7. Perlawanan terhadap VOC
Salah satu ciri khas kepemimpinan Sultan Agung adalah perlawanan kerasnya terhadap VOC di Batavia. Sultan Agung menyadari bahwa keberadaan VOC merupakan ancaman bagi kedaulatan dan kekuasaan kerajaan-kerajaan di Nusantara, terutama di Pulau Jawa. Pada tahun 1628 dan 1629, Sultan Agung melancarkan serangan besar-besaran ke Batavia, meskipun serangan ini pada akhirnya tidak berhasil mengalahkan VOC karena berbagai faktor, termasuk cuaca buruk, kekurangan logistik, dan kekuatan pertahanan Batavia yang kuat.
Namun, meskipun gagal merebut Batavia, perlawanan Sultan Agung menunjukkan komitmen Mataram dalam mempertahankan kedaulatan dan menghalau intervensi asing. Serangan tersebut juga menginspirasi perlawanan-perlawanan lain terhadap VOC di wilayah Nusantara pada masa berikutnya.
KEMUNDURAN KERAJAAN MATARAM ISLAM:
Kerajaan Mataram Islam mulai mengalami kemunduran setelah masa kejayaan di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613--1645). Seiring dengan wafatnya Sultan Agung, kerajaan ini menghadapi berbagai tantangan internal dan eksternal yang secara bertahap mengikis kekuatannya. Pengganti Sultan Agung tidak mampu mempertahankan stabilitas dan kewibawaan kerajaan, yang menyebabkan Mataram mengalami kemunduran dan akhirnya terpecah.
1. Kematian Sultan Agung dan Penerus yang Lemah
Setelah Sultan Agung wafat pada tahun 1645, putranya Amangkurat I (1646--1677) naik tahta. Sayangnya, Amangkurat I tidak memiliki kemampuan kepemimpinan yang sekuat ayahnya. Gaya kepemimpinannya cenderung otoriter dan sewenang-wenang. Amangkurat I banyak menyingkirkan bahkan membunuh para bangsawan yang dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaannya, termasuk keluarga dan pejabat istana.
Tindakan-tindakan keras ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan bangsawan dan rakyat. Amangkurat I mengabaikan kepercayaan yang sudah dibangun Sultan Agung dengan rakyat, sehingga hilang dukungan dari kalangan bangsawan dan rakyat. Pemerintahan yang represif ini menyebabkan ketidakstabilan dalam negeri, yang akhirnya berkontribusi pada kemunduran Mataram.
2. Konflik Internal dan Pemberontakan Trunajaya
Sikap keras Amangkurat I terhadap bangsawan dan keluarganya memicu pemberontakan. Pada tahun 1674, Trunajaya, seorang bangsawan dari Madura yang mendapat dukungan luas dari rakyat dan sejumlah bangsawan yang tidak puas dengan kepemimpinan Amangkurat I, memimpin pemberontakan besar melawan Mataram.
Trunajaya bahkan berhasil merebut beberapa wilayah penting, termasuk Plered yang merupakan ibu kota Mataram. Amangkurat I merasa kewalahan menghadapi pemberontakan ini, sehingga ia meminta bantuan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau Perusahaan Hindia Timur Belanda) untuk memadamkan pemberontakan. VOC bersedia membantu dengan syarat mendapatkan konsesi dagang dan hak istimewa di Mataram.
Bantuan VOC berhasil mengakhiri pemberontakan, tetapi VOC kemudian menuntut imbalan atas bantuan militer yang mereka berikan. Kondisi ini melemahkan kedaulatan Mataram, yang semakin bergantung pada VOC.
3. Ketergantungan pada VOC dan Intervensi Politik
Permintaan bantuan Amangkurat I kepada VOC saat menghadapi Trunajaya membuka pintu bagi intervensi VOC dalam urusan kerajaan. VOC menyadari bahwa Mataram yang lemah menjadi peluang besar untuk memperluas pengaruh dan kepentingan ekonomi mereka di Jawa. VOC mulai menerapkan politik pecah-belah (divide et impera) untuk memanfaatkan konflik di kalangan keluarga kerajaan.
VOC mendukung pihak-pihak dalam kerajaan yang setuju untuk bekerja sama dengan mereka. Hal ini semakin memperlemah kedaulatan Mataram, karena para penguasa harus mengikuti keinginan VOC demi menjaga kekuasaan. Pada gilirannya, VOC menuntut hak-hak istimewa seperti monopoli perdagangan, kontrol atas pelabuhan-pelabuhan, dan bahkan sebagian wilayah Mataram sebagai bentuk imbalan.
Ketergantungan Mataram pada VOC semakin besar, terutama pada masa Amangkurat II (1677--1703), penerus Amangkurat I. Amangkurat II memberikan lebih banyak hak istimewa kepada VOC agar dapat mempertahankan kekuasaannya di Mataram. Akibatnya, VOC semakin mengendalikan urusan dalam negeri Mataram.
4. Perjanjian Giyanti (1755) dan Pembagian Mataram
Salah satu peristiwa yang menandai kemunduran Kerajaan Mataram adalah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Perjanjian ini merupakan puncak dari konflik internal dalam kerajaan dan intervensi VOC yang semakin kuat. Pada waktu itu, terjadi perselisihan antara Sunan Pakubuwana III, penguasa Mataram yang bekerja sama dengan VOC, dan Pangeran Mangkubumi, adiknya yang menentang pengaruh VOC.
Pangeran Mangkubumi yang tidak puas dengan perlakuan VOC dan Pakubuwana III akhirnya memimpin pemberontakan. VOC kemudian menawarkan perdamaian dengan syarat membagi wilayah Mataram menjadi dua bagian. Hasil dari Perjanjian Giyanti membagi Mataram menjadi:
Kasunanan Surakarta, yang dipimpin oleh Sunan Pakubuwana III dan menjadi bagian dari wilayah yang berada di bawah pengaruh VOC.
Kasultanan Yogyakarta, yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I.
Perjanjian Giyanti secara resmi memecah belah Mataram menjadi dua kerajaan yang berbeda. Pembagian ini mengurangi kekuatan Mataram secara signifikan dan mempermudah VOC dalam mengendalikan kerajaan-kerajaan di Jawa. Perjanjian ini menjadi simbol berakhirnya kesatuan Mataram Islam sebagai sebuah kerajaan yang berdaulat.
5. Perjanjian Salatiga (1757)
Setelah Perjanjian Giyanti, terjadi perpecahan lebih lanjut yang menghasilkan Perjanjian Salatiga pada tahun 1757. Perjanjian ini muncul akibat ketegangan antara Sunan Pakubuwana III di Surakarta dengan Pangeran Sambernyawa, atau Raden Mas Said. Pangeran Sambernyawa adalah bangsawan yang menentang VOC dan berjuang mempertahankan kedaulatan Mataram.
Perjanjian Salatiga membagi wilayah Surakarta dengan mendirikan Kadipaten Mangkunegaran di bawah kepemimpinan Pangeran Sambernyawa. Dengan demikian, wilayah Mataram kini terbagi menjadi tiga, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran. Perpecahan ini semakin memperlemah kekuasaan Mataram Islam, karena masing-masing kerajaan kecil ini berada di bawah pengaruh VOC.
6. Pengaruh Ekonomi dan Monopoli Dagang VOC
VOC tidak hanya mengintervensi politik di Mataram, tetapi juga menguasai ekonomi kerajaan. Mereka menuntut hak monopoli dagang atas berbagai komoditas penting, seperti rempah-rempah, dan memberlakukan pajak tinggi yang dibebankan kepada rakyat Mataram. Kondisi ini menekan ekonomi kerajaan dan menyebabkan kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan rakyat.
VOC juga mengendalikan jalur-jalur perdagangan utama dan pelabuhan-pelabuhan yang sebelumnya dikuasai oleh Mataram. Kehilangan kontrol atas pelabuhan dan perdagangan ini mengakibatkan pendapatan Mataram berkurang drastis, sehingga semakin sulit bagi kerajaan untuk membiayai administrasi dan pertahanan.
7. Melemahnya Struktur Militer dan Ketergantungan pada VOC
Di bawah kekuasaan VOC, Mataram kehilangan kemampuan untuk mengembangkan militernya secara mandiri. Kekuatan militer yang dulu tangguh pada masa Sultan Agung melemah, dan ketergantungan pada VOC untuk keamanan semakin besar. Setiap kali terjadi pemberontakan atau ancaman dari pihak-pihak dalam kerajaan, penguasa Mataram harus meminta bantuan VOC, yang pada gilirannya membuat VOC semakin berkuasa.
VOC juga mengurangi kewenangan raja-raja Mataram dalam hal militer untuk mencegah adanya perlawanan terhadap mereka. Tanpa kekuatan militer yang kuat, Mataram semakin kehilangan kemampuan untuk mempertahankan kedaulatannya.