Mohon tunggu...
MUHAMMAD HAFID BACHTIAR
MUHAMMAD HAFID BACHTIAR Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA D3-KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 2021

🎗Trying to be what it is 🎗Simple but significant

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Budaya Gotong Royong Masyarakat dalam Perubahan Sosial Saat Ini

20 Juni 2022   17:44 Diperbarui: 20 Juni 2022   18:39 1722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Artikel ini menguraikan tiga masalah. Pertama, pembahasan tentang gotong royong sebagai rasa Pancasila. Diskusi ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan yang sering muncul di masyarakat tentang bagaimana  Pancasila dapat diterapkan dalam interaksi sosial  sehari-hari. Salah satu pengamalan Pancasila dalam hubungan sosial kehidupan masyarakat adalah nilai gotong royong dan  modal sosial. 

Pernyataan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa budaya gotong royong sebagai  nilai moral memiliki akar filosofis dalam penelitian akademis. 

Budaya gotong royong terbukti menambah nilai modal sosial yang dibutuhkan untuk kemajuan dan kesejahteraan sosial. Ketiga, kita akan mengkaji secara singkat status interaksi sosial dalam masyarakat saat ini. 

Fokus perdebatan adalah masyarakat akhir-akhir ini  mengalami gejolak sosial karena tetap mempertahankan semangat dan nilai gotong royong dalam pergaulan. 

Terakhir, membahas apa yang perlu dilakukan untuk memperkuat budaya gotong royong sebagai modal sosial untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Gotong-Royong sebagai Perasaan Pancasila

Pancasila patut dicatat ketika para pemimpin nasional sedang meletakkan dasar untuk Indonesia merdeka dari catatan sejarah era kemerdekaan Indonesia yang  lahir melalui proses demokrasi partisipatif  musyawarah dan mufakat.

Ada pelajaran penting. Risalah rapat 67 anggota Badan Pemeriksa Persiapan Independen (BPUPK)  dapat dijadikan acuan bagaimana demokrasi partisipatif bekerja. BPUPK resmi dibentuk pada tanggal 29 April 1945. Waktu sidang pertama berlangsung. Dari tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945, sidang kedua berlangsung dari tanggal 10 sampai 17 Juli 1945. 

Dalam sambutan pembukaan sidang pertama, Ketua BPUPK Dr. Radjiman bertanya kepada seluruh peserta sidang, "Apa dasar Indonesia merdeka?" Pertanyaan ini menjadi inti dari pidato yang akan disiapkan dan disampaikan oleh seluruh peserta sidang dari tanggal 29 Mei sampai dengan  1  Juni 1945. 

Sejak hari pertama, anggota BPUPK  secara terbuka mengungkapkan ide, gagasan, dan pandangannya tentang pembentukan Indonesia yang merdeka. Namun tidak semua peserta memberikan orasi. Beberapa pengirim tidak dapat menemukan naskah aslinya. 

Dari pidato-pidato para peserta dalam sesi tersebut, konsep dasar, gagasan dan pandangan tentang Indonesia merdeka dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu: dasar kebangsaan, dasar keislaman, dan dasar Jiwa Asia Timur Raya.

Ada juga anggota Supomo yang menganjurkan gagasan integralisme dalam pidato-nya. Supomo berkata: 

 “Menurut ideologi integralisme, negara harus menjamin kepentingan seluruh masyarakat, bukan kepentingan satu atau kelompok. Negara adalah struktur masyarakat yang esensial, semua kelompok, semua bagian. , Semua anggotanya terkait erat  dan membentuk kesatuan masyarakat yang organis. Yang terpenting dalam suatu negara berdasarkan mazhab terpadu adalah penghidupan seluruh negara. Bangsa yang terkuat atau tidak mendukung kelompok terbesar dan tidak menganggap kepentingannya sendiri sebagai fokus, tetapi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan, menjamin keselamatan hidup di seluruh negeri. Ada dua anggota BPUPK, Susanto Tirtodirodjo dan Supomo, dalam mengkomunikasikan ide dasar Indonesia merdeka. 

Dalam pidatonya, mereka secara tegas  menolak gagasan liberalisme dan sistem demokrasi Barat. Alasan penolakan mereka adalah:  “Liberalisme  yang diterapkan di Eropa Barat adalah individu. Kepribadian ini dalam semua bidang kehidupan (sistem hukum, ekonomi, dll.) memisahkan seseorang sebagai pribadi dari masyarakatnya dan dirinya sendiri dari semua badan lain. Mengisolasi diri sendiri. Orang dan bangsa adalah juga dianggap manusia dan  selalu mencari cara untuk merampas kekuasaan dan kekayaan mereka, yang semuanya menciptakan sistem yang mengeksploitasi liberalisme kekaisaran dan dunia  dan menyebabkan kekacauan di dalam dan luar negeri.

Anggota BPUPK memberikan pidato dan menyarankan beberapa ide dasar untuk kemerdekaan Indonesia, tetapi sekarang siapa pun yang secara sistematis mengajukan gagasan dan memberikan jawaban atas dasar pemikiran No Indonesia Merdeka Datang ke persidangan pada tanggal 1 Juni 1945, Skalno memiliki kesempatan terakhir untuk mempresentasikan gagasannya. 

Dalam sambutannya, Sukarno mengatakan dia memberikan jawaban yang jelas atas pertanyaan apa yang menjadi dasar kemerdekaan Indonesia. Di awal pidato, Sukarno menyatakan bahwa tidak ada anggota dalam pidato sebelum  1 Juni, dan menjawab pertanyaan ketua BPUPK secara sistematis dan kontroversial. 

Apa dasar kemerdekaan Indonesia? Selain menanggapi dan mengkritisi pidato-pidato peserta sidang, Sukarno juga mengemukakan konsep dan gagasan dasar bangsa Indonesia merdeka, Pancasila. Pidato ini kemudian disepakati sebagai lahirnya Pancasila. Menurut Mohammad Hatta, pidato Sukarno adalah kompromi untuk menghilangkan kontradiksi yang meningkat antara ide-ide negara Islam dan  peserta sidang yang menginginkan berdirinya negara sekuler tanpa karakteristik agama, dimaksudkan untuk berbeda sifatnya.

 Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara yang gotong royong. "Gotong royong" adalah konsep yang dinamis, saudara dan saudari yang lebih dinamis daripada "keluarga"! Keluarga adalah istilah yang statis, tetapi gotong royong adalah singkatan dari pekerjaan yang disebut oleh bisnis, amal, dan anggota bergengsi Soekardjo:  karyo,  gawe! Gotong royong bekerja bersama, berkeringat bersama, dan berjuang untuk membantu bersama. Semua amal bermanfaat bagi semua orang, dan semua keringat membantu semua kebahagiaan.

Gotong-Royong sebagai Modal Sosial

Gotong royong merupakan budaya yang  tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia sebagai warisan budaya yang telah ada secara turun temurun. 

Gotong royong adalah suatu bentuk  kelompok masyarakat yang bekerja sama untuk mencapai  hasil positif dari tujuan yang  dicapai melalui musyawarah dan mufakat. 

Gotong-royong muncul dari peningkatan kesadaran, kesadaran dan semangat untuk bekerja dan menghasilkan pekerjaan Anda tanpa memikirkan atau mengutamakan kepentingan Anda sendiri. 

Kebahagiaan, seperti arti kata "gotong". Setiap anggota membagikan karyanya dan menerima bagiannya, tergantung pada lokasi dan jenis kontribusi dari masing-masing karyanya, sebagaimana diringkas oleh kata "Royong". 

Oleh karena itu, siapa pun yang menganut prinsip dan memahami semangat gotong royong bersedia secara sadar  melepaskan keegoisan. Gotong royong harus dilandasi oleh semangat kejujuran, motivasi, persatuan, toleransi dan kepercayaan. Pendek kata, gotong royong lebih esensial, yaitu interaksi sosial yang berlatar belakang manfaat atau imbalan non-ekonomi.

 Gotong royong adalah ideologi dinamis yang menggambarkan usaha bersama,  amal, kerja atau kerja bersama, dan perjuangan tolong-menolong. Gotong royong adalah amal untuk semua, atau upaya untuk kepentingan umum untuk semua, untuk kepentingan semua.

Prinsip gotong royong telah menemukan kesadaran kerja, termasuk kesadaran jiwa, kesadaran, dan sikap  untuk bekerja sama secara mental dan fisik, atau menempatkan dan menghormati pekerjaan sebagai pelengkap dan dekorasi kehidupan. 

Dengan perkembangan kehidupan dan sistem penghidupan Indonesia yang modern, gotong royong yang pada dasarnya merupakan asas kehidupan dan penghidupan Indonesia  yang sesungguhnya dalam  masyarakat yang sederhana, telah bersemi dalam Pancasila. Asas Gotong Royong tertanam dalam substansi nilai-nilai Ketuhanan, musyawarah dan mufakat, kekeluargaan, keadilan dan toleransi (kemanusiaan). 

Inilah yang menjadi dasar pandangan hidup atau falsafah negara Indonesia. Melihat prinsip-prinsip yang terkandung dalam gotong royong, jelas bahwa modal sosial memiliki beberapa aspek. 

Modal sosial secara konseptual dicirikan oleh kesediaan seorang individu untuk mengutamakan suatu kepentingan bersama. Mempromosikan persiapan (pengetahuan dan kesadaran) untuk mengembangkan energi kumulatif yang mengarah pada pencapaian, termasuk nilai modal sosial.

Dokpri
Dokpri

Situasi Masyarakat Kontemporer dan Budaya Gotong-Royong

Saat ini, interaksi sosial masyarakat Indonesia dapat digambarkan sebagai situasi gejolak sosial. Gejolak sosial inilah yang digunakan Durkheim untuk menjelaskan keadaan hubungan bersama atau individu di mana konsensus melemah, nilai dan tujuan bersama berkurang, norma dan kerangka moral hilang secara kolektif dan individual, mirip dengan konsep anonimitas. 

Hal ini terjadi karena perubahan sosial terjadi sangat cepat dan terjadi kerancuan nilai. Dalam konteks Indonesia, perubahan sosial yang terkait dengan reformasi yang tidak terencana (dalam waktu singkat) telah memulai nilai-nilai kuno yang  menjadi pedoman dan acuan hubungan sosial yang dilandasi semangat dan nilai gotong royong. 

Di sisi lain, nilai-nilai baru yang berkembang pada masa reformasi masih lemah dan tidak dapat dijadikan bahan acuan atau pedoman. Baru-baru ini, nilai-nilai baru telah muncul dalam hubungan sosial, yang mengarah pada pengutamaan kebebasan. 

Hubungan sosial cenderung bercampur dengan kualitas yang lebih individualistis dan materialistis. Ada juga bukti bahwa hubungan sosial meniadakan nilai-nilai persatuan, moralitas, etika, dan toleransi.

Hubungan sosial yang esensial, yaitu hubungan di mana imbalan tidak dimotivasi secara ekonomi, menjadi hubungan eksternal, dan imbalan sering dimotivasi oleh kepentingan ekonomi (nilai materialistik). Mengapa rasa arah nilai hilang? Tentu saja, seiring dengan perubahan sosial,  banyak faktor yang mempengaruhi proses terganggunya nilai-nilai tersebut. 

Modernisasi yang terjadi di berbagai bidang kehidupan selama beberapa dekade tentunya turut andil dalam hal ini. Namun, banyak pengamat menduga bahwa gejolak nilai mungkin disebabkan oleh pengaruh ideologi asing yang terkait erat dengan globalisasi dan liberalisasi ekonomi. 

Gotong royong tampaknya hanya berfungsi sebagai simbol. Sering dibicarakan, tidak sering dipraktikkan dalam konteks sosial kehidupan masyarakat. Dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan kehidupan modern, bahkan ada upaya untuk menghilangkannya.

Apa yang Perlu Dilakukan ke Depan?

Perubahan bisa  tiba-tiba dan tidak terduga. Memang ada masyarakat yang terus mengharapkan pemerintah (penguasa), bangsa dan elit politik berbenah untuk masa depan negara. 

Namun, akhir-akhir ini negara semakin tidak berdaya (lumpuh) di bawah pengaruh kekuatan asing. Kontrol kekuatan ekonomi dan politik  melemah. 

Akibatnya, tatanan politik nasional dan lokal tampak tidak berdaya menghadapi tuntutan sosial yang  tidak terduga dan tidak terarah sejak liberalisme memasuki kehidupan politik. Keragaman kepentingan masyarakat yang  menuntut persamaan hak, keadilan, dan partisipasi  aktif dalam berbagai aspek kehidupan, belum tersalurkan. 

