Demikianlah kira-kira yang pertama kali dipikirkan oleh orang yang awam ketika disuguhkan gagasan Mubadalah. Tentu pemikiran dan kesimpulan tersebut adalah salah, karena yang disalingkan atau yang dijadikan objek dari Mubadalah adalah sebuah kemaslahatan ajaran Islam, bagaimana antara seorang laki-laki dan perempuan bisa hidup dan saling terelasi dengan adil serta berasaskan kemaslahatan keduanya.
Contoh Penerapan Mubadalah
Contoh Di dalam Al Quran juga ditegaskan bahwa kesalingan dan relasi antara laki-laki dan perempuan antara satu dengan yang lain harus menjadi penolong, penyayang, penopang, dan pendukung. Sebagaimana di dalam Al Quran Surat At Taubah ayat 71 yang artinya :
Artinya : "dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Contoh penggunaan metode Mubadalah dalam pemaknaan ayat bisa kita terapkan salah satunya pada Surat 'Ali Imran ayat 14 yang artinya :
Artinya : "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: perempuan-perempuan, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)."
Dari ayat tersebut dijelaskan bahwa perempuan, anak, emas dan perak, kendaraan, hewan peliharaan, dan semua kekayaan menjadi sesuatu yang menyenangkan dan dicintai manusia. Disebutkan dalam ayat tersebut bahwa salah satu objek yang disenangi manusia adalah perempuan (istri), di situ mengandung pernyataan bahwa manusia tercipta untuk mencintai perhiasan dunia salah satunya berupa perempuan.
Secara literaktur, ayat tersebut menempatkan manusia yang pasti diartikan laki-laki, tercipta secara alami mencintai seorang wanita, dan objeknya (yang dicintai) adalah wanita. Berdasarkan pada keterangan tersebut, posisi wanita menjadi objek dan hanya ditujukan kepada laki-laki, namun dari sisi perspektif Mubadalah, perempuan juga bisa menjadi subjek dalam ayat tersebut dan sebagai makhluk yang diberi peringatan untuk waspada dengan perhiasan-perhiasan gemerlapnya dunawi.
Pondasi yang mendasari kesetaraan di dalam ayat tersebut adalah bahwa di antara laki-laki dan perempuan dikenai perintah untuk berbuat baik dan waspada akan perbuatan yang buruk, dan itu adalah prinsip agama Islam dengan tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan sebagaimana pada Surat At Taubah ayat 71. Kemdian metode pemaknaan Mubadalah pada prinsipnya didasarkan pada asumsi-asumsi yaitu sebagai berikut :
- Bahwa agama Islam hadir untuk laki-laki maupun perempuan, oleh karena itu teks-teks yang berlaku harus turut diperuntukkan untuk keduanya.
- Bahwa relasi di antara keduanya berupa kerja sama dan kesalingan dalam berbagai hal.
Oleh karena itu, perspektif dari metode Mubadalah adalah menegaskan bahwasannya hubungan antara laki-laki dengan perempuan haruslah dirawat dan dipelihara, terutama pada pasangan suami istri, dan oleh karenanyalah gagasan-gagasan pokok dari teks Mubadalah adalah tentang rasa terima kasih pada kebaikan-kebaikan meskipun itu terlihat kecil, pentingnya melayani kebutuhan yang bersifat biologis pada pasangan, dan menyadari betapa buruknya melakukan perceraian tanpa dasar dan alasan yang tidak wajar.Â
Simpulan
Pada kesimpulannya adalah bahwa apabila metode Mubadalah ini dihadapkan dengan teks baik Al Qur'an ataupun Al Hadits, maka jangan terpaku dengan subjek serta objeknya saja, terkadang hanya mengandung unsur laki-laki atau perempuan saja, melainkan harus fokus dengan isi pesan yang terkandung pada teks tersebut, sebab di dalam Al Quran sangat banyak ayat-ayat yang struktur kata dan kalimatnya bersifat Majaz (metafora).
Langkah yang bisa dilakukan adalah dengan cara mengaitkan pesan tersebut dengan konsep keadilan dan kesalingan yang ada dalam ayat maupun hadits lainnya. Apabila secara tekstual dikatakan dari laki-laki kepada perempuan atau suami kepada istri, maka dalam praktenya pun dapat dilakukan secara kesalingan atau dibalik menjadi dari istri kepada laki-laki. Sehingga pesan dari teks tersebut dapat diimplementasikan oleh kedua belah pihak.