Mohon tunggu...
MUHAMMAD GHAFARI
MUHAMMAD GHAFARI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penembakan Siswa oleh Oknum Polisi di Semarang

30 November 2024   17:03 Diperbarui: 30 November 2024   17:03 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kasus penembakan yang melibatkan seorang anggota kepolisian terhadap seorang

siswa di Semarang telah menyita perhatian publik. Kejadian ini bukan hanya

menimbulkan duka bagi keluarga korban, tetapi juga memunculkan berbagai

pertanyaan tentang prosedur penggunaan senjata api oleh aparat penegak hukum.

Kejadian ini menimbulkan kemarahan publik, terutama keluarga korban yang

menuntut keadilan. Reaksi masyarakat di media sosial dan tekanan dari berbagai pihak

mendorong kepolisian untuk bertindak cepat. Bripda SA kini ditahan dan menjalani

pemeriksaan intensif. Kapolda Jawa Tengah memastikan proses hukum akan berjalan

transparan.

Kasus ini menyoroti perlunya evaluasi terhadap prosedur penggunaan senjata api oleh

aparat kepolisian serta peningkatan pelatihan pengendalian emosi. Selain itu, dampak

insiden ini mencoreng citra kepolisian dan menurunkan tingkat kepercayaan publik.

Survei independen menunjukkan kekhawatiran masyarakat terhadap kekerasan oleh

aparat semakin meningkat.

Sebagai upaya pemulihan, langkah-langkah seperti penegakan hukum yang tegas,

evaluasi standar operasional, dan peningkatan komunikasi antara polisi dan masyarakat

menjadi prioritas. Kejadian ini menjadi pelajaran penting untuk mencegah tragedi

serupa di masa depan dan memulihkan kepercayaan terhadap institusi kepolisian.

Artikel ini akan membahas kronologi kejadian, tanggapan masyarakat, serta langkahlangkah yang diambil oleh pihak berwenang dalam menangani insiden ini.

Insiden tragis ini terjadi pada tanggal 23 November 2024, di salah satu sudut Kota

Semarang. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari kepolisian setempat, kejadian

bermula ketika seorang siswa SMA berinisial AR, 17 tahun, sedang berjalan bersama

teman-temannya di sebuah area publik. Saat itu, seorang anggota kepolisian berinisial

Bripda SA yang sedang tidak bertugas melintas di lokasi tersebut.

Dari keterangan saksi, terjadi cekcok antara Bripda SA dan AR. Perdebatan yang

mulanya hanya berupa adu mulut kemudian memanas, hingga akhirnya Bripda SA

mengeluarkan senjata api yang dibawanya. Dalam situasi yang masih belum

sepenuhnya jelas, senjata tersebut meletus dan mengenai tubuh AR. Korban langsung

dilarikan ke rumah sakit, tetapi nyawanya tidak tertolong.

Kejadian ini memicu kemarahan dan kesedihan yang mendalam di kalangan

masyarakat, terutama keluarga korban. Orang tua AR merasa sangat terpukul dan

menganggap kejadian ini sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang. Mereka

menuntut keadilan atas kematian anak mereka dan meminta agar pelaku mendapat

hukuman setimpal.

Di media sosial, banyak warganet yang mengungkapkan rasa belasungkawa dan

kecaman terhadap tindakan Bripda SA. Tagar seperti #KeadilanUntukAR dan #StopBrutalitasPolisi menjadi tren, menunjukkan betapa luasnya perhatian publik

terhadap kasus ini. Sejumlah tokoh masyarakat dan aktivis hak asasi manusia juga ikut

bersuara, menyerukan perlunya reformasi di tubuh kepolisian, terutama dalam hal

penggunaan senjata api.

Polda Jawa Tengah segera mengambil langkah-langkah untuk menangani kasus ini.

Kapolda Jawa Tengah, dalam konferensi persnya, menyatakan bahwa Bripda SA telah

ditahan dan sedang menjalani pemeriksaan intensif oleh Divisi Propam (Profesi dan

Pengamanan) Polri. Ia juga menegaskan bahwa tidak ada toleransi terhadap anggota

kepolisian yang melakukan pelanggaran hukum.

Selain itu, Kapolda menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga korban dan

masyarakat atas insiden ini. "Kami berkomitmen untuk menangani kasus ini secara

transparan dan sesuai dengan hukum yang berlaku," ujarnya. Proses hukum terhadap

Bripda SA akan dilakukan dengan mengacu pada KUHP dan aturan internal Polri

terkait pelanggaran kode etik profesi.

Polisi yang terlibat segera diamankan untuk mencegah pelarian atau tindakan lain yang

dapat menghambat proses hukum.Mengumpulkan bukti fisik seperti senjata api,

proyektil, selongsong peluru, dan barang-barang di lokasi kejadian.Memeriksa saksi di

lokasi kejadian, baik masyarakat maupun anggota kepolisian lain yang terlibat atau

mengetahui insiden tersebut.Menginterogasi pelaku untuk mengetahui motif,

kronologi, dan kondisi saat insiden terjadi.

Kasus ini kembali mengingatkan pentingnya evaluasi terhadap prosedur penggunaan

senjata api oleh anggota kepolisian. Berdasarkan peraturan yang berlaku, seorang

anggota polisi hanya diperbolehkan menggunakan senjata api dalam situasi yang

mengancam keselamatan jiwa, baik bagi dirinya maupun orang lain. Namun, dalam

kasus ini, penggunaan senjata api tampaknya tidak sesuai dengan prosedur yang

ditetapkan.

Beberapa pengamat keamanan menilai bahwa pelatihan dan pengawasan terhadap

penggunaan senjata api oleh polisi perlu ditingkatkan. Mereka juga menekankan

pentingnya penanaman nilai-nilai profesionalisme dan pengendalian emosi kepada

setiap anggota kepolisian.

Kasus seperti ini tidak hanya mencoreng nama institusi kepolisian, tetapi juga

berpotensi menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak

hukum. Masyarakat menginginkan aparat yang tidak hanya mampu menjaga keamanan, tetapi juga bertindak profesional dan bertanggung jawab dalam setiap

situasi.

Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh lembaga independen setelah kasus ini

mencuat, 62% responden menyatakan bahwa mereka merasa khawatir dengan

meningkatnya insiden kekerasan yang melibatkan aparat kepolisian. Hal ini

menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk memperbaiki hubungan antara polisi

dan masyarakat.

Untuk memulihkan kepercayaan masyarakat, sejumlah langkah perlu dilakukan.

Pertama, memastikan bahwa proses hukum terhadap Bripda SA berjalan secara adil

dan transparan. Kedua, melakukan evaluasi menyeluruh terhadap prosedur operasional

standar (SOP) penggunaan senjata api oleh kepolisian. Ketiga, meningkatkan pelatihan

psikologis bagi anggota kepolisian agar mampu mengendalikan emosi dalam situasi

kritis.

Selain itu, penting untuk membangun komunikasi yang lebih baik antara polisi dan

masyarakat. Program-program yang melibatkan komunitas lokal, seperti forum diskusi

dan kegiatan bersama, dapat menjadi salah satu cara untuk memperbaiki hubungan

yang renggang.

Kasus penembakan siswa di Semarang adalah sebuah tragedi yang seharusnya tidak

terjadi. Kejadian ini menjadi pengingat bahwa setiap anggota kepolisian memegang

tanggung jawab besar dalam menjaga keamanan dan keselamatan masyarakat.

Diperlukan langkah-langkah nyata untuk memastikan bahwa insiden serupa tidak

terulang di masa depan. Dengan penegakan hukum yang tegas, evaluasi prosedur

internal, dan peningkatan hubungan dengan masyarakat, diharapkan kepercayaan

publik terhadap institusi kepolisian dapat kembali pulih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun