Mohon tunggu...
Muhammad Farras Shaka
Muhammad Farras Shaka Mohon Tunggu... Mahasiswa - Free mind, reflective, and critical.

Seorang terpelajar mesti adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Beriman dan Berpikir Rasional: Dua Hal Yang Bertentangan?

2 Maret 2022   10:33 Diperbarui: 2 Maret 2022   11:27 1536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekelumit tambahan tentang keberimanan dan keberagamaan

Dalam keberimanan kita sebagai seorang pemeluk agama, iman mesti dijalankan dengan segenap kesadaran (akal-hati-perilaku), hanya dengan cara inilah kita mampu menjadi orang yang beriman namun tidak infantil dan neurotik sebagaimana yang diasumsikan oleh Freud, hanya dengan cara inilah kita beriman dengan mental superman (kebalikan dari mental apolonian ala-Nietzsche), dan hanya dengan cara inilah kita mampu beriman dengan kesadaran eksistensial kita sendiri (kontranarasi makna iman menurut Sartre).

Masyarakat tidak hanya melihat kemampuan abstraksi kita tentang keimanan kita sendiri saja, tetapi sadarilah bahwa iman memerlukan fungsi praksis yang merupakan tampilan manifestatif atas keimanan yang kita anut, sehingga, agama bukan hanya soal hubungan kita kepada Tuhan, tetapi karena kita beriman kepada Tuhanlah, kita menjadi manusia yang peduli terhadap sesama (membantah Marx bahwa agama adalah candu sosial dan pelarian dari keresahan atas konflik sosial).

Kesimpulan

    Maka yang menjadi jalan terbaik dalam beragama justru adalah beriman dengan segenap kesadaran akal dan batin kita, bukan hanya sekedar iman yang ikut-ikutan dan buta sehingga melahirkan kejumudan. Keseimbangan penggunaan akal sehat dan keimanan akan menghasilkan ke-ideal-an dalam beragama, karena manusia tidak hanya menyerap pengetahuan dari wahyu dan alam saja, melainkan juga membedah secara analitis apa yang ada dihadapannya sehingga manusia mampu memecahkan persoalan yang ada di dunia ini. Pada akhirnya kembali lagi itu adalah soal keseimbangan dalam berpikir, terimalah fakta bahwa akal manusia terbatas, tetapi bukan berarti dengan pemahaman tersebut kita menjadi malas berpikir rasional, kita justru menjadi cerdas ketika kita memahami keterbatasan kita, dan justru karena kita memahami keterbatasan kita, kita menghidupkan potensi kemanusiaan kita secara optimal, karena kita memberi ruang untuk hati yang merasa, bukan hanya akal yang mengunyah dan mencerna.

REFERENSI

Bagir, Haidar dan Ulil Abshar Abdalla. 2020. Sains Religius, Agama Saintifik: Dua Jalan Mencari Kebenaran. Bandung: PT. Mizan Pustaka

Faiz, Fahruddin. 2020. Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika. Yogyakarta: MJS press

Magnis-Suseno, Franz. 2006. Menalar Tuhan. Penerbit PT. Kanisius

Mustansyir, Rizal. "Aliran-Aliran Metafisika (Studi Kritis Filsafat Ilmu)" . Jurnal Filsafat Seri 28 Juli 1997

Palmquis, Stephen. 2007. Pohon Filsafat: Teks Kuliah Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun