Imam al- Ghazali misalnya, dengan nada yang menggebu seolah menyadarkan kita akan pentingnya semangat menumbuhkan jiwa literasi. Dirinya berujar, "Kalau kamu bukan anak raja, kalau kamu bukan anak pejabat, maka jadilah penulis". Demikianlah kata Ayyuha al- Walad, Imam al-Ghazali yang masih relevan untuk dikontekstiualisasikan hingga kini. Maka, menekuni dunia literasi bagi ulama masa silam semisal al-Ghazali merupakan puncak manifestasi hasrat yang tak tertangguhkan.
Mereka menghasilkan karya-karya fenomenal yang hingga kini masih tetap mengabadi. Kitab-kitab mereka dipelajari dan dikaji oleh generasi-generasi berikutnya sebagai sumber ilmu, rujukan mengolah iman, dan suluh mengimajinasikan bangsa. Meski mereka sudah tiada, namanya tetap diingat sebagai ulama yang produktif dalam menulis. Jihad mereka, jihad keabadian. Mereka telah bekerja melampaui jauh sebelum Pramoedya berucap, "Menulis adalah bekerja untuk keabadian." Itulah salah satu manifestasi ikhtiar ulama masa silam yang memberi sumbangsih terhadap literatur khazanah peradaban Islam.
Maka benar jika Azyumardi Azra suatu kali dalam perjumpaan intelektual Muslim mengatakan, "Peradaban Islam adalah peradaban buku-buku; jalan hidup Muslim dipandu buku; dan kita menemukan nilai hidup kita hanya dalam buku-buku. Tuhan kita termanifestasi dalam buku; dan identitas kita terbentuk oleh buku-buku. Jadi bagaimana bisa ada orang di antara kita yang merusak buku. Dan menjadi penghianat buku-buku."
Dengan menoleh ke geliat literasi ulama masa silam justru kian menumbuhkan eksplorasi imajinatif untuk lebih getol memajukan adab literasi. Pada titik ini santri telah berhasil mengafirmasi pepatah Yunani kuno "Historia Magistra Vitae". Sejarah adalah guru kehidupan. Dan, di dalam sejarah kita akan bertemu dengan mercusuar inspirasi yang berpendar relevan bagi masa depan. Termasuk inspirasi dari ulama masa silam.
Di era digital saat ini, pesantren masih tetap ajeg dengan geliat etos literasi. Para santri tetap nyaman menekuni laku literasi dengan tetap berpangku pada nilai-nilai kepesantrenan tanpa terpengaruh oleh gemuruh isu-isu provokatif yang bertebaran di media sosial. Seolah terjadi semacam pemuliaan terhadap adab literasi di pesantren. Dari literasi pesantren diharapkan mampu menjadi kiblat bagi pemajuan selebrasi adab literasi bangsa kita yang hampir terperosok ke tubir mengerikan kehancuran literasi yang menurut laporan Central Connectut State University (2016) menempati peringkat 60 dari 61 negara. Semoga.
Oleh : Muhammad Ghufron
Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H