Masih banyak cara untuk mendapatkan penghasilan pasif, seperti lewat aset tradisional dan aset alternatif. Seperti deposito dan tabungan berjangka. Resikonya rendah dan mudah dikelola, meskipun bunganya kecil. Emas juga berisiko rendah dan dapat digunakan untuk alat lindung nilai atau penyeimbang portofolio aset.Â
Lalu ada juga obligasi pemerintah, yang imbal hasilnya bisa lebih tinggi daripada deposito. Sedangkan reksa dana, tingkat resikonya dapat dipilih dan dana kita dikelola oleh manajer investasi, jadi kita tidak perlu mengurusnya sendiri.Â
Selanjutnya ada saham yang tergantung pada tipenya, saham blue chip dan second liner berisiko lebih rendah dibandingkan saham third liner.Â
Namun, perlu diwaspadai aktivitas bandar yang dapat memainkan harga. Bandar ini adalah makhluk yang antara ada dan tiada sebenarnya. Tapi pada kenyataannya pemain-pemain besar itu ada, dan kita bahkan bisa spot. Terutama bagi investor generasi pemula, bisa saja mereka terkena prank dari para pemain besar atau dari bandar-bandar. Sehingga banyak dari mereka yang kemudian beli saham di harga tinggi, dan kemudian mengalami kerugian. Jadi tidak sembarang orang bisa berinvestasi ke saham.
Generasi milenial sudah terbiasa mendengar cerita orang-orang yang untung karena lonjakan harga saham, sehingga peringatan tentang risiko kerugian pun dianggap tidak jamannya lagi.
Jika tidak terkontrol, perilaku ekonomi fomo ini akan terus menarik individu muda pencari euforia yang optimis dan berani rugi.Â
Manusia memang sering menyesal, apalagi kalau mendengar orang lain bisa untung ribuan persen ketika kita kelewatan. Tapi, menolak rasa fomo itu penting.Â
Pilihlah investasi itu berdasarkan pengalaman kita pribadi, bukan dengan kata-kata orang. Yang paling penting adalah jangan investasi dengan pinjaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H