Kebahagiaan, seperti arti kata "gotong". Setiap anggota membagikan karyanya dan menerima bagiannya, tergantung pada lokasi dan jenis kontribusi dari masing-masing karyanya, sebagaimana diringkas oleh kata "Royong".Â
Oleh karena itu, siapa pun yang menganut prinsip dan memahami semangat gotong royong bersedia secara sadar  melepaskan keegoisan. Gotong royong harus dilandasi oleh semangat kejujuran, motivasi, persatuan, toleransi dan kepercayaan. Pendek kata, gotong royong lebih esensial, yaitu interaksi sosial yang berlatar belakang manfaat atau imbalan non-ekonomi.
 Gotong royong adalah ideologi dinamis yang menggambarkan usaha bersama,  amal, kerja atau kerja bersama, dan perjuangan tolong-menolong. Gotong royong adalah amal untuk semua, atau upaya untuk kepentingan umum untuk semua, untuk kepentingan semua.
Prinsip gotong royong telah menemukan kesadaran kerja, termasuk kesadaran jiwa, kesadaran, dan sikap  untuk bekerja sama secara mental dan fisik, atau menempatkan dan menghormati pekerjaan sebagai pelengkap dan dekorasi kehidupan.Â
Dengan perkembangan kehidupan dan sistem penghidupan Indonesia yang modern, gotong royong yang pada dasarnya merupakan asas kehidupan dan penghidupan Indonesia  yang sesungguhnya dalam  masyarakat yang sederhana, telah bersemi dalam Pancasila. Asas Gotong Royong tertanam dalam substansi nilai-nilai Ketuhanan, musyawarah dan mufakat, kekeluargaan, keadilan dan toleransi (kemanusiaan).Â
Inilah yang menjadi dasar pandangan hidup atau falsafah negara Indonesia. Melihat prinsip-prinsip yang terkandung dalam gotong royong, jelas bahwa modal sosial memiliki beberapa aspek.Â
Modal sosial secara konseptual dicirikan oleh kesediaan seorang individu untuk mengutamakan suatu kepentingan bersama. Mempromosikan persiapan (pengetahuan dan kesadaran) untuk mengembangkan energi kumulatif yang mengarah pada pencapaian, termasuk nilai modal sosial.
Situasi Masyarakat Kontemporer dan Budaya Gotong-Royong
Saat ini, interaksi sosial masyarakat Indonesia dapat digambarkan sebagai situasi gejolak sosial. Gejolak sosial inilah yang digunakan Durkheim untuk menjelaskan keadaan hubungan bersama atau individu di mana konsensus melemah, nilai dan tujuan bersama berkurang, norma dan kerangka moral hilang secara kolektif dan individual, mirip dengan konsep anonimitas.Â
Hal ini terjadi karena perubahan sosial terjadi sangat cepat dan terjadi kerancuan nilai. Dalam konteks Indonesia, perubahan sosial yang terkait dengan reformasi yang tidak terencana (dalam waktu singkat) telah memulai nilai-nilai kuno yang  menjadi pedoman dan acuan hubungan sosial yang dilandasi semangat dan nilai gotong royong.Â