Kondisi pertanian di Indonesia merupakan sebuah polemik dalam perekonomian Indonesia yang mungkin paling ironis.
Ada apa sama pertanian di Indonesia? Kenapa bisa sangat ironis?
Sebagian komoditas pertanian yang sering kita konsumsi seperti beras, kedelai, bawang dan masih banyak lagi. Ternyata sumbernya bukan dari hasil panen para petani kita, melainkan dari hasil impor atau membeli dari luar negeri. Padahal negara kita terkenal sebagai negara agraris yang luas dan subur, namun kenyataannya malah membeli kebutuhan pokok dari luar negeri. Hal inilah yang menyebabkan betapa ironisnya masalah pertanian kita.
Negara kita saja mempunyai 26,3 juta hektar lahan subur untuk lahan pertanian. Bahkan Indonesia juga mempunyai lahan agrikultur yang luasnya 68,3 juta hektar atau sekitar 33% dari total wilayah daratan Indonesia. Dengan lahan subur yang seluas itu sebenarnya tanah di Indonesia sangat kaya akan potensi, soalnya cocok untuk ditanami apa saja. Mulai dari padi-padian,umbi-umbian, jagung, kopi, tebu dan juga semua jenis rempah-rempah eksotis dengan nilai ekonomi tinggi. Hal inilah yang dahulu membuat bangsa Eropa saling berebut wilayah di Indonesia selama ratusan tahun.
Kalau kita lihat dari sisi potensi pertanian di Indonesia, seharusnya para petani kita bisa hidup sejahtera. Namun ironisnya, kesejahteraan petani kita justru terus mengalami penurunan setiap tahunnya. Pada akhirnya sejak tahun 2000 lalu, negara kita malah menjadi importir bahan pokok pangan seperti beras, kedelai, bawang, cabai dan masih banyak lagi.
Masalah Pertanian di Indonesia
Berikut ini adalah berbagai masalah yang dihadapi negara kita, sehingga menyebabkan kita harus impor bahan pokok pangan dari luar negeri.
1.) Produksi Dalam Negeri Tidak Mencukupi
Padahal komoditas yang diimpor itu bisa banget ditanam dan juga dibudidaya di negara kita. Sebetulnya akar masalahnya bisa beragam banget untuk setiap komoditas. Namun salah satu masalah terbesarnya adalah produksi dalam negeri kita masih tidak cukup untuk kebutuhan konsumsi 270 juta penduduk Indonesia.Â
Misalnya saja kedelai, menurut catatan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo rata-rata kebutuhan konsumsi kedelai dalam negeri itu 2-3 juta ton pertahun. Namun, kemampuan produksi kedelai kita menurut Gakoptindo hanya 300 ribu ton saja per tahun. Hal ini disebabkan karena sebagian besar lahan di Indonesia, ternyata tidak terlalu cocok untuk ditanami kedelai. Bahkan harus membutuhkan biaya lebih untuk menghasilkan kedelai yang bermutu bagus. Karena biayanya yang tinggi inilah menjadikan semakin sedikit petani yang menanam kedelai.Â
Contoh lainnya juga terdapat pada komoditas beras, yang sudah lama banget  menjadi net importir. Salah satu alasan Bulog melakukan impor beras adalah untuk menjaga stok beras di gudang yang kian menipis. Menurut aturan yang ada, bahwa Bulog harus memiliki minimal 1 juta ton cadangan beras. Namun, Bulog ketika menyerap beras dalam negeri tidak bisa optimal. Hal ini disebabkan karena gabah kita mutunya belum sesuai standar, sebab mengandung kadar air yang terlalu tinggi. Meskipun pemerintah mengklaim sudah 3 tahun tidak impor beras, tapi menurut data Kementan ternyata kita masih menjadi net importir di komoditas beras.
2.) Produksi Dalam Negeri Tidak Efisien
Mungkin kita sempat mikir begini, kalau kebutuhannya tinggi dan produksinya rendah, maka nilai komoditasnya jadi lebih mahal. Dengan komoditas yang mahal ini, seharusnya para petani bisa dapat untung banyak. Namun kenyataanya, rata-rata profit margin tanaman pangan di Indonesia sangatlah kecil. Hal ini dikarenakan produksi petani kita tidak efisien dan kalah murah jika dibandingkan dengan produk impor yang kualitasnya sama. Padahal produk impor itu harus ada biaya pengiriman dan ada biaya penyimpanan juga, seharusnya harganya lebih mahal?Â
Disinilah akar masalah klasik petani Indonesia, yaitu sistem distribusi dan pemasaran produk pertanian yang tidak efisien banget. Bayangkan saja, antara petani sampai ke konsumen akhir itu bisa ada lima sampai enam perantara yang menetapkan harga di setiap levelnya. Mulai dari penadah, penggiling, pedagang grosir, serta masih lanjut lagi ke pasar induk dan pengecer, hingga ke konsumen akhir. Pantas saja dari petani menjual dengan harga yang murah banget, tapi kita sebagai konsumen akhir membelinya dengan harga yang mahal banget.Â
3.) Keterbatasan Akses PermodalanÂ
Bagi kita yang tinggal di kota, mungkin sangat mudah untuk mendapatkan akses perbankan seperti pinjaman kredit atau pinjaman modal usaha dengan jaminan tertentu ke pihak bank. Namun, para petani sangat sedikit banget yang mempunyai akses ke bank. Disisi lain, masih sedikit banget bank yang berani menyalurkan kredit ke para petani. Karena pihak bank juga masih khawatir dengan tingkat potensi kegagalan panen yang ujung-ujungnya malah membuat kredit macet, sehingga terjadi resiko gagal bayar.Â
Memang faktanya memprediksi produksi pertanian itu tidak bisa semudah memprediksi produksi manufaktur pabrik. Ada banyak faktor dari kondisi alam seperti banjir dan kekeringan, sampai hama dan wereng yang selalu jadi momok pertanian kita. Selain itu, pihak bank juga biasanya membutuhkan aset yang bisa dijadikan jaminan apabila terjadi gagal bayar, yang mana biasanya jaminan aset tersebut berupa sertifikat tanah. Inilah yang menjadi momok bagi para petani, pada kenyataannya masih banyak banget petani kita yang tidak memiliki sertifikat tanah. Sehingga mereka tidak mempunyai apa-apa untuk dijadikan jaminan ke bank.Â
Berdasarkan data konsorsium pembaruan Agraria 2016, ada 28 juta petani yang statusnya tidak mempunyai tanah. Kalaupun ada penyaluran kredit, 80% dari kredit hanya terpusat ke perkebunan skala besar saja. Padahal 75% petani kita adalah petani kecil yang kepemilikan lahannya kurang dari setengah hektar.Â
Sebenarnya ada juga Kredit Usaha Rakyat yang menawarkan pinjaman ke petani kecil dengan bunga rendah dan tanpa agunan. Namun proses administrasi dan seleksinya ketat banget, karena tentunya bank juga tetep ingin cari aman. Yang mana pinjaman juga harus melalui off-taker atau pihak yang berperan sebagai penjamin jikalau nanti petani ini gagal bayar. Sedangkan petani sendiri tidak familiar sama mekanisme ini dan sedikit yang tahu kalau pinjaman KUR harus lewat off-taker.Â
Solusi Pertanian di Indonesia
Jadinya kita bisa tahu bagaimana kompleksnya masalah umumnya dialami para petani. Mulai dari permodalan, penjualan, akses pasar, bahkan faktor alam juga ikut menambah beban para petani. Dengan adanya potensi besar tapi sistemnya masih gak efisien, sebenarnya ada banyak ruang untuk bisa ditingkatkan. Sayangnya tidak banyak generasi muda di Indonesia yang memilih menekuni bidang pertanian. Berdasarkan catatan pemerintah, 71% petani Indonesia itu berusia lebih dari 40 tahun. Bahkan setiap tahunnya semakin sedikit tenaga kerja yang terjun ke sektor pertanian.Â
Berikut ini beberapa solusi yang harus dilakukan dalam mengembangkan sektor pertanian.
1.) Akses Pemasaran dan Permodalan
Kita harus fokus kepada akar masalahnya, yaitu akses petani ke pusat pemasaran dan juga permodalan. Yang mana petani itu bisa dapat modal sekaligus pembinaan, serta akses supaya mereka bisa langsung menjual ke konsumen akhir.
2.) Peningkatan Infrastruktur Penghubung
Peningkatan infrastruktur penghubung antar desa di Indonesia bisa dibilang belum optimal. Entah itu jalan antar desa, saluran telepon, internet atau akses keuangan. Kalau infrastruktur jalan dan sarana transportasi antar desa sudah bagus. Harapannya ini bisa memangkas biaya transportasi dan juga ongkos kirim petani yang ingin menjual hasil panennya ke pasar. Begitu juga dengan keperluan produksi para petani seperti pupuk dan juga peralatan pertanian yang bisa didistribusikan dengan biaya murah.Â
Â
3.) Memperhatikan Sektor Pertanian yang Potensial secara Ekonomi
Padahal permintaan di pasar dunia itu banyak banget, tapi malah belum dioptimalkan. Misalnya saja bahan dasar coklat alias tanaman kakao, produk kakao ini diperkirakan mempunyai nilai pasar dunia sebesar 30 milyar dollar dengan pertumbuhan per tahun sebesar 5% sampai tahun 2026. Pasar yang sangat dan paling potensial adalah di Eropa, pasalnya menurut data dari Kemenlu Belanda bahwa Eropa adalah importir coklat terbesar di dunia.Â
Sebagai salah satu produsen kakao terbesar kelima di dunia, seharusnya Indonesia bisa memanfaatkan momentum ini. Tapi produksi kakao negara kita belum maksimal, dikarenakan rata-rata petani mempunyai lahan kurang dari 0,5 hektar, padahal luas idealnya di atas 2 hektar per petani. Bahkan produktivitas petani kakao olahan kecil kurang dari 500 kg/hektar, sedangkan produktivitas perkebunan besar biasanya 730-740 kg/hektar.Â
4.) Peningkatan SDM Petaninya
Berdasarkan data yang dirilis BPS, hanya 0,3% saja petani yang mempunyai pendidikan tinggi di Indonesia. Sisanya didominasi pendidikan rendah, bahkan tidak sekolah. Padahal setiap tahunnya ada ribuan sarjana di bidang pertanian yang lulus kuliah, tapi mayoritas lebih memilih berkarir di sektor lain. Apabila ketika anak muda berpendidikan tinggi mau terjun ke pertanian, mereka ini terbukti mampu memberdayakan para petani dan mengelolanya sampai untung besar. Untuk kamu yang masih SMA, mungkin bisa dijadikan bahan pertimbangin untuk kuliah di jurusan pertanian. Karena sektor ini butuh banget SDM muda berpendidikan tinggi untuk membangun masa depan pertanian Indonesia.
Perlu diingat juga, bahwa setiap wilayah di negara Indonesia pastinya memiliki permasalahan pertanian yang berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H