Mohon tunggu...
Muhammad Fauzi
Muhammad Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pengangguran
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Jangan sesekali kalian mengeluh tentang kehidupan, bersyukurlah kalian kepada sang pencipta.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Nimbrung Investasi Saham Sekadar FOMO

22 Juli 2022   11:05 Diperbarui: 23 Juli 2022   08:15 1193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat orang sekitar sibuk membangun kesuksesan dalam berinvestasi saham, kita terkadang merasa takut untuk ketinggalan. Kok semua orang sudah memulai investasi atau trading saham tapi saya belum, ya? Yang sedang kamu rasakan sekarang adalah fomo. 

Lewat investasi atau trading, kita bisa mendapatkan keuntungan dari selisih harga beli dan jual sebuah saham. Bahkan kita bisa mendapatkan dividen yang dibagikan perusahaan kepada pemegang sahamnya. 

Bedanya, yang disebut investor biasanya lebih mempertimbangkan prospek pertumbuhan aset dan berinvestasi untuk keuntungan jangka panjang. 

Investor sendiri dibedakan menjadi dua kategori. Yang pertama yaitu value investor, ketika saham tersebut sudah over value, maka dia akan menjualnya. Sedangkan yang kedua adalah accumulator, mereka ini tetap mengumpulkan sahamnya meskipun sudah over-value. 

Untuk trader biasanya memperjualbelikan aset dalam jangka pendek, serta menggunakan riwayat aktivitas trading dan perubahan harga sebagai indikator nilai asetnya di masa mendatang. 

Di sisi lain, trader juga memiliki strategi yang berbeda-beda. Ada yang day-trader disebut dengan scalping, ada juga swing-trader. 

Di Indonesia, dulunya profit atau hasil dari investasi dan trading bebas dari pajak, yang berguna untuk menarik para investor lokal agar melek investasi. 

Namun, sayangnya kini investor dan trader dikenai pajak PPh sebesar 0,1% dari nilai transaksi penjualan saham, dan 10% untuk nilai dividen yang diterima.

Saat ini Indonesia memiliki lebih dari 2 juta investor saham atau 0,74% dari populasi orang dewasanya. Sebagai perbandingan, persentase di Amerika Serikat mencapai 55% dan 12,3% di RRC. 

Kini trader-trader baru menganggap jatuhnya harga di pasar saham sebagai peluang untuk membeli, sehingga jumlah pembukaan akun pun kian meroket. 

Di tahun 2020 saja misalnya, Bursa Efek memperoleh sekitar 400.000 investor baru untuk sekitar 700 perusahaan yang dinaungi. Semakin banyak investor, berarti semakin banyak dana untuk mengembangkan perusahaan-perusahaan tersebut. Dan nantinya ekonomi pun ikut bertumbuh. 

ilustrasi investasi (photo: belajar ekonomi.com)
ilustrasi investasi (photo: belajar ekonomi.com)

Apa yang bisa disimpulkan oleh lonjakan ini terkait psikologi manusia? Apakah ada sensasi adrenalin tersendiri dari trading? Ingin cepat kaya? Atau takut ketinggalan? Apalagi sekarang ini banyak yang memposting profit mereka di media sosial! 

Manusia seringkali tidak bisa menahan rasa takut dan godaan, oleh sebab itu kedua emosi inilah yang justru perlu dihindari saat berinvestasi saham. 

Contohnya saja ketika melakukan panic buying untuk membeli aset tanpa pengetahuan dan pertimbangan yang matang. 

Sebagian orang ada juga yang bukannya memakai dana nganggur atau "uang dingin", akan tetapi malah menggunakan "uang panas" yang diperlukan untuk kebutuhan sehari-hari. 

Banyak juga ketika belajar investasi memakai uang dingin, namun malah nafsu. Namanya juga milenial, ya masih menggebu-gebu. Segala macam uang, baik itu uang kuliahnya maupun gajinya dimasukkan ke dalam investasi. Bahkan, ada juga yang sampai meminjam ke pinjol, inilah yang kemudian menjadi bahaya. 

Mengingat dunia saham yang resikonya tinggi, ketidaksiapan dan manajemen keuangan yang buruk dapat menimbulkan kerugian besar bagi pemainnya. Tipis sekali antara toleransi resiko yang sangat tinggi dan kebodohan. 

Dalam perencanaan finansial sudah ada langkah-langkahnya. Mereka harus tahu yang namanya dana darurat, serta harus mempunyai yang namanya asuransi. 

Rencana finansial mereka bagus dulu, baru kemudian mereka bisa investasi ke saham, saham itu pilihan terakhir. Bisa dibilang para milenial ini melangkah dari langkah ke-satu ke langkah terakhir. Banyak yang terjebak, dan banyak yang rugi. 

Sederhananya, fomo itu artinya takut ketinggalan. Istilah ini sering ditujukan bagi para investor yang ikut-ikutan trend, dan terjun ke pasar aset tanpa mempelajari aspek fundamental atau tekniknya terlebih dahulu. Biasanya karena menyesal telah melewatkan kesempatan membeli sebuah aset saat harganya anjlok, lalu melihat nilainya meroket kembali. Padahal, banyak sekali investor yang rugi dan malah memutuskan untuk menjual saham mereka. 

Daripada kalian hanya sekedar "ikut-ikutan" dan tidak mau ketinggalan, yuk keluar dari zona Fomo dan menjadi investor yang pandai!

Masih banyak cara untuk mendapatkan penghasilan pasif, seperti lewat aset tradisional dan aset alternatif. Seperti deposito dan tabungan berjangka. Resikonya rendah dan mudah dikelola, meskipun bunganya kecil. Emas juga berisiko rendah dan dapat digunakan untuk alat lindung nilai atau penyeimbang portofolio aset. 

Lalu ada juga obligasi pemerintah, yang imbal hasilnya bisa lebih tinggi daripada deposito. Sedangkan reksa dana, tingkat resikonya dapat dipilih dan dana kita dikelola oleh manajer investasi, jadi kita tidak perlu mengurusnya sendiri. 

Selanjutnya ada saham yang tergantung pada tipenya, saham blue chip dan second liner berisiko lebih rendah dibandingkan saham third liner. 

Namun, perlu diwaspadai aktivitas bandar yang dapat memainkan harga. Bandar ini adalah makhluk yang antara ada dan tiada sebenarnya. Tapi pada kenyataannya pemain-pemain besar itu ada, dan kita bahkan bisa spot. Terutama bagi investor generasi pemula, bisa saja mereka terkena prank dari para pemain besar atau dari bandar-bandar. Sehingga banyak dari mereka yang kemudian beli saham di harga tinggi, dan kemudian mengalami kerugian. Jadi tidak sembarang orang bisa berinvestasi ke saham.

Generasi milenial sudah terbiasa mendengar cerita orang-orang yang untung karena lonjakan harga saham, sehingga peringatan tentang risiko kerugian pun dianggap tidak jamannya lagi.

Jika tidak terkontrol, perilaku ekonomi fomo ini akan terus menarik individu muda pencari euforia yang optimis dan berani rugi. 

Manusia memang sering menyesal, apalagi kalau mendengar orang lain bisa untung ribuan persen ketika kita kelewatan. Tapi, menolak rasa fomo itu penting. 

Pilihlah investasi itu berdasarkan pengalaman kita pribadi, bukan dengan kata-kata orang. Yang paling penting adalah jangan investasi dengan pinjaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun