Mohon tunggu...
Muhammad Hafidh Sabillah
Muhammad Hafidh Sabillah Mohon Tunggu... Desainer - Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah

Seorang yang ingin mengabadikan apa yang ia tau dari pengalaman maupun bacaan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hakikat Manusia sebagai Makhluk Sempurna

28 Januari 2021   12:53 Diperbarui: 28 Januari 2021   13:00 4075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Allah Subhanahu Wa Taala menciptakan manusia dengan segala bentuk kesempurnaan yang ia miliki. Di awal di jelaskan, bahwa manusia adalah makhluk yang di berikan akal. Sehingga dengan akal tersebut mereka akan berfikir, Yang dengan berfikir manusia mengajukan pertanyaan serta dapat memecahkan masalah. Dan dengan adanya akal, manusia berbeda dengan makhluk makhluk allah yag lain.

Dalam islam, manusia di dorong untuk terus memanfaatkan apa yang ia telah allah berikan. Penggunaan potensi yang seimbang, akan membawa manusia ke drajat yang mulia. Karena jika akal yang di milikinya berlebih, akal tersebut akan mendorong manusia pada kemajuan materiil yang hebat. Namun memiliki kekosongan dalam hal ruhiyyah.[1] (Maria, 2015) 

Dalam Al Qur’an kata manusia memiliki banyak arti dalam bahasa arab yaitu; Insan, An Nas, Basyar[2] (Hidayatullah, 2015). Masing masing dari kata terebut mempunyai arti yang berbeda beda secara maknawi, 

Al-Basyar adalah gambaran manusia secara materi, yang dapat dilihat, memakan sesuatu, berjalan, dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya. Manusia dalam pengertian ini terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak sekitar 35 kali di berbagai surah.

Kata al-ins atau al-insan disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 65 kali, kata al-ins senantiasa dipertentangkan dengan al-jinn (jin), yakni sejenis makhluk halus yang tidak bersifat materi yang hidup diluar alam manusia, dan tidak tunduk kepada hukum alam kehidupan manusia sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an sebagai makhluk diciptakan dari api. Makhluk yang membangkang tatkala diperintahkan untuk bersujud kepada Adam.

Kata al-insan bukan berarti basyar dan bukan juga dalam pengertian al-ins. Dalam pemakaian Al-Qur’an, mengandung pengertian makhluk mukallaf (yang dibebani tanggung jawab) mengemban amanah Allah untuk menjadi khalifah dalam rangka memakmurkan bumi. Al-insan sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Alaq adalah mengandung pengertian sebagai makhluk yang diciptakan dari segumpal darah, makhluk yang mulia sebab memiliki ilmu, dan makhluk yang melampaui batas karena telah merasa puas dengan apa yang ia miliki.[3]

Potensi manusia menurut konsep al-Insan diarahkan pada upaya mendorong manusia untuk berkreasi dan berinovasi (Jalaluddin, 2003: 23). Jelas sekali bahwa  dari kreativitasnya, manusia dapat menghasilkan sejumlah kegiatan berupa pemikiran (ilmu pengetahuan), kesenian, ataupun benda-benda ciptaan. Kemudian melalui kemampuan berinovasi, manusia mampu merekayasa temuan-temuan baru dalam berbagai bidang. Dengan demikian manusia dapat menjadikan dirinya makhluk yang berbudaya dan berperadaban.Sementara itu, kata insan terambil dari

kata ins yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Musa Asy’arie menambahkan bahwa kata insan berasal dari tiga kata: anasa yang berarti melihat, meminta izin, dan mengetahui; nasiya yang berarti lupa; dan al-uns yang berarti jinak. Menurut M. Quraish Shihab, makna jinak, harmonis, dan tampak lebih tepat daripada pendapat yang mengatakan bahwa kata insan terambil dari kata nasiya (lupa) dan kata naasa-yanuusu (berguncang). Dalam Al-Qur’an, kata insaan disebut sebanyak 65 kali. Kata insaan digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Bahkan, lebih jauh Bintusy Syathi’ menegaskan bahwa makna kata insaan inilah yang membawa manusia sampai pada derajat yang membuatnya pantas menjadi khalifah di muka bumi, menerima beban takliif dan amanat kekuasaan.

Dalam konsep an-naas pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial (Jalaluddin, 2003: 24). Tentunya sebagai makhluk sosial manusia harus mengutamakan keharmonisan bermasyarakat. Manusia harus hidup sosial artinya tidak boleh sendiri-sendiri Karena manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain di sekitarnya. Jika kita kembali ke asal mula terjadinya manusia yang bermula dari pasangan laki-laki dan wanita (Adam dan Hawa), dan berkembang menjadi masyarakat dengan kata lain adanya pengakuan terhadap spesis di dunia ini, menunjukkan bahwa manusia harus hidup bersaudara dan tidak boleh saling menjatuhkan. Secara sederhana, inilah sebenarnya fungsi manusia dalam konsep an-naas.

Perbedaan Hakikat Manusia antara Filsafat Barat dan Islam

            Ilmu filsafat adalah pengetahuan yang sangat luas. Memandang sesuatu dengan pandangan umum dan menyeluruh. Tentunya ilmu filsafat ini meluas ke berbagai bidang kehidupan. Mendefinisikan berbagai hal hal secara luas, termasuk definisi tentang manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun