orang tua, maka ia berhak disebut durhaka. Lantas, bagaimana jika apa yang terjadi adalah sebaliknya? Tentu hal semacam itu banyak terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Yang jadi persoalan adalah bisakah kasus tersebut disebut sebagai kedurhakaan orang tua terhadap anak?Â
Cerita Malin Kundang ternyata membawa pengaruh yang tidak selalu positif bagi perkembangan zaman. Terlebih menyoal parenting. Selama ini, yang disadari oleh masyarakat adalah sikap kedurhakaan selalu berasal dari anak. Doktrin itu melekat pada masyarakat. Apabila anak mengingkariMemang dalam pengertian KBBI durhaka berarti ingkar terhadap perintah. Dengan Tuhan dan orang tua dijadikan sebagai contoh utama. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa selain Tuhan dan orang tua dapat didurhakai atau diingkari perintahnya. Bahkan, KBBI mengamini dengan tidak berhenti pada contoh orang tua, melainkan menggunakan pemerinci "dan sebagainya".Â
Mereka yang percaya doktrin kedurhakaan lewat cerita Malin Kundang mungkin akan mengutuk Ngurah menjadi batu. Hanya saja, seperti Ngurah, Nyoman, dan Wayan, membaca naskah drama karya Putu Wijaya ini memerlukan pemikiran yang terbuka. Benar-benar terbuka. Apabila tidak demikian, emosi kita akan diacak-acak. Pada latar waktu yang menggambarkan betapa masih kentalnya feodalisme, sulit membayangkan bahwa seorang anak bisa memiliki tujuan hidupnya sendiri. Kenyataannya, semuanya harus selalu di bawah kendali orang tua, budaya, adat istiadat, agama, dll. Terlepas tradisi tersebut merupakan hal baik atau buruk.Â
Padahal, Gusti Biang sudah menyadari dan bahkan merasakan nikmatnya cinta itu sendiri. Ia rela berpura-pura demi melanggengkan tahta kebangsawanannya.Â
Cinta? Apa itu cinta, itu hanya ada dalam kidung-kidung Smarandanamu.Â
Begitu ungkap Gusti Biang saat menerima penjelasan Wayan setelah mengetahui fakta bahwa Ngurah anaknya akan menikahi Nyoman karena alasan cinta.Â
Pada akhirnya, kita semua dapat menarik kesimpulan bahwa cinta itu benar-benar buta dan membutakan. Dari keempat tokoh yang jelas tergambar, semuanya memiliki bukti cinta yang tidak dapat dibersamai oleh akal budi yang rasional. Antara Ngurah dan Nyoman, pengabdian Nyoman kepada Gusti Biang, serta yang terakhir dan paling mengejutkan yaitu antara Gusti Biang dan Wayan.Â
Nyoman sendiri, sebelum ia diusir dari puri membuktikan bahwa cinta tidak dapat dihitung secara kuantitatif.
Lebih dari sepuluh tahun tiyang menghamba di sini. Bekerja keras dengan tidak menerima gaji. Kalau tidak ada Bape Wayan sudah lama tiyang pergi dari sini. Selama ini tiyang telah membiarkan diri diinjak-injak, disakiti, dijadikan bulanbulanan seperti keranjang sampah. Tidak perlu rentenya, pokoknya saja. Hutang Gusti Biang kepada tiyang, sepuluh juta kali sepuluh tahun. Belum lagi sakit hati tiyang karena fitnahan dan hinaan Gusti. Pokoknya melebih harta benda yang masih Gusti miliki sekarang. Tapi ambillah semua itu sebagai tanda bakti tiyang yang terakhir.
Penggambaran Putu Wijaya terhadap stigma yang selama ini melekat ditambah usaha untuk melepaskannya tentu memiliki tujuan yang jelas. Tuntutan zaman.
Kenapa Ngurah dicegah kawin? Kita sudah cukup menderita karena perbedaan kasta ini. Sekarang sudah waktunya pemuda-pemuda bertindak. Dunia sekarang sudah berubah. Orang harus menghargai satu sama lain tanpa membeda-bedakan lagi, bagaimana Gusti Biang?Â
Lewat Wayan, ia menggambarkan pedihnya penderitaan terus-terusan berada di bawah kekuasaan tanpa memiliki kebebasan, terlebih secara individu. Para orang tua kolot perlu diberikan kesadaran bahwa zaman sudah berubah. Bersama pergerakannya, lama kelamaan dengan sendirinya terungkap inilah perkembangan zaman yang sesungguhnya. Muda-mudi yang bisa bergerak lebih bebas dan dapat dipastikan punya kemampuan lebih seharusnya diberikan ruang lebih bebas ketimbang para orang tua yang cenderung berdiam di tempat. Sebuah kritik yang keras sekali bagi feodalisme.Â
Lebih jauh, konflik utama itu juga tak ada salahnya jika dikaitkan dengan kritik atas permasalahan sosial yang lain. Ekonomi misalnya. Prinsip ekonomi liberal cetusan Adam Smith boleh saja apabila kita mau menghubungkannya dengan status kebudakan Nyoman terhadap Gusti Biang. Boleh kita sedikit berandai apabila Nyoman dimasukkan ke dalam pasar bebas, dijadikan komoditas, lantas kemudian tenaga dan pengabdiannya dikuantifikasi.
Sebagaimana karya sastra yang perlu kegunaan menghibur, Putu Wijaya juga tidak lupa menyelipkan perputaran plot cerita yang mengagumkan. Cerita dibalik meninggalnya suami dari Gusti Biang yang dibongkar oleh Wayan dengan mudah membuat kita tercengang. Pada akhirnya, bila malam bertambah malam sama saja dengan bila malam tidak berganti siang. Siang yang penuh harapan dan perubahan untuk dimungkinkan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H