Senda gurau antara supir truk dan pelacur di warung-warung pinggir Pantura telah menjadi warna khas Indramayu. Warna inilah yang semerbak ke berbagai daerah. Kota Mangga dikenal sebagai tempat telembuk, 'pelacur'. Suara jerit dan desah dari bilik-bilik warung pinggir Pantura semakin mengharumkan warna itu. Akibatnya, banyak orang yang langsung mengerutkan dahi dan menajamkan pandangan ketika mengetahui bahwa seorang perantau merupakan orang Indramayu. Pikirnya, "Oh, tempat telembuk."
      Warna lain juga turut semerbak. Selain telembuk, Indramayu juga dikenal sebagai pabrik TKI ataupun TKW. Faktor ekonomi membuat banyak warga Indramayu memilih untuk menjadi bekerja ke luar negeri sebagai buruh. Baik secara legal maupun ilegal, para calon TKI atau TKW berangkat ke luar negeri; mereka mengadu nasib di sana. Biasanya,mereka adalah istri-istri yang terpaksa menjadi TKW karena himpitan ekonomi keluarga sementara suami menganggur. Seringkali demikian. Dan itulah yang terkenal.
      Corak hitam menambah buruknya warna TKW Indramayu. Selain karena sebagian dari mereka menjadi TKW secara ilegal, nasib buruk yang mereka terima saat mengadu nasib pun menambah citra buruk. Mungkin hal itu bukanlah sebab pekerjaan mereka yang haram, tetapi hal itu menambah deretan sebutan yang menyakitkan hati orang-orang Indramayu. "Oh, Indramayu. TKW-nya banyak yang bawa oleh-oleh (anak)." kata orang sinis. Perkataan itu cukup  menyinggung. Memanglah sebagian TKW Indramayu pulang membawa anak hasil bergaul dengan majikan, tetapi nada yang sinis saat mengucapkannya seolah menjelek-jelekkan wadon Dermayu. Seolah mereka menganggap bahwa TKW Indramayu tidak punya sikap yang baik saat mengadu nasib di luar negeri. Mereka dianggap sebagai pembantu yang gatelan terhadap majikan.
      Faktor ekonomi menambah citra buruk lainnya. Orang tua yang hanya bekerja sebagai petani mengakibatkan si anak putus sekolah. Tentu saja penyebabnya adalah masalah biaya. Uang mereka hanya cukup untuk beberapa kebutuhan pokok, hanya tersisa sedikit untuk pendidikan anak. Sebagian besar remaja Indramayu hanya bersekolah hingga SMA. Setelah SMA, mereka langsung memikirkan apa dan di mana pekerjaan yang cocok bagi mereka guna meringankan beban orang tua. Keadaan demikian, secara tidak langsung, membuat minat belajar sebagian anak-anak Indramayu berkurang. Banyaknya anak yang kurang, bahkan tidak, minat belajar menambah warna-warni Indramayu yang negatif itu, terutama terhadap perempuan Indramayu.
      Perempuan Indramayu dianggap sebagai manusia yang kurang minat belajar. Mereka juga dianggap sebagai manusia yang hanya memikirkan uang, baik dengan cara mencari pekerjaan atau menikah.
      Pernikahan dini juga menjadi warna Indramayu bagi sebagian orang. Faktor ekonomi pun menjadi tersangka. Orang tua yang bingung akan biaya pendidikan anak perempuannya akhirnya menikahkan anaknya. Pernikahan yang pada awalnya dianggap sebagai solusi ternyata bukanlah solusi yang tepat. Justru pernikahan dini tersebut menimbulkan masalah baru. Masalah yang menambah warna-warni wadon Dermayu.
      Pernikahan dini banyak terjadi di Indramayu. Seringkali faktor ekonomi menjadi penyebabnya. Faktor ekonomi juga yang menjadi penyebab masalah berikutnya. Indramayu pernah menduduki peringkat ketiga sebagai kabupaten dengan angka perceraian tertinggi di Indonesia. Sebagian kasus perceraian disebabkan oleh kurangnya uang. Mereka bercerai karena kekurangan uang untuk kehidupan. Karena uang, mereka menikah; karena uang, mereka bercerai. Sebagian pasutri memilih merantaukan suami atau istri ke luar negeri untuk memompa dompet keluarga. Sebagian lagi bercerai karena sering bertengkar karena permasalahan dompet. Kekerasan dalam rumah tangga pun menjadi warna tersendiri dan menambah warna-warni Indramayu. Oleh sebab itu, perempuan Indramayu dianggap sebagai bukan calon istri idaman. Anggapan demikian didasari oleh anggapan bahwa perempuan Indramayu adalah perempuan yang berlatar belakang keluarga yang kurang mampu, kurang berpendidikan, dan kurang pandai mengelola urusan rumah dan keluarga.
      Di antara perempuan yang baru bercerai, ada yang memilih untuk menjadi TKW dan ada pula yang memilih menjadi telembuk. Menjadi telembuk merupakan sebuah solusi yang tepat bagi sebagian janda muda Indramayu. Selain penghasilan yang cukup, mereka bisa sambil meringankan luka perceraian dengan melayani laki-laki yang tulus mencumbu demi kepuasan sementara. Demikianlah lingkaran setan yang menjerat wadon Dermayu.
      Warna-warni yang semerbak itu menampilkan citra perempuan Indramayu ke penjuru daerah sudah cukup kuat terpatri pada benak orang-orang. Lingkaran setan yang melilit perempuan Indramayu memaksa mereka menerima nasib sebagai telembuk. Selama masih banyak keluarga berkekurangan, selama itu pula potensi anak perempuan putus sekolah ada. Semakin banyak anak perempuan putus sekolah karena hambatan ekonomi, semakin mungkin juga mereka dinikahkan. Karena pernikahan diawali dan dijalani dengan uang yang kurang, mereka pun bercerai. Sebelum bercerai, tidak mungkin mereka tidak sering bertengkar karena pernikahan yang terlalu dini. Mental mereka masih mentah. Mereka belum dewasa.
      Sakitnya menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian mendorong beberapa janda muda Indramayu untuk menjadi telembuk. Pekerjaan tersebut memanglah terkutuk, tetapi dompet yang kempes, perasaan yang terluka, dan sisa beban hidup lainnya mendorong mereka untuk menjadi pelacur. Dengan menjadi telembuk, uang cukup mudah diperoleh dan bisa sementara melupakan beban hidup saat bekerja. Beban hidup mereka ikut terhempas bersama desahan saat bekerja. Sekalipun itu sebentar, itu sangat menenangkan dan menyenangkan mereka.
      Orang tua yang miskin, pendidikan yang rendah, dan masalah pernikahan menyebabkan wadon-wadon Dermayu tak berdaya. Semua itu saling terpaut dan menarik mereka ke pekerjaan yang diharamkan. Akan tetapi, tidaklah semua wadon Dermayu bernasib demikian. Anggap-anggap negatif mengenai perempuan  Indramayu hanyalah stereotip. Itu hanya generalisasi yang kurang tepat.