Lembaga (Partai) sebagai wadah masyarakat untuk menyalurkan aspirasi dan memperjuangkan perbaikan nasib dan kesetaraan  belum berfungsi sebagaimana yang diharapkan. 

Para elit seringkali menggunakan kekuasaan sebagai alat untuk memperjuangkan keuntungan finansial individu atau kelompok, daripada mengekspresikan dan memperjuangkan kepentingan orang banyak untuk mencapai peningkatan kesejahteraan. 

Dalam situasi seperti itu, gotong royong jarang ditanya tentang membangun rasa persatuan dalam ranah kehidupan. Bahkan para pemimpin dan elit ragu-ragu menyebut gotong royong dan pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa.

Ada banyak instansi daerah yang dapat digunakan untuk memperkuat budaya gotong royong, seperti  Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Dusun, Desa, Dewan Desa, (BPD). Lembaga-lembaga formal di daerah-daerah tersebut seharusnya memperkuat peran mereka dalam pembangunan masyarakat lokal. Melalui lembaga-lembaga lokal tersebut, nilai modal sosial Gotong Royong dapat tumbuh dan  menjadi energi sosial dari gerakan  kohesi sosial. 

Selain lembaga formal lokal tersebut, lembaga informal juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan budaya gotong royong yang sudah ada di masyarakat. Misalnya, Java memiliki institusi untuk Splice, Alisan, dan Jinpitan. Marc memiliki tradisi Peragadon. Tapanuli memiliki adat Dalihan Na Tolu. Minasaha memiliki Mapulse. Bali memiliki Seka, Banjar, dan seluruh suku bangsa di Nusantara ini, serta memiliki sistem sosial informal yang  menerapkan nilai-nilai gotong royong dan demokrasi dengan musyawarah dengan mufakat.

Untuk mencapai hal tersebut, kita perlu menciptakan suasana sosial yang membuka peluang untuk memperkuat budaya gotong royong. Salah satu upaya yang dapat meningkatkan kapasitas (capacity development) dengan mengedepankan kemandirian masyarakat yang partisipatif (demokratis) melalui adanya otonomi masyarakat (kemandirian), pemberdayaan dan pembelajaran sosial dalam pengambilan keputusan adalah salah satunya. Prosesnya ditekankan. 

Hal ini dapat diartikan sebagai upaya sistematis terencana untuk memberdayakan masyarakat (kota) untuk memberdayakan dan menentukan demokrasi partisipatif. Menjadi. Intervensi eksternal harus menyesuaikan dengan situasi dan keadaan masyarakat. Rasa persatuan, pemeliharaan moral/etika, integritas dan rasa saling percaya sebagai pintu gerbang penguatan (menghidupkan kembali) budaya gotong royong.

DATA PUSTAKA

A.B. Kusuma. 2004. Lahirnya Undang-undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha-Oesaha Persiapan Kemerdekaan. Jakarta:Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.(https://jurnal.ugm.ac.id/jps/article/view/23403/pdf)

Arrow, Kenneth.J. 2000, “Observation on Social Capital”, dalam Dasgupta, Parta dan Serageldin, Ismail, Social Capital: Multifaceted Perspective. Washington DC: The World Bank.(https://jurnal.ugm.ac.id/jps/article/view/23403/pdf).

Jary, David dan Jary, Yulia, 1991, Dictionary of Sosiology, Glasgow, Harper Collin Publisher, hal.22-23.(https://jurnal.ugm.ac.id/jps/article/view/23403/pdf).

Kompas, 2013, Pengaruh Asing Makin Meluas, Minggu 19 Mei 2013, hal. 1.(https://jurnal.ugm.ac.id/jps/article/view/23403/pdf)

Tumenggung, Adeline May. 2005. “Kebudayaan (para) Konsumen”, dalam Muji Sutrisno dan Hendar Putranto (penyunting), Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 257-270.(https://jurnal.ugm.ac.id/jps/article/view/23403/pdf).

Veeger, K.J. 1985. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia.(https://jurnal.ugm.ac.id/jps/article/view/23403/pdf).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun