Pesantren sebagai institusi ilmu keagamaan tertua di Nusantara, sedari awal berdirinya membawa misi mencetak insan-insan yang berpengetahuan luas dengan berlandaskan akidah Ahlusunah wal Jama'ah. Salah satu instrumen fundamental yang digunakan pesantren dalam mencetak generasi yang demikian ialah menggembleng para santri dengan berbagai ajaran keagamaan serta ilmu pengetahuan umum untuk meluaskan spektrum berpikir santri.
Namun, dalam taraf perkembangan lebih lanjut, pesantren kian akomodatif dengan dinamika zaman tanpa menghilangkan substansi ajarannya yang paling fundamental (keagamaan). Pada titik ini, pesantren telah membuka ruang bagi para santri untuk mencerna berbagai transfer ilmu pengetahuan. Sehingga, tidak hanya kitab-kitab klasik saja yang dijadikan medium pembelajaran. Akan tetapi, buku-buku yang mencakup berbagai disiplin ilmu pengetahuan pun juga mewarnai jagat literatur pesantren.
Realitas yang demikian telah mengantarkan kondisi santri yang begitu getol bergelut dengan dunia literasi. Salah satunya dengan aktivitas membaca buku apa saja yang sekiranya bisa untuk memperluas spektrum berpikir. Bagi kehidupan santri, eksistensi buku-buku menjadi makanan pokok yang wajib dibaca sebagai suplemen gizi batin. Tak peduli buku dari berbagai jenis kategori pun dilahap. Seolah buku menjelma bak kekasih yang bisa membuka cakrawala cinta yang cerdas.
Relasi santri dengan aktivitas membaca pun terjalin begitu intim. Buku-buku menjadi teman bercakap yang bisa mengisi waktu senggang mereka. Inilah salah satu bentuk implementasi konkret dari ajaran untuk menghargai waktu. Semuanya harus diisi dengan aktivitas yang bersifat edukatif. Dan, aktivitas membaca termasuk salah satu dari sekian banyak kegiatan edukatif yang ditekuni. Dari kebiasaan membaca inilah yang pada akhirnya pesantren menjadi ladang gembur tumbuh suburnya kader-kader penulis yang produktif.
Beberapa tahun terakhir nama-nama penulis berlatar pesantren mulai menyeruak ke permukaan, mewarnai jagat literatur nasional. Memberi sumbangsih tersendiri dalam pergumulan ide dan imajinasi publik. Banyak tulisan mereka dari berbagai jenis kategori berhasil berkibar di media massa cetak maupun Online. Mereka telah benar-benar memanfaatkan eksistensi media massa sebagai ruang mengasah kreativitas.
Nama pesantren pun kian tenar tidak hanya sebagai pencetak seorang alim ilmu agama, tapi dengan sendirinya masyhur memproduksi penulis-penulis berskala nasional. Dari generasi 1980-an kita lihat, D Zawawi Imron, Ahmad Tohari, A Mustofa Bisri, Taufiq Ismail, dan Emha Ainun Nadjib. Ke semuanya merupakan representasi penulis berlatar pesantren yang kapasitas keilmuannya sudah tidak bisa disangkal lagi.
Lahirnya penulis-penulis berlatar pesantren dengan kekhasan di setiap karyanya merupakan angin segar bagi kita. Biar bagaimanapun pesantren seolah menjadi tempat bagi persemaian para penulis berbakat. Alih-alih sambil belajar ilmu agama, justru tidak menampik diri pada geliat kegiatan sawala ilmiah dan sastra. Di bilik-bilik maupun di serambi-serambi pesantren kini menjadi tempat di mana forum-forum dan komunitas diskusi berpendar secara masif.
Melalui diskusi kecil-kecilan inilah pemuliaan adab literasi kian menemukan momentumnya. Ia hendak menjadi wadah yang bersedia menuntun ke arah pemajuan selebrasi gairah literer. Di mana pertukaran ide mengalir begitu saja sebagai manifestasi dari kebebasan berekspresi. Hingga, memunculkan perspektif baru yang bisa membidani proses kreatif menulis.
Selain diskusi, sepi menjadi suasana ampuh melahirkan sebuah karya. Di sudut-sudut pesantren pada waktu malam, kita akan bertemu dengan segelintir santri yang menaruh loyalitas pada sepi. Bagi sebagian santri, dalam sepi terdapat eksistensi inspirasi yang beranak-pinak. Barangkali inilah salah satu proses kreatif menulis santri yang jarang diulik oleh publik. Selain itu, secara historis-genealogis gairah literasi pesantren yang tetap membuhul hingga kini tentu tidak bisa dilepaskan dari inspirasi masa lalu.
Inspirasi Masa Lalu untuk Masa Depan Literasi
Ada adagium tradisi kenabian yang mengajarkan "Ikatlah ilmu dengan tulisan." Adagium tersebut menjadi fundamen bagi para ulama masa silam untuk menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan. Para ulama sadar akan peribahasa latin yang berbunyi "Verba Volant, Scripta Manent," Ungkapan akan cepat menguap, sedangkan tulisan akan tetap mengabadi. Para ulama semisal Syaikh Nawawi al-Bantani, Imam al-Ghazali, dan Imam as-Syafi'ie memberikan ihwal kerja keabadian itu bagi kita.
Imam al- Ghazali misalnya, dengan nada yang menggebu seolah menyadarkan kita akan pentingnya semangat menumbuhkan jiwa literasi. Dirinya berujar, "Kalau kamu bukan anak raja, kalau kamu bukan anak pejabat, maka jadilah penulis". Demikianlah kata Ayyuha al- Walad, Imam al-Ghazali yang masih relevan untuk dikontekstiualisasikan hingga kini. Maka, menekuni dunia literasi bagi ulama masa silam semisal al-Ghazali merupakan puncak manifestasi hasrat yang tak tertangguhkan.
Mereka menghasilkan karya-karya fenomenal yang hingga kini masih tetap mengabadi. Kitab-kitab mereka dipelajari dan dikaji oleh generasi-generasi berikutnya sebagai sumber ilmu, rujukan mengolah iman, dan suluh mengimajinasikan bangsa. Meski mereka sudah tiada, namanya tetap diingat sebagai ulama yang produktif dalam menulis. Jihad mereka, jihad keabadian. Mereka telah bekerja melampaui jauh sebelum Pramoedya berucap, "Menulis adalah bekerja untuk keabadian." Itulah salah satu manifestasi ikhtiar ulama masa silam yang memberi sumbangsih terhadap literatur khazanah peradaban Islam.
Maka benar jika Azyumardi Azra suatu kali dalam perjumpaan intelektual Muslim mengatakan, "Peradaban Islam adalah peradaban buku-buku; jalan hidup Muslim dipandu buku; dan kita menemukan nilai hidup kita hanya dalam buku-buku. Tuhan kita termanifestasi dalam buku; dan identitas kita terbentuk oleh buku-buku. Jadi bagaimana bisa ada orang di antara kita yang merusak buku. Dan menjadi penghianat buku-buku."
Dengan menoleh ke geliat literasi ulama masa silam justru kian menumbuhkan eksplorasi imajinatif untuk lebih getol memajukan adab literasi. Pada titik ini santri telah berhasil mengafirmasi pepatah Yunani kuno "Historia Magistra Vitae". Sejarah adalah guru kehidupan. Dan, di dalam sejarah kita akan bertemu dengan mercusuar inspirasi yang berpendar relevan bagi masa depan. Termasuk inspirasi dari ulama masa silam.
Di era digital saat ini, pesantren masih tetap ajeg dengan geliat etos literasi. Para santri tetap nyaman menekuni laku literasi dengan tetap berpangku pada nilai-nilai kepesantrenan tanpa terpengaruh oleh gemuruh isu-isu provokatif yang bertebaran di media sosial. Seolah terjadi semacam pemuliaan terhadap adab literasi di pesantren. Dari literasi pesantren diharapkan mampu menjadi kiblat bagi pemajuan selebrasi adab literasi bangsa kita yang hampir terperosok ke tubir mengerikan kehancuran literasi yang menurut laporan Central Connectut State University (2016) menempati peringkat 60 dari 61 negara. Semoga.
Oleh : Muhammad Ghufron
Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H