Sebuah dikotomi...
   Perkembangan tradisi berpikir rasional dan antroposentristik mulai berkembang pesat pada abad ke-16 yang kerap kita sebut sebagai "abad pencerahan", paradigma "manusia adalah pusat" adalah premis sentral yang mendasari corak kebudayaan renaisans dalam aspek keilmuan, kesenian, dan lain sebagainya. Gerakan "De-Tuhan-isasi" pada masa renaisans adalah suatu reaksi atas cengkraman otoritas gereja selama berabad-abad lamanya mendominasi kehidupan di Eropa, dimana teologi menjadi ukuran mutlak bagi legal atau tidaknya suatu hal, sampai ke dalam aspek pemikiran. Filsafat sebagai "alat" difokuskan untuk mendukung nilai-nilai teologis, ini tercermin ketika pemikiran Plato dan Aristoteles digunakan oleh para teolog sekaligus filosof era skolastisisme sebagai basis argumentasi atas keimanan, seperti Agustinus yang terpengaruh oleh konsep idealisme Plato (Platonis-Augustinus) dan Thomas Aquinas yang dipengaruhi oleh Aristoteles (Aristotelian-Thomis).
  Gerakan "pembebasan dari Tuhan" yang bercorak renaisans ini acapkali dijadikan asas keyakinan bahwa akal dan agama adalah dua hal yang pasti kontradiktif, seolah-olah semua agama tanpa pengecualian adalah musuh dari akal sehat, jikalau engkau mau berakal sehat, tinggalkanlah agama! Jika engkau beragama, maka mesti tidak sehatlah akal engkau. Akan tetapi apakah proposisi tersebut sah secara empiris? Atau jangan-jangan proposisi tersebut hanyalah suatu manifestasi kesesatan berpikir yang reduksionis dan buta historis? Akan tetapi sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita periksa terlebih dahulu perspektif dua teolog paling berpengaruh pada masanya (bahkan hingga sekarang) yakni Thomas Aquinas dan Al-Ghazali.
Filsafat dan agama menurut Thomas Aquinas dan Al-Ghazali
  Membicarakan topik ini, ada baiknya jikalau kita terlebih dahulu meninjau pendapat dua teolog besar terkait relasi filsafat yang menekankan pada rasionalitas dengan agama yang menekankan pada keimanan. Thomas Aquinas adalah seorang teolog katolik dan imam gereja yang memberikan pengaruh sangat besar dalam tradisi skolastisisme, Aquinas mencoba menyintesiskan filsafat Aristoteles dengan teologi kristen. Aquinas meyakini bahwa filsafat tidaklah perlu dipertentangkan dengan nilai-nilai teologis kristen, dia meyakini bahwa disamping meyakini Tuhan dengan pendekatan kewahyuan, akal pikiran juga mampu membawa kita pada kebenaran akan adanya Tuhan, melalui akal, kita dapat memahami bahwa segala sesuatu yang "mengalir" di dunia ini mestilah berasal dari suatu entitas yang disebut sebagai sebab utama/kausa prima/Al-Muharrik. Akan tetapi, penjelasan akal tiada mampu menjelaskan siapakah dan bagaimanakah sifat sebab utama itu. Menurut Aquinas, disinilah peran wahyu untuk menjelaskan siapakah dan bagaimanakah sifat sebab utama itu, maka kebenaran aqliyah yang didapatkan melalui kontemplasi filosofis atas alam semesta bersifat saling memenuhi satu sama lain dengan kebenaran yang ada di kitab suci, inilah yang dimaksudkan sebagai "teologi alami" dan "teologi iman" yang saling memenuhi.
  Sedangkan menurut Al-Ghazali yang dikutip dari Ulil Abshar Abdalla, "filsafat tidaklah bisa dihukumi secara am' (umum), melainkan harus dipilah-pilih. Ada 6 bagian yang menjadi cabang-cabang dari ilmu yakni Riyadhiyyat (matematika), Manthiqiyyat (logika/penalaran), Thabi'iyyat (fisika, didalamnya ada biologi dan astronomi), Akhlaqiyyat (etika/akhlak), Siyasiyyat (politik), dan yang terakhir adalah Ilahiyyat (ketuhanan)." (Ulil Abshar Abdalla 2020:156).  Pada aspek matematika, logika/penalaran, dan fisika (termasuk biologi dan astronomi) dapatlah diterima, sedangkan pada aspek etika dan politik secara umum tidaklah bermasalah, akan tetapi yang menjadi masalah adalah cabang filsafat yang spesifik mengarah kepada pembahasan akan Tuhan (Ilahiyyat). Menurut Al-Ghazali, kita mesti jernih dalam memilah-milih mana pendapat filosof tentang ketuhanan yang sesuai dengan syariat dan mana yang tidak, sebab menurut Al-Ghazali, kita sebagai orang Islam memiliki teori ketuhanan kita sendiri yang sudah baku. Pada intinya, yang mesti kita pahami adalah bahwa berpikir secara rasional tidaklah menjadi suatu hal yang terpisah dari ranah iman, ini tercermin pada keterbukaan Al-Ghazali terhadap filsafat yang mencakup didalamnya ilmu manthiq (logika).
 Maka kesimpulan dari dua tokoh tersebut adalah bahwa kebenaran yang kita dapat melalui proses akal dan indrawi mampu membawa kita kepada kebenaran akan adanya Tuhan yang berlaku sebagai absolute existence, bahkan sebetulnya, iman yang sempurna itu bukanlah iman yang disandarkan hanya kepada kepercayaan yang buta (taqlid), tetapi iman yang sempurna adalah iman yang kita yakini dengan meliputi aspek kesadaran manusia (akal dan hati) secara menyeluruh. Iman tanpa akal bagaikan rumah tanpa pondasi yang kuat, apabila badai menghantamnya, niscaya dia akan roboh berkeping-keping, sebaliknya iman tidak bisa dipenuhi hanya dengan akal saja, karena iman berkaitan pula secara sentral dengan hati yang percaya. Pada akhirnya, iman itu adalah soal bagaimana kita mengenal Allah, memercayai seyakin-yakinnya dengan kesadaran yang menyeluruh berdasarkan ilmu dan dalil-dalil yang benar (Al-Idrok al-jazim, mutabbaq lil waqi' an dalilin).
Sebuah dikotomi (palsu)
  Dengan beberapa penjelasan diatas, maka jelaslah bahwa pendapat yang memecah-duakan antara iman dan akal sehat adalah sebuah kesesatan berpikir yang termasuk pada kesesatan berpikir "dilema palsu" atau false dilemma (biasa juga disebut sebagai false dichotomy), kita dipaksa seolah-olah memilih A atau B, padahal hakikatnya A dan B tersebut adalah fungsi yang sifatnya komplementer (saling berhubungan), balik lagi penulis tegaskan bahwa iman hanya akan berdiri secara kokoh  ketika dia ditopang dengan kesadaran yang komplit meliputi fakultas akal dan batinnya, walaupun tidak mesti mengetahui secara detil perihal persoalan filsafat ketuhanan/ilmu kalam yang pelik, yang terpenting untuk orang awam adalah memiliki argumentasi aqliyah yang kuat untuk menopang keimanannya.
Melacak asas argumentasi false dichotomyÂ
  Jikalau kita sudah memahami bahwa hakikatnya dua hal tersebut tidak bertentangan, lantas timbul pertanyaaan, dalil apa yang mendasari pemikiran dikotomis tersebut? Menurut penulis, ada cukup banyak alasan yang mungkin mampu menjelaskannya, akan tetapi penulis hanya akan menyebutkan 3 argumentasi saja, beberapa argumentasi berikut mungkin bisa menjadi jawabannya:
- Me-reduksi bahwa fundamentalisme agama yang beracun adalah representasi tabiat agama secara keseluruhan (Fallacy of hasty generalization & Fallacy of wrong sampling)  Fundamentalisme agama mesti diakui adalah sebuah tindakan yang tidak bisa diakui kebenarannya dan mesti ditentang, para kalangan teolog sendiri bahkan mengecam tindakan yang dilakukan oleh beberapa oknum penganut agama tersebut. Fundamentalisme agama sendiri berakar dari literalisme keberagamaan yang akut, menafsirkan teks agama tanpa panduan dari mereka yang memiliki kedalaman ilmu terkait penafsiran atas kitab suci, tindakan "asal tafsir" ini akan menghasilkan tindakan-tindakan yang sebetulnya menyimpang dari maksud kitab suci tersebut. Fundamentalisme agama berkaitan erat pula dengan paham fideisme yang menyatakan bahwa akal tidak bisa mencapai pemahaman akan Tuhan, sehingga pemikiran ini menjadi keyakinan yang mematikan gairah menuntut ilmu dengan akal guna memahami Tuhan, inilah nanti yang menyebabkan keyakinan yang buta (taklid buta) terhadap agama, karena keberagamaannya tidak disertai kesadaran yang lengkap, bahkan mematikan salah satu kesadaran yang lain yakni akal seh  Sialnya, para kaum "dikotomis" ini menganggap bahwa pola perilaku fundamentalisme agama ini adalah sebagai representasi agama itu secara menyeluruh, mereka terlalu terburu-buru menyimpulkan, kita ambil contoh, term "jihad" sebagai term yang seringkali disebutkan dalam Islam menjadi disalahpahami sebagai suatu act of terrorism, jikalau kita menekankan pandangan kita hanya pada tindak-tanduk jihad "ala-ISIS", terang saja kita akan menyimpulkan bahwa jihad adalah tindakan terorisme, jikalau saja kita ingin memahami lebih dalam, term jihad tidaklah hanya soal perang senjata saja, menolong orang kelaparan yang tidak memiliki makanan adalah jihad, berperang melawan kebodohan dengan banyak membaca, menulis, dan mengajarkan adalah jihad, bahkan memerangi hasrat dan nafsu-nafsi kita adalah jihad yang terbesar. Bahkan kalau mereka mau lebih teliti lagi, para agamawan/teolog yang ilmunya dalam sendiri seringkali mengecam tindakan semacam itu
- Menganggap bahwa sejarah abad pencerahan yang melepaskan diri dari kekangan agama adalah pola yang merepresentasikan secara pasti bahwa agama dan akal sehat bertentangan (Bias konfirmasi)Â Ada pula anggapan bahwa pola pemberontakan terhadap kekangan dogma pada abad pencerahan adalah pola yang menggambarkan bahwa agama dan akal sehat adalah dua hal yang pasti akan berkonflik satu sama lain, pendapat seperti ini adalah contoh bias konfirmasi yang cukup fatal, karena apa yang terjadi pada abad kegelapan adalah agama tidaklah berdiri sendiri/an sich, melainkan agama sudah berdiri sebagai otoritas politik, sehingga yang sebetulnya terjadi adalah bukan "agama di-counter oleh ilmu pengetahuan", melainkan "agama sebagai otoritas politik di-counter oleh ilmu pengetahuan", otoritas gereja yang terusik dengan kritik terhadap dogma melahirkan tindakan inkuisisi. Akan tetapi kita lihat bersama bahwa gerakan keagamaan kristen yang dimotori oleh Martin Luther melakukan denominasi terhadap otoritas gereja katolik, kala ideologi atau denominasi Protestan mulai menguasai Eropa, ada banyak perubahan besar yang terjadi. Eropa menjadi maju, cerdas, dan menjunjung tinggi humanisme meskipun di saat yang bersamaan mereka juga tampil sebagai bangsa yang lebih liberal. Ini adalah bukti bahwa agama itu sendiri bukanlah masalahnya. Â Pandangan ini termasuk kedalam bias konfirmasi karena yang meyakininya sudah menaruh terlebih dahulu postulat bahwa agama dan akal sehat pastilah bertentangan, sehingga dia memasuk-masukkan fenomena sejarah pertentangan otoritas agama dengan rasionalitas tersebut sebagai bukti pasti atas argumentasinya, padahal kalau mau lebih teliti kembali, pertentangan-pertentangan kala itu terpengaruh oleh banyak faktor penentu, dan apabila kita meneliti perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan filosof muslim, justru penemuan-penemuan ilmiah diawali dengan niat untuk mengejawentahkan anugerah Tuhan berupa kemampuan berpikir dan menelisik misteri alam semesta.
- Meyakini bahwa semua realitas yang dianggap sah adalah realitas yang mampu diverifikasi secara empiris (terpaku pada asumsi materialisme-realis)Â Pandangan materialisme-realis ala Demokritus yang menganggap bahwa yang ada hanyalah "atom-atom" dan "ruang kosong" menjadi basis argumentasi bagi para materialis-realis hingga sekarang, pandangan ini diadopsi oleh filosof masa Helenisme yakni Epikurus yang menyatakan bahwa manusia harus melepaskan diri dari determinasi "ketakutan-ketakutan teologis" seperti ancaman dewa-dewi dan lain sebagainya. Pandangan tersebut sesungguhnya hanya sebuah pemikiran yang turut hadir dalam mewarnai perdebatan metafisika dalam perjalanan sejarah filsafat dan bukanlah suatu kebenaran mutlak, karena nyatanya, terdapat pula pandangan filosof yang meskipun realis tapi mengakui bahwa ada suatu realitas awal yang menjadi sebab utama segala sesuatu bisa ada dan segala sesuatu kembali padanya (kausa prima), filosof tersebut adalah Aristoteles yang akhirnya memengaruhi Thomas Aquinas dalam merumuskan filsafatnya. Ini adalah contoh bahwa ketika kita meyakini adanya suatu realitas yang tak mampu di-indra, kita tidak otomatis menjadi seperti Plato yang menyatakan kepalsuan substansi yang nyata dan menganggap itu hanya sebagai "pantulan alam idea", kita mampu menjadi realis dan disaat bersamaan meyakini adanya suatu entitas absolut yang menjadi sebab awal dan akhir segalanya. Setelah perdebatan panjang nan pelik tentang hakikat realitas terdalam, Â Immanuel Kant pun akhirnya membuat suatu kesimpulan atas perdebatan metafisika yang pelik selama bertahun-tahun lamanya. Kant menyatakan bahwa pada akhirnya akal kita terbatas dalam mengetahui objek das ding an sich atau benda pada lubuknya, sehingga ia membagi dua domain realitas, yang pertama adalah realitas fenomena, didalam realitas ini manusia mampu menggunakan logika analitisnya untuk mengetahui dan membedah konsep-konsep yang dicerap oleh indra, dan yang kedua adalah realitas noumena, terhadap realitas ini, akal manusia tidak mampu menjelaskan secara analitis tentang apa yang menjadi hakikat terdalamnya, sehingga pada akhirnya, mau tidak mau, manusia harus mengakui bahwa ada batas-batas kemampuannya untuk mengetahui realitas noumena tersebut, dan manusia harus memberi ruang kepada kepercayaan akan suatu realitas yang tidak mampu dinalar secara analitis.
Sekelumit tambahan tentang keberimanan dan keberagamaan
Dalam keberimanan kita sebagai seorang pemeluk agama, iman mesti dijalankan dengan segenap kesadaran (akal-hati-perilaku), hanya dengan cara inilah kita mampu menjadi orang yang beriman namun tidak infantil dan neurotik sebagaimana yang diasumsikan oleh Freud, hanya dengan cara inilah kita beriman dengan mental superman (kebalikan dari mental apolonian ala-Nietzsche), dan hanya dengan cara inilah kita mampu beriman dengan kesadaran eksistensial kita sendiri (kontranarasi makna iman menurut Sartre).
Masyarakat tidak hanya melihat kemampuan abstraksi kita tentang keimanan kita sendiri saja, tetapi sadarilah bahwa iman memerlukan fungsi praksis yang merupakan tampilan manifestatif atas keimanan yang kita anut, sehingga, agama bukan hanya soal hubungan kita kepada Tuhan, tetapi karena kita beriman kepada Tuhanlah, kita menjadi manusia yang peduli terhadap sesama (membantah Marx bahwa agama adalah candu sosial dan pelarian dari keresahan atas konflik sosial).
Kesimpulan
  Maka yang menjadi jalan terbaik dalam beragama justru adalah beriman dengan segenap kesadaran akal dan batin kita, bukan hanya sekedar iman yang ikut-ikutan dan buta sehingga melahirkan kejumudan. Keseimbangan penggunaan akal sehat dan keimanan akan menghasilkan ke-ideal-an dalam beragama, karena manusia tidak hanya menyerap pengetahuan dari wahyu dan alam saja, melainkan juga membedah secara analitis apa yang ada dihadapannya sehingga manusia mampu memecahkan persoalan yang ada di dunia ini. Pada akhirnya kembali lagi itu adalah soal keseimbangan dalam berpikir, terimalah fakta bahwa akal manusia terbatas, tetapi bukan berarti dengan pemahaman tersebut kita menjadi malas berpikir rasional, kita justru menjadi cerdas ketika kita memahami keterbatasan kita, dan justru karena kita memahami keterbatasan kita, kita menghidupkan potensi kemanusiaan kita secara optimal, karena kita memberi ruang untuk hati yang merasa, bukan hanya akal yang mengunyah dan mencerna.
REFERENSI
Bagir, Haidar dan Ulil Abshar Abdalla. 2020. Sains Religius, Agama Saintifik: Dua Jalan Mencari Kebenaran. Bandung: PT. Mizan Pustaka
Faiz, Fahruddin. 2020. Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika. Yogyakarta: MJS press
Magnis-Suseno, Franz. 2006. Menalar Tuhan. Penerbit PT. Kanisius
Mustansyir, Rizal. "Aliran-Aliran Metafisika (Studi Kritis Filsafat Ilmu)" . Jurnal Filsafat Seri 28 Juli 1997
Palmquis, Stephen. 2007. Pohon Filsafat: Teks Kuliah Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H