b. Pertimbangan budaya atau agama: Dalam beberapa budaya atau agama, menikah sebelum melahirkan dianggap sebagai norma atau nilai yang penting.
c. Tanggung jawab: Ada yang merasa memiliki tanggung jawab moral atau sosial untuk menikahi pasangan mereka setelah kehamilan terjadi.
d. Keinginan untuk membentuk keluarga: Meskipun kehamilan mungkin tidak direncanakan, pasangan tersebut mungkin ingin membentuk keluarga dan memutuskan untuk menikah.
e. Perlindungan hukum dan finansial: Menikah dapat memberikan perlindungan hukum dan finansial bagi kedua orang tua dan anak yang akan lahir.
Setiap situasi dapat berbeda-beda tergantung pada faktor-faktor pribadi, budaya, dan kebutuhan individu.
3. Bagaimana argumen pandagan para ulama tentang pernikahan wanita hamil?Â
Para ulama berselisih pendapat mengenai pernikahan wanita hamil di luar nikah dengan orang yang bukan menghamilinya. Sebagian pendapat sah akan nikahnya dan sebagian lagi berpendapat tidak sah. Masing-masing mereka mempunyai argumentasi berupa ayat-ayat al-qur'an maupun hadits Nabi Saw.Â
Imam Abu Yusuf dan Za'far berpendapat tidak boleh menikahi wanita hamil karena zina dan tidak boleh berhubungan seksual dengannya. Karena wanita tersebut dari hubungan tidak sah dengan laki-laki lain maka haram menikahinya sebagaimana haram menikahi wanita hamil dari hubungan yang sah.Â
Menurut pendapat Imam Ahmad bin Hambal, wanita yang berzina baik hamil maupun tidak,tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang mengetahui keadaannya itu kecuali dengan syarat :
a. Iddahnya habis dengan melahirkan anaknya.
b. Wanita tersebut telah bertaubat dari perbuatan zina, dan jika ia belum bertaubat maka ia tidak boleh menikahinya,