Gejala dehumanisasi sudah mulai terlihat di banyak hal. Film kartun misalnya. Dalam kartun Doraemon yang diproduksi 1969 sudah tampak gejala dehumanisasi. Dalam cerita tersebut, Nobita selalu bergantung pada Doraemon yang memiliki peralatan super canggih. Akibatnya, Nobita tidak mau berusaha melakukan sesuatu dengan tangannya sendiri.Â
Dalam kisah kartun Doraemon, disampaikan cerita bahwa kecanggihan teknologi yang ditawarkan Doraemon selalu menuai masalah manakala Nobita yang notabene sebagai operatornya tidak dibekali dengan sikap dan pengetahuan yang cukup. Akibat yang dihasilkan selalu fatal.
Berkaca dari cerita kartun Doraemon saja, kita dapat melihat bahwa teknologi tanpa didasari pengetahuan dan karakter yang kuat akan berujung pada persoalan yang pelik. Lalu apakah gejala dehumanisasi ini dapat dibendung? Jawabnya tentu saja bisa. Manusia diciptakan Tuhan dengan segala kelebihan dan kekurangannya.Â
Manusia menciptakan teknologi untuk memudahkan pekerjaan manusia. Harapannya dengan kehadiran teknologi tersebut, produktivitas manusia menjadi semakin meningkat.
Dalam menghadapi gejala dehumanisasi, manusia perlu memegang peranan penting. Sebagai manusia, kita perlu memilih dan memilah, teknologi seperti apa yang benar-benar penting dan dapat "menolong" kehidupan manusia. "Menolong" bukan berarti menggantikan peran manusia. Dalam kehidupan ini, peran manusia tidak dapat digantikan.Â
Manusia yang mempunyai akal pikiran dan nurani tentu akan lebih baik dalam menghasilkan solusi atas persoalan yang muncul. Begitupun dalam hidup bermasyarakat, secara naluriah manusia lebih senang menyapa, bertemu, dan berinteraksi dengan orang lain. Hal ini disebabkan manusia merupakan makhluk sosial, hidupnya sangat bergantung pada kehadiran orang lain.
Meminimalisasi Dehumanisasi di Masa Pandemi
Manusia pada dasarnya perlu eksis, mereka membutuhkan pengakuan oleh orang lain. Minimal manusia membutuhkan pengakuan bahwa mereka ada. Pengakuan ini tidak akan didapatkan dari produk teknologi. Pengakuan ini hanya bisa didapatkan dari manusia. Hal inilah yang perlu dipertimbangkan dalam dunia pendidikan.
Siswa yang sedang belajar secara daring, seringkali tidak merasakan kehadiran teman dan gurunya. Rasa memiliki, rasa bersahabat, rasa menyayangi, dan rasa kemanusiaan lainnya tidak muncul ketika daring. Kebersamaan mereka sebatas pada pertemuan singkat tanpa rasa. Nilai yang dibangun oleh guru dalam pembelajaran daring juga sulit terkontrol, karena pertemuan yang hanya terbatas melihat wajah.
Namun demikian, semua kekurangan yang ada dalam pembelajaran daring dapat diminimalisasi. Artinya, di sini membutuhkan peran orang tua, guru, sekolah, dan masyarakat untuk dapat bekerja sama mengembalikan rasa kemanusiaan siswa yang sempat terkikis. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan, di antaranya adalah guru menyisipkan motivasi dan permainan yang dapat menggugah rasa humanis siswa.Â
Materi pembelajaran memang penting, namun penguatan karakter juga jauh lebih penting. Siswa yang mempunyai karakter kuat akan dapat membangun dirinya menjadi insan yang lebih baik. Sebaliknya, siswa yang berpengetahuan luas tanpa dibekali dengan karakter yang kuat, ia akan lebih mudah stres dan ia tidak akan siap menghadapi tantangan di masa yang akan datang.