang berlaku menurut adanya illat dan sebabnya" Maka ketika Illat -- nya sudah tidak berlaku hukumnya pun tidak berlaku lagi. Artinya ketika keadaan sekarang ummi sudah terhapus karena baca tulis sudah berkembang dan pengetahuan tentang hisab sudah maju maka hukum tersebut tidak berlaku karena illatnya telah hilang.

Dan penggunaan hisab adalah salah satu dari pengembangan ilmu pengetahuan yang mana hal ini merupakan salah satu misi dari alqur'an untuk mencerdaskan umat  manusia dan misi ini merupakan tugas yang diemban oleh nabi muhammad dalam berdakwah. Sebagaimana firman allah subhanahu wa ta'ala

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang ummi seorang rasul yang berasal dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan kebijaksanaan. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata [al-Jumu'ah (62): 2].

Jadi singkatnya penetapan bulan ramadhan atau bulan bulan hijriyyah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan rukyatul hilal dan hisab. keduanya punya dalil yang kuat dalam pelaksanaanya. Baik secara tekstual maupun konseptualnnya. Dan kita sah jika ingin mengikuti salah satu dari keduanya jika terdapat perbedaan. Sesuai anjuran dari al qur'an surat al anbiya ;21/ ayat 7 untuk mengikuti para ahli.

"dan kami tidak mengutus (rasul -- rasul) sebelum engkau (Muhammad) melainkan beberapa orang laki laki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah kepada orang orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.

Dan tentunya sudah sangat jelas pada keduanya bahwa kedua cara itu telah sesuai dengan ijtihad para ahli ilmu yang disesuaikan dengan berbagai aspek.

Sumber

Almanhaj

Pedoman Hisab Muhammadiyah yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 2009, yang didapat dari link;

Tajrih Muhammadiyah

Taufiq Net

Ms Aceh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun