Mohon tunggu...
Muhammad Ferri Mursyidan
Muhammad Ferri Mursyidan Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Halo Nama Saya Muhammad Ferri Mursyidan, Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Analisis Penerapan Hukuman Mati, Potong Tangan dan Cambuk dalam Sistem Hukum Undang-Undang Melaka

23 Desember 2024   02:20 Diperbarui: 23 Desember 2024   03:44 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Undang-Undang Melaka adalah UU pertama yang diberlakukan dan dikenal di Nusantara. UUM, yang berlaku di kerajaan Melaka pada abad ke-15 dan ke-16, dikenal dengan penerapan hukuman berat. Selanjutnya teks UUM menjelaskan bahwa Sultan Muhammad Syah (1424-1444) adalah raja yang mengatur hukum adat. Tetapi, pada masa tersebut, hukum adat belum ditulis. Baru pada masa Sultan Muzafar Syah (1445-1456), hukum adat itu ditulis dan menjadi undang-undang.

UUM yang sebenarnya mengandung 4 undang-undang dan 110 Pasal. Di dalamnya, terdapat hukum adat, hukum Islam, dan hukum campuran antara keduanya. Pasal-pasal tersebut sangat jelas membedakan antara hukum adat dan hukum Islam

Dan apakah UUM diterapkan oleh Kesultanan Melaka saat itu? Penerapan UUM tidaklah begitu jelas, karena kita hanya memiliki sedikit bukti. Dengan demikian, kita memiliki beberapa petunjuk. Dan menemukan beberapa contoh kasus, diantaranya; seperti hukuman mati, potong tangan, dan cambuk. Hukuman-hukuman ini bertujuan untuk menegakkan ketertiban dan keadilan sosial, yang berakar pada ajaran Islam dan sistem hukum yang diterapkan oleh penguasa.

Sebuah salinan Undang-Undang Melaka yang dipajang di Museum Kerajaan, Kuala Lumpur (Sumber: Wikipedia)
Sebuah salinan Undang-Undang Melaka yang dipajang di Museum Kerajaan, Kuala Lumpur (Sumber: Wikipedia)

1. Hukuman Mati

Hukuman mati diberikan kepada pelaku kejahatan berat seperti pembunuhan, pengkhianatan, dan perampokan. Contoh kasus pada masa Sultan Mahmud Syah, Raja Pahang, yaitu Sultan Mansur Syah dibunuh oleh bapaknya karena ia telah berzina dengan istri sultan itu yaitu istri bapaknya. Dijelaskan dalam UUM, Pasal 5.2 menentukan bahwa ia yang membunuh lelaki yang menjadi pacar istrinya tidak dipersalahkan sebagai pembunuh, sementara di dalam hukum Islam di UUM menjelaskan bahwa ia yang membunuh harus dibunuh dan siapa yang berzina harus dirajam, ini termasuk kedalam penghianatan. Hukuman ini bertujuan untuk menjaga stabilitas negara dan mencegah ancaman terhadap keamanan kerajaan. Penerapan hukuman mati juga mencerminkan nilai moral dan keadilan dalam masyarakat Melaka.

2. Potong Tangan

Potong tangan diterapkan kepada pelaku pencurian atau perampokan. Hukuman ini memiliki dasar dalam hukum Islam dan bertujuan untuk memberikan efek jera serta menunjukkan bahwa kejahatan yang merugikan masyarakat akan mendapat konsekuensi berat. Contoh kasusnya yang terjadi pada zaman Sultan Alauddin Riayat Syah, pencurian terjadi begitu sering. Menurut Sejarah Melayu Shellabear, sultan memerintahkan bagi siapa yang mencuri akan dipotong tangannya. Perintah Sultan Alauddin telah menjadikan Undang-Undang Melaka lebih tegas. Alasannya karena begitu banyak pencurian. Meski demikian, hukuman ini sering dikritik karena mengurangi hak asasi bagi pelaku.

Ada salah satu sultan yang bernama Seri Maharaja yang selalu mengawasi Kota Melaka sepanjang malam. beliau sangat kejam dengan para pencuri. Setiap kali ia menjumpai pencuri, tanpa berfikir panjang ia langsung memotong atau membacok lengannya, bukan hanya tangan. Bahkan, ia sampai membunuh para pencuri tersebut.

3. Cambuk

Cambuk dijatuhkan kepada pelanggar peraturan sosial seperti berzina atau mabuk. Salah satu contoh kasusnya yang disebutkan oleh  Ibn Majîd, ada seorang pelancong Arab yang tinggal beberapa saat di Melaka dan menulis pada 1462 bahwa orang-orang Melaka meminum dengan bebasnya minuman beralkohol di pasar-pasar, dan juga menyaksikan bahwa para penduduk Melaka memakan anjing dan daging-daging haram lainnya.

Berdasarkan keterangan tersebut, tampak bahwa hukum pidana Islam tidak diterapkan dalam soal makanan dan minuman yang haram. Di dalam Pasal 42 UUM menyebutkan barang siapa yang meminum minuman memabukkan dihukum 40 kali cambukan.

Biasanya hukuman cambuk bertujuan untuk mendidik dan memberi pelajaran kepada pelaku tanpa merusak hidup mereka sepenuhnya. Cambuk, sebagai bentuk hukuman fisik, juga berkaitan erat dengan ajaran agama dan norma sosial yang berlaku pada masa itu.

Penerapan hukuman ini pun sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam, yang menekankan keadilan dan disiplin, serta kebutuhan untuk menjaga ketertiban di wilayah perdagangan yang ramai. Selain itu, kekuasaan penguasa Melaka juga memainkan peran penting dalam penegakan hukum yang keras ini.

Kritik terhadap hukuman berat seperti hukuman mati, potong tangan, dan cambuk diundang kritik karena potensi ketidakadilan dalam pelaksanaannya dan pelanggaran hak asasi manusia. Kritik ini muncul terutama terkait dengan perlakuan tidak setara antara kalangan bangsawan dan rakyat biasa, serta ketidakadaan rehabilitasi bagi pelaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